Revitalisasi Tri Sentra Pendidikan: Belajar dari Yogyakarta hingga Finlandia

Seorang kawan pernah mengeluh, ketika mengundang rapat orangtua murid, hanya sedikit sekali yang datang. Sisanya memilih bekerja, atau mungkin hanya berdiam diri di rumah, tak melakukan apa-apa. Sekolah belum mereka anggap sebagai rumah yang ramah, sedang pendidikan anaknya bukan bagian dari tanggung jawab bersama. Padahal, anak-anak mereka hidup dan besar di sekolah, berjam-jam duduk di bangku, menulis dan membaca buku, meraba masa depan, hampir setiap hari selama belasan tahun. Dan itu belumlah cukup bagi mereka, untuk melihat bahwa tak ada guru yang hebat, sekolah yang maju, dan anak yang cemerlang, tanpa uluran tangan dari orangtua dan masyarakat.

Saya berasumsi, ada dua hal—dari banyak keadaan—yang membuat orangtua masih sungkan terlibat dalam kegiatan sekolah. Pertama, tingkat pendidikan orangtua yang masih rendah, khususnya di desa, sehingga mereka merasa “guru pasti lebih tahu”, yang menjadikan posisinya inferior. Kedua, selama ini orangtua masih menjadi objek dari kebijakan sekolah, belum menjadi subjek. Mereka lebih banyak duduk diam mendengarkan, berteriak setuju, tinimbang diminta pendapatnya dan dilibatkan secara aktif dalam kerja-kerja memajukan sekolah. Hal ini mungkin masih berkaitan dengan aspek pertama. Memang sulit memahami cara sistem pendidikan bekerja, dan bagaimana unsur yang kompleks itu saling memengaruhi. 

Survei Bank Dunia tahun 2012 menunjukkan bahwa orangtua—melalui komite sekolah—cenderung belum berpengaruh pada berbagai pengambilan keputusan di sekolah. Sekolah merasa lebih berkewajiban menjalankan tuntutan dinas pendidikan dan kepala daerah dibandingkan masukan orangtua.  

Menariknya, studi etnografi yang dilakukan oleh Risa W. Nihayah, Shintia Revina, dan Syaikhu Usman melalui program Research on Improving Systems of Education (RISE) menunjukkan secercah harapan dari Kota Yogyakarta. Pada tiga sekolah dasar (SD) negeri dan swasta yang mereka amati—baik yang didominasi murid ekonomi rendah atau yang berperforma akademik tinggi—banyak orangtua terlibat secara kolektif dalam kebijakan sekolah melalui wadah yang disebut Paguyuban Orang Tua (PO). 

Riset terbatas ini, menunjukkan bahwa orangtua di Yogyakarta cenderung terlibat secara kolektif untuk mendorong kebijakan sekolah. Mungkin inilah alasan utama mengapa Daerah Istimewa ini unggul dalam pendidikan. Hasil Asesmen PISA memosisikan Yogyakarta sebagai yang tertinggi di Indonesia. 

Berbeda dengan keterlibatan individualistik yang cenderung memosisikan orangtua sebagai pengganti guru di rumah, keterlibatan orangtua secara kolektif berorientasi pada kepentingan semua anak, bukan hanya untuk anak-anak yang orangtuanya bisa dan bersedia terlibat, jelas Risa dkk. 

Keterlibatan kolektif ini terwadahi melalui PO yang tumbuh secara organik sejak tahun 2000-an. Berbeda dengan komite sekolah yang dibentuk secara formal pada tingkat sekolah dan pengambilan keputusannya cenderung dipengaruhi kepala sekolah, PO merupakan perkumpulan orangtua atau wali siswa di tiap rombongan belajar (rombel/kelas). Akibatnya, mereka bisa lebih dekat bekerja sama dengan guru dan sekolah. 

Melalui PO, orangtua mengorganisasi diri untuk memastikan semua siswa—bukan hanya anaknya—mendapatkan pembelajaran dan layanan pendidikan yang berkualitas. “Misalnya, di beberapa SD negeri, ditemukan PO dari anak-anak kelas atas (kelas 4-6) mendorong sekolah untuk memberikan jam pelajaran tambahan bagi siswa yang membutuhkan atau kesulitan. Tanpa wadah atau aksi kolektif semacam ini, alih-alih mendorong sekolah, orangtua biasanya dipaksa mengeluarkan sumber daya tambahan untuk mengirimkan anaknya les privat di tempat lain,” ungkapnya lebih jauh.

Selanjutnya, studi ini juga menemukan beberapa praktik orangtua yang terlibat secara aktif meninjau kualitas guru. Selain ikut berkontribusi memberikan masukan terkait performa guru, misalnya, didapati perwakilan PO yang mengkritisi proses rekrutmen guru baru agar tidak dilakukan secara asal-asalan serta bisa menjaring guru yang kompeten dan kreatif. 

Eksperimen yang dilakukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada tahun 2016—2018 melalui program KIAT Guru menunjukkan ketika masyarakat terlibat memonitor kinerja guru, hasil belajar siswa bisa cenderung meningkat secara signifikan. 

Di luar kegiatan intrakurikuler, orangtua juga aktif terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler. Misalnya, bersama dengan guru dan sekolah, PO terlibat untuk merancang kegiatan karyawisata yang mendukung proses pembelajaran. Untuk memastikan semua anak bisa terlibat, PO mengusulkan pembiayaan karyawisata dilakukan melalui mekanisme subsidi silang dengan para orangtua lainnya. 

Lalu, dari mana spirit kolektivitas ini muncul? Dalam riset tersebut dikemukakan tiga alasan. Pertama, adanya hubungan sosial yang erat dan bersumber dari filsafat Jawa bernama “handarbeni” (rasa memiliki di antara masyarakat). Budaya kolektif seperti ini akhirnya menghasilkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk membuat anak orang lain berhasil seperti anak sendiri—termasuk pada kelompok sosial dan ekonomi rendah. 

Kedua, keterlibatan kolektif orangtua terjadi karena adanya dukungan pemerintah daerah, berlandaskan moto “Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarta” (Segoro Amarto). Misalnya, Pemda mengalokasikan sejumlah dana untuk melaksanakan program Jam Belajar Masyarakat, kerja sama dengan organisasi masyarakat lain, serta kolaborasi pendidikan antar organisasi—termasuk dengan perpustakaan daerah dan universitas. 

Ketiga, orangtua di Yogyakarta cenderung memiliki relasi kuasa yang setara dengan pihak sekolah. Di Yogakarta, adanya jumlah kelompok kelas menengah yang cukup besar—meski  diiringi kesenjangan ekonomi yang relatif tinggi pula—membuat para orang tua di sana relatif punya sumber daya dan kemampuan komunikasi ke sekolah yang lebih baik ketimbang orangtua ekonomi bawah. Kekuatan dan kepentingan bersama ini kemudian membuat mereka bisa mendorong kebijakan pendidikan yang fokus pada kualitas, demi semakin bisa mendukung mobilitas sosial semua anak. 

Dari Yogyakarta, mari menjelajah ke negeri jauh, Finlandia,  melihat bagaimana peran masyarakat atau komunitas dalam pendidikan. Pasi Sahlberg dalam pengantarnya pada buku Teach Like Finland karangan Timothy D. Walker mendakukan lima unsur penting yang membuat siswa Finlandia “lebih baik” daripada teman sebaya mereka di penjuru dunia yang lain. Empat di antaranya berkaitan langsung dengan sekolah dan amanat yang diembannya, dan yang satunya tentang apa yang dilakukan anak-anak ketika tidak di sekolah. Saya akan fokus ke poin kedua.  

Menurut Sahlberg, situasi para siswa ketika berada di luar sekolah memainkan bagian yang signifikan sebagai variasi pembelajaran. Apa yang terjadi kepada para kaum mudanya saat tidak berada di sekolah memiliki peran yang penting baik bagi sukses dan gagalnya pendidikan. Karena itu, kebijakan tertentu yang dirancang untuk anak dan kaum muda bersama dengan jaringan yang kuat (terdiri dari asosiasi, perkumpulan, dan organisasi) memiliki dampak positif yang besar terhadap kesejahteraan, kesehatan anak-anak, serta modal sosial, yang semuanya berkontribusi bagi pembelajaran mereka di sekolah.  

Ada sekitar 100.000 asosiasi non pemerintah dengan sekitar 15 juta anggota di Finlandia (Allianssi, 2016). Ini menunjukkan bahwa orang Finlandia secara aktif ikut serta dalam bermacam kegiatan di luar pekerjaan dan sekolah mereka. Tiga dari 5 anak muda Finlandia terlibat dalam beberapa jenis kegiatan sosial di waktu luang mereka. Kegiatan paling umum yang ditawarkan asosiasi tersebut adalah olahraga, seni, dan budaya. Dalam organisasi ini, orang muda belajar untuk melengkapi pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka pelajari di sekolah. Ketika 90 persen orang muda Finlandia melaporkan bahwa setidaknya mereka memiliki satu hobi di luar sekolah, jelas sekali ini memainkan peran yang besar bagi performa mereka di sekolah, serta membantu anak didik menjadi sukses. 

Jauh sebelumnya, Ki Hadjar Dewantara sudah pernah mengemukakan konsep Tri Sentra Pendidikan dengan menyatakan, “Di dalam hidupnya anak-anak, ada tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya, yaitu alam keluarga, alam keguruan, dan alam pergerakan pemuda.” Dari sinilah lahir tripusat pendidikan yang menurut Undang-Undang Nomor  20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, meliputi tiga hal, yakni pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat.

Sayangnya, hingga kini kolaborasi ketiganya belum juga berjalan baik dan masih mencari bentuk terbaiknya, entah sampai kapan, bahkan setelah berpuluh tahun Ki Hadjar Dewantara wafat. Sekolah seolah merasa bisa melakukan semuanya sendiri, orangtua tidak tahu mesti melakukan apa, sedang masyarakat bingung harus mulai dari mana. Padahal, petuah mengajarkan, kompetesi mungkin membuat kita lebih cepat, tapi kolaborasi menjadikan kita lebih baik. 

Ya, pendidikan memang kompleks, sangat kompleks, olehnya dibutuhkan usaha banyak pihak, sekecil apa pun, guna mengurai benang kerumitan itu. Setidak-tidaknya, hal itu bisa menjadi pengingat dan sumber inspirasi—meminjam istilah Goenawan Mohamad—yang semoga saja menyebabkan sebanyak-banyaknya orang di negeri ini merasa, bahwa perkara kelanjutan hidup negeri ini—termasuk pendidikan—adalah urusan mereka juga. Bukan cuma urusan guru, kadis, dan bupati.   

Sumber gambar: ikadriyarkara.org


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *