Sejujurnya, saya sangsi bahwa ayah—yang sering saya panggil dengan Aji—pernah mengantar saya semasa SD ke sekolah.
Sejauh memori ini saya gali, sekali pun tidak pernah. Bukan karena terlalu sibuk, apatahlagi karena tidak peduli, tapi mungkin baginya tidak ada hal yang benar-benar perlu dipusingkan. Saya bersekolah di kampung sendiri, di sana teman-teman saya banyak, juga ada kakak yang menemani. Mengapa harus diantar lagi? Mungkin begitu pikirnya.
Barulah di SMP, ketika saya mondok di pesantren, ayah beberapa kali datang menjenguk, membawa bassang dan menyelipkan beberapa lembar uang. Meski tak sering, tapi kehadirannya membuat saya merasa “punya ayah”, dalam maknanya yang paling sederhana.
Dalam kunjungan itu, tak banyak percakapan yang kami lakukan, apalagi deep talk tentang perasaan saya dititip di sana. Tapi saya yakin, ayah peduli, meski ia mungkin bingung mengutarakannya. Baginya, kerja lebih penting dari kata-kata.
Di SMA, di tempat nun jauh dari rumah tinggal, ayah tidak pernah menjejakkan kaki sama sekali di sekolah. Bukan karena tidak mau, tapi karena sakit menahun.
Ketika saya kesulitan beradaptasi dan bermasalah di sekolah, hingga surat panggilan mendarat di rumah. Semuanya larut dalam kemarahan. Ayah tak banyak bicara, tenang, dingin seperti angin subuh, tapi tetap peduli. Ia diam-diam membawakan sepiring nasi dan sepotong ikan ke dalam kamar tempat saya mengurung diri. Ayah diam, saya diam. Tapi kami saling mengerti.
Begitulah, dengan ayah, saya tak punya banyak memori yang hadir dari percakapan panjang dan dalam. Hanya kerja nyata dan pertanyaan remeh yang lebih sering saya jawab dengan ketus. Kami baik-baik saja. Meski baru kini saya menyadari bahwa jika kami bisa lebih akrab, saya mungkin bisa mewarisi maskulinitas dan karakternya yang luhur.
Kini, saya menyadari bahwa ajakan mengantar anak sekolah bukan sekadar menggandeng tangannya yang mungil menuju gerbang. Melampaui itu, inilah ikhtiar yang mendeklarasikan bahwa anak bukan hanya perkara ibu, ayah mesti direkayasa sedemikian rupa agar aktif dalam kepengasuhan.
Mengantar anak hanya simbol, dan tidak akan pernah cukup jika kembali ke rumah, ayah hanya sibuk lagi bermain Slot dan Mobile Legend.
Pagi tadi, di hari pertama sekolah. Para ayah kembali ke kelas—meski di sekolah kami tak cukup separuhnya.
Dua anak lainnya digandeng kakeknya. Ayahnya keluar kota. Bekerja. Saya sering berpikir, sepertinya sulit melibatkan ayah lebih banyak, jika kondisi ekonomi negeri, mesti mengirim ayah pergi jauh demi sesuap nasi.
Mereka, para ayah yang hadir pagi ini, bukan untuk rapat wali murid. Bukan pula mengambil rapor. Tapi untuk sesuatu yang lebih romantis: menemani anak di hari pertama sekolah.
Gerakan ini bukan sebatas seremoni, ia adalah sebentuk tekad yang dinamai Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI). Dimulai 14 Juli 2025, hari di mana laki-laki dewasa itu diberi satu panggung sunyi untuk kembali ke kehidupan yang mungkin didambakannya, menjadi murid dari anaknya sendiri.
Mari kita buka data laiknya membuka buku harian yang berdebu. 1 dari 5 anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah, 20,9 %, tepatnya. Bukan karena semata perceraian atau kematian, tetapi karena absennya kehadiran batin. Bahwa dari jutaan rumah, hanya 37,17 % anak usia 0–5 tahun yang dibesarkan oleh kedua orangtua kandungnya. Dan bahwa dari sekian banyak remaja yang gembira di Instagram, 33 % menyimpan luka kesehatan mental, sementara orang tua yang menyadarinya hanya 4,3 % (Antaranews 2024).
Apa yang lebih sunyi dari anak yang sakit jiwa, yang terlihat bahagia di media sosial, tapi kosong hatinya?
Demikianlah, GATI tidak meminta ayah menjadi manusia setengah dewa. Cukuplah menjadi manusia yang hadir, tak sekadar membiayai, lalu merasa sudah menjadi ayah yang utuh.
Sosok ayah mestinya hafal warna seragam anaknya. Tahu siapa teman dekat anaknya di sekolah. Rela melepaskan sebentar posisinya sebagai ASN, petani, atau buruh, untuk duduk di bangku sekolah dasar, mendengarkan suara lonceng, dan melihat bagaimana cemasnya anak mereka dikelilingi orang baru.
Kemarin, Bupati Bantaeng mengeluarkan imbauan: seluruh ayah mengantar anaknya di hari pertama sekolah, termasuk ASN. Di Butta Toa ini, ribuan anak memulai sekolah dengan perasaan yang lebih lengkap, karena ayah hadir di sampingnya. Mengantarnya masuk ke dunia baru yang asing. Lainnya, mungkin bermuram hati, ayahnya merantau jauh sekali.
Hari pertama adalah pintu. Dan seorang anak tidak ingin membuka pintu dunia barunya sendirian. Dalam sunyi pikirannya, ia ingin ada tangan yang menggandeng, suara yang menenangkan, dan sorot mata teduh yang membuatnya merasa, selama ada ayah, semua akan baik-baik saja.
Dalam relasi ini, sosiolog biasa menyebutnya bonding emosional awal. Psikolog bisa menyebutnya attachment positif yang membentuk kepercayaan diri. Tapi bagi anak, hal itu sederhana saja: ayahku ada, dan peduli.
Di tanah Bugis-Makassar, menjadi ayah bukan sekadar perkara memberi nafkah, tapi juga soal memelihara siri’ na pacce, harga diri dan empati. Siri’ membuat seorang ayah menolak disebut abai, tanre najampangi anakna. Pacce membuatnya ikut merasa gemetar, saat anaknya melangkah canggung ke ruang baru. Sendirian. Dan ayahnya tak melakukan apa-apa.
Dalam masyarakat kita, anak lebih dari sekadar darah dan daging, ia juga simbol dari muruah keluarga. Anak yang ke sekolah, sejatinya sedang memikul panji keluarganya.
Maka ketika seorang ayah menggandeng anaknya di hari pertama sekolah, itu bukan hanya peristiwa keluarga, tapi peristiwa kebudayaan. Sebuah ikrar bahwa anak bukan benih yang setelah dilempar, dibiarkan tumbuh begitu saja, melainkan harus dibesarkan dengan mata air cinta.
Akhirnya, mengantar anak ke sekolah bukan hanya agenda institusi, apalagi disebut program pencitraan, ia adalah bagian dari ibadah panjang yang disebut pengasuhan. Inilah waktunya ayah hadir, bukan hanya di meja makan dan saku anaknya, tapi juga di hatinya.
Sumber gambar: dokumentasi sekolah

Guru PJOK dan pegiat literasi di Bantaeng. Penulis buku kumpulan esai, Jika Kucing Bisa Bicara (2021) dan anggota redaksi di Paraminda.com.
Leave a Reply