Seraya mencoba melerai dan mengurai, entah dari mana narasi ini saya mulai. Bukan tidak punya ide, bahan, dan diksi yang basi sekalipun. Terlalu banyak hal, peristiwa persemaian kita, walau tidak selama mereka jauh sebelum saya mengenalmu.
Jika menuangkan semuanya, ini bukan lagi narasi berjuluk esai. Tapi bisa saja menjadi prosa dan cerpen, bahkan menjadi tulisan panjang yang terbagi ruang dan waktu, segala interaksi kita, serta beberapa cerita indah tentangmu. Tidaklah cukup, dan bosan menceritakan proses dan inagurasi pertautan kita.
Persemaian itu hadir menyambutmu dengan suka cita, berbaur, melebur penuh khidmat. Lalu menjadi “Bannang pangngai pa’sianakkang, batenu angngerang pa’mai, nabatei simpung sanggena ri jera’nu karru tamma molea rikamonnea.” (Merajut benang silaturrahmi, persaudaraan, caramu dalam penuh kebatinan, hingga tangis itu dari pusaramu hingga kini seperti belum berhenti).
Bagai alarm waktu, mengubah segalanya tahun ini. Di saat kau lagi bergiat dan mendedikasikan sematan atas dedikasimu, atas sebuah pengabdian sebagai pendidik handal, yang bagi saya tidak abal-abal. Kau adalah kanal peradaban yang siap membendung dan menahan laju peradaban yang pesat, dan memapah tanpa menyerah.
Dirimulah kurikulum sesungguhnya, tanpa mengeluh dan putus asa untuk menjalani sekian puluh tahun, tetap membasuh anak-anak dan bertahan di tengah gumpalan awan pekat, kau tetap melewati fase dan semak-semak. Saat duri dan persoalan, kau singkirkan dengan caramu yang elegan.
Kemudian, awan gelap, pecahkan teka-teki dari semua yang tersublim (rahasia/misteri Tuhan). Dikau telah digenapkan Tuhan atas dedikasimu mengabdi di dunia.
Suasana tetiba lengang, merangkai cakrawala menuju hari harapan berikutnya tentang seorang perempuan terbaring lemah di ruang ICU, dengan sakit yang sementara dia perjuangkan. Perempuan hebat itu bernama Indrawati, S,Pd binti Sampara. Buah hati, dan kebanggaan seorang ibu dan keluarga. Kini berjuang untuk sembuh. Penuh harap, anak perempuannya segera pulih, dia mendekap menahan air matanya jatuh di ubun-ubun anaknya.
Menunggu keajaiban Tuhan. Dengan rangkaian doa sahabat, teman, dan orang-orang yang pernah berinteraksi, begitu mencintainya. Berharap kelak bisa bersama lagi beraktivitas, berkegiatan yang semua tahu Indra dengan segala talenta, kecakapannya di setiap momen kegiatan Pramuka, sosial, organisasi, merangkai dan merancang agenda selanjutnya.
Yah. Sekiranya tidak berlebihan kiranya, saya menyematkan bahwa kau adalah perempuan hebat. Sebagai wanita yang memiliki keberanian, ketangguhan, dan dedikasi untuk mewujudkan potensi diri, berjuang untuk kesetaraan, serta memberikan dampak positif bagi keluarga, masyarakat, dan negara.
Empatimu tidaklah klise, namun setiap kau berada di antara mereka, kau ibarat telaga, dan oase saat fase di antara kami terpuruk. Kau hadir menyeka air mata dan menjadi pendengar yang khidmat, serta solusi.
Semua mengenalmu dengan perangai yang penuh kebaikan, kebeningan hati. Hingga saat mengantarmu menuju pusaramu, kusaksikan mereka tertunduk haru, matanya basah menjadi bait doa yang tulus, sebagai kesaksian bahwa sesungguhnya kaulah “sahaja” itu.
Dikau sesungguhnya kehebatan di sebuah laman saya sepakat menyertakan pengertian hebat itu. Di laman tersebut membuat saya terdiam mengingatmu. Itu benar bisikku dalam isak yang saya tahan! Terurai bahwa, bukan hanya tentang pencapaian besar, tetapi juga tentang tanggung jawab, kesadaran diri, dan kontribusi dalam peran masing-masing, menjadi teladan dan inspirasi bagi semua.
Saya menyusuri kemudian, sambil merunut seperti, karakteristik perempuan hebat sepertimu, terjelaskan dengan tolak ukur dari berdaya dan mandiri. Mampu mengambil keputusan sendiri, bertanggung jawab atas hidup, dan terus berkembang tanpa menunggu validasi dari orang lain.
Saya kian terbawa rasa kehilangan, sembari menemuimu di lima tahun silam, sosok partner, teman, sahabat, saudara, dan kau menganggapku sebagai kakakmu sendiri, meski kau terkadang tersipu malu saat saya memujimu sebagai perempuan hebat, tangguh dan penuh integritas seiring kualitas diri.
Kutemukan dalam buku Dari Relasi ke Literasi. Di sana kau memapah, memaparkan, mengurai setiap lekuk peristiwa. Memimpin 55 jiwa, manusia, dengan pikiran, perangai, karakter yang berbeda bernama “Relawan Demokrasi” bersama KPU Bantaeng. Hingga di bawah kordinator dan kordinasimulah, sampai mencapai target 80 persen lebih.
Sesuai titah, amanah KPU untuk kau emban sebagai pemandu kami, yang kadang bandel, dan rewel. Kau tetap tersenyum, sebagaimana kami kenal betapa bersahaja dan tangguhnya dirimu melewati itu semua. Hingga akhir hayat, hampir semua yang melayat merasa rersayat atas kehilanganmu.
Indra, adik, teman, saudara, karib, terlepas dari kedekatan kita, bahkan beberapa peristiwa yang memenuhi jagat doamu ketika itu. Kau ampu menghadapi tantangan dan kesulitan hidup dengan tekad bulat, serta tidak mudah menyerah dalam meraih tujuan. Bahkan sampai penyakit yang menggerogoti tubuhmu bersemayam sekian tahun. Kau tetap mengayomi, memapah, membimbing penuh cinta kasih pada anak-anak didikmu. Hingga saat ragamu mulai tidak mampu lagi beraktivitas.
Dalam terbaring saja, kau masih menjadi pemandu bagi mereka, tanpa kau harus mengeluhkan sakitmu. Kau anti kata menolak saat orang-orang meminta tolong.
Kau berintegritas dan berjiwa sosial. Memiliki nilai-nilai luhur, bertindak dengan tulus, dan memberikan kontribusi nyata bagi kemaslahatan orang lain, seperti yang ditunjukkan oleh Kartini dalam membantu pengrajin Jepara.
Kau berdedikasi. Menunjukkan ketekunan dan semangat juang yang tidak mengenal usia maupun gender, menjadi contoh bagi orang lain dalam mengejar mimpi.
Kau kreatif dan inovatif. Mampu berpikir kritis, mempertanyakan keadaan, dan mencari solusi atas permasalahan yang ada, baik dalam lingkup pribadi maupun masyarakat.
Patut, dan bagi saya, harus mengurainya di narasi sederhana ini. Agar yang pernah, bahkan tidak pernah berinteraksi secara penuh denganmu tahu, dan mampu mengejewantahkan, minimal menanam biji kebajikan “ampe-ampenu, katanningngang atingnu, pa’rikongannu mange ri prangnu rupa tau” (perangai, adab, kebeningan hatimu, empati kepada sesiapa saja).
Kehilangan itu teramat sakti dan sakit, melewatinya butuh proses menentramkan. Tetapi dia telah pergi yang selalu menyejukkan, menenangkan, memecahkan masalah setiap keluh dari karib, sahabatnya dengan caranya yang begitu ampuh.
Air mata itu jatuh di pusaramu Indra. Menahan isak, agar kami tidak berlebihan disaksikan beberapa orang. Mungkin mereka seribu tanya kenapa dan bisa sesedih itu.
”Janganki menangis, Kak. Doakanma saja supaya sembuh.” Ketika suatu waktu membesukmu. Kau menatapku seperti biasa. Saya tidak harus melihatmu seperti itu, dalam hati saya berusaha untuk tidak terlihat rapuh di depannya. Tidak juga menyeka air mata yang terang-terangan mengubah suasana batin, jiwa, dan pikiran saya.
Amanah dan beberapa pesan itu masih melekat diingatan kami. Dari halaman catatan perjalanan di buku kita bersama sebagai relawan demokrasi. Bukan hanya sebatas goresan belaka.
Tercekat diam sejenak, merenung jauh kembali, larung dari paragrafmu. Dan ini sebuah karya yang kau mimpikan juga, selalu ingin menulis, sampai memesan buku, hingga saya sulit menolakmu saat meminta bacaan untukmu ketika itu La Tahzan. Saya baru sadar kenapa buku itu menjadi pilihanmu. Sampai saat sakitmu mulai meradang, saya baru tahu mengapa meminta buku itu kau pilih, bahwa ini cara kau bertahan, selain beberapa cara kau berjuang untuk sembuh.
Indrawati, adik, sahabat, partner yang sangat paham tentang ide, cerdas, cakap beberapa hal, mampu ditangkap, dikerjakan tak dikeluhkan, dijalani penuh hati. Ya, setelah kepergian karib kita juga, kau memimpin kami menuju pusaranya, dan beberapa tahun Nursyamsi juga tetap semua menunggu petunjukmu pada titik kumpul mana bertemu dan menuju titik lokasi. Kini kau mendahului kami, seakan perjanjian yang Tuhan sebagai pengaturnya.
Pulanglah, dalam ketenangan yang penuh khidmat. Dunia hanya bait-bait untuk kita tafsir dan menjalaninya. Saya dan mereka belajar banyak tentang nilai ketabahan, kesabaran, keberanian, ketangguhan, keihlasan, empati dari perangaimu. Meski tak semudah, serta tidak serupa dan tak sama denganmu cara menekuni, menerima dan menjalani. Hingga pada perjanjian cinta Tuhan melebih cinta kami kepadamu.
Selamat jalan perempuan hebat. Di alam keabadian tak ada lagi sakit dan riak kehidupan dunia yang kau rasakan.

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply to Dion Syaif Saen Cancel reply