Mutasi Pejabat Jeneponto: Profesionalisme Tergusur Kepentingan Politik

Dalam setiap helaan napas sebuah daerah, selalu ada pertarungan antara idealisme dan kepentingan. Antara cita-cita luhur membangun kesejahteraan bersama dengan praktik-praktik pragmatis yang sering berputar di orbit kekuasaan.

Mutasi pejabat di Kabupaten Jeneponto, yang semestinya menjadi momentum penyegaran organisasi pemerintahan, justru menghadirkan tanya, benarkah ini sekadar rotasi profesional, atau ada benang halus kepentingan politik yang menjeratnya?

Pertanyaan ini bukan sekadar kritik atas sebuah keputusan administratif, melainkan refleksi tentang bagaimana nilai profesionalisme, etika pemerintahan, dan cita-cita keadilan bisa tergeser oleh logika kekuasaan.

Profesionalisme berarti menempatkan seseorang sesuai kapasitas, keahlian, dan dedikasi yang dimilikinya. Seorang pejabat publik seyogianya bukan hanya simbol jabatan, melainkan motor penggerak kebijakan yang menyentuh masyarakat. Ia adalah sosok yang harus mengutamakan pelayanan, bukan kepentingan kelompok.

Namun, di banyak ruang birokrasi, tak terkecuali di Jeneponto, profesionalisme kerap berjalan di jalur sempit. Di hadapannya, kepentingan politik berdiri kokoh layaknya tembok besar. Mutasi seringkali tidak lagi didasarkan pada kinerja, melainkan kedekatan. Tidak lagi menimbang keahlian, melainkan loyalitas.

Di sinilah tragedi birokrasi bermula, ketika aparatur yang mumpuni justru terpinggirkan, sementara mereka yang lihai merangkai kedekatan mendapat posisi terhormat. Bukan kompetensi yang dihargai, melainkan kesetiaan politik.

Kita tidak bisa menafikan, politik adalah bagian dari denyut demokrasi. Ia adalah cara masyarakat menentukan arah perjalanan daerah. Namun, ketika politik merasuk terlalu dalam hingga menguasai ranah birokrasi, yang terjadi bukan lagi demokrasi yang sehat, melainkan oligarki kepentingan.

Sejatinya, mutasi bisa menjadi sarana memperbaiki tata kelola pemerintahan, memperbarui energi, dan memastikan pejabat bekerja sesuai kapasitas terbaiknya. Namun, jika mutasi dijalankan semata-mata untuk merawat jaringan kekuasaan, ia justru menjadi racun yang merusak tubuh birokrasi.

Filsuf Yunani, Plato Dalam filsafat politik, pernah mengingatkan bahwa negara akan runtuh ketika ia dipimpin oleh mereka yang hanya mengejar kepentingan pribadi, bukan mereka yang berjiwa bijak. Filsuf Yunani, Aristoteles menambahkan, kekuasaan tanpa etika hanyalah tirani. Maka, dalam konteks mutasi pejabat, pertanyaannya Adalah: apakah keputusan itu lahir dari kebijaksanaan, atau sekadar strategi mempertahankan kuasa?

Mutasi bukan sekadar urusan administrasi. Ia adalah cermin etika. Sebab, di balik surat keputusan, ada manusia dengan keluarga, karier, dan martabat yang dipertaruhkan. Ada keadilan yang diuji, apakah seseorang dipindahkan karena gagal menjalankan tugas, atau hanya karena tidak selaras dengan “selera politik”?

Filsuf Jerman, Kant pernah berkata, manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar alat. Jika pejabat diperlakukan semata-mata sebagai pion politik, maka ia diposisikan sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai pribadi bermartabat.

Di sini hati kita digugah untuk bertanya: Apakah pejabat yang dimutasi dihargai dedikasinya? Apakah keputusan itu menumbuhkan rasa keadilan? Ataukah justru menorehkan luka yang diam-diam menggerogoti kepercayaan publik?

Filsuf Jerman, Max Weber bapak sosiologi modern, pernah menegaskan bahwa birokrasi ideal harus rasional, impersonal, dan berdasarkan sistem merit . Artinya, pengangkatan dan mutasi harus berdasar pada kompetensi, bukan kedekatan.

Namun, dalam praktiknya, birokrasi lokal sering kali berbelok dari jalur Weberian menuju apa yang disebut “patrimonialisme”, yakni birokrasi yang diperlakukan sebagai perpanjangan rumah tangga penguasa. Dalam sistem patrimonial, pejabat dianggap bagian dari keluarga politik, bukan mesin profesional negara.

Ketika mutasi lebih mengedepankan kepentingan politik, maka birokrasi kehilangan ruh rasionalitasnya. Yang tersisa hanyalah aparatur yang gamang, apakah mereka harus bekerja profesional, atau sekadar pandai membaca arah angin kekuasaan?

Bayangkan seorang pejabat yang telah bekerja dengan sepenuh hati, tiba-tiba dipindahkan hanya karena dianggap tidak cukup “setia” pada lingkar kekuasaan. Ia mungkin tersenyum di depan publik, namun hatinya retak. Ada luka yang tak terucap, ada perih yang tak berdarah.

Di sisi lain, masyarakat pun perlahan kehilangan kepercayaan. Mereka melihat pejabat yang seharusnya menjadi teladan profesional, justru terjebak dalam permainan politik. Lalu, mereka bertanya dengan getir: “Apakah pelayanan publik masih bisa diharapkan, jika birokrasi saja dipermainkan?”

Mutasi yang semestinya menghadirkan harapan, berubah menjadi drama yang menorehkan kekecewaan. Dan di sanalah keadilan, yang semestinya menjadi napas demokrasi, pelan-pelan terkubur oleh kepentingan.

Meski demikian, harapan tak boleh padam. Mutasi pejabat bisa kembali menjadi instrumen kebaikan jika dijalankan dengan prinsip profesionalisme, keadilan, dan transparansi. Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa birokrasi yang sehat adalah fondasi pembangunan. Tanpa pejabat yang bekerja dengan tenang dan profesional, visi besar pembangunan hanya tinggal slogan.

Masyarakat pun harus ikut mengawal. Kritik bukanlah bentuk permusuhan, melainkan tanda cinta pada daerah. Jeneponto, dengan segala kearifan lokalnya, mestinya menjadi teladan bahwa kekuasaan bisa dijalankan dengan adil, bukan dengan keberpihakan sempit.

Pada akhirnya, mutasi pejabat di Jeneponto bukan hanya tentang siapa yang berpindah kursi. Ia adalah cermin dari bagaimana sebuah pemerintahan menata nilai. Apakah ia lebih memilih kepentingan politik, atau menjunjung profesionalisme? Apakah ia lebih mengutamakan keadilan, atau menegakkan loyalitas buta?

Sejarah akan mencatat, bukan siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana mereka memperlakukan manusia. Dan birokrasi yang sehat hanya akan lahir dari tangan-tangan yang berani menolak godaan politik, serta teguh berpihak pada profesionalisme.

Mungkin, inilah saatnya kita kembali mengingat pesan bijak leluhur: “Pemimpin adalah pelayan, bukan penguasa.” Jika pesan ini digenggam, maka mutasi tidak lagi menjadi luka, melainkan jalan menuju kebaikan.

Kredit gambar: Makassar Terkini.id


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *