Ulat dan Ular yang Berpuasa 

Persiapan Ramadan kali ini sedikit beda tahun sebelumnya, pasalnya, kali ini adalah, Ramadan pertama, saat usianya beranjak 40 tahun. Kata orang, di usia 40 atau Quadragenerian, merupakan pintu gerbang mamasuki paru baya. Biasanya, pada usia itu seseorang mengalami perubahan mental, sekaligus spiritual, sebagai titik balik kehidupan, dalam memperbarui kesadaran terhadap semesta.  

Untuk membebaskan dirinya dari segala kemelekatan bukan hal mudah. Tanpa kehendak-Nya, dia bisa apa. Kemelekatannya telah mendarah daging selama 40 tahun hidupnya. Untuk bebas darinya, sekali lagi, bukan hal mudah. Hanya Dia yang mampu membebaskan, semudah membalik telapak tangan.

Menjalani Ramadan dengan berpuasa, adalah kesempatan baginya meraih kesadaran baru. Untuk kali ini, kesempatan itu tak disia-siakan, selagi napas masih berembus, sebab, tak seorang pun tahu nasibnya di hari mendatang.

Memasuki pintu Ramadan, seliweran qouate puasa menyeruak di media-media sosial, menunjukkan puasa mengandung makna subtil. Mengutip Ghazal Maulana Rumi yang tulis oleh Muh. Nur Jabir, “Puasa adalah pelayanan khusus yang tersembunyi yang bagitu cepat memberi manfaat. Apa kau tahu sesuatu yang ada di singgasana Sultan? Itulah puasa. Air yang demikian itu tak lantas membuat ikan menjadi segar. Puasa mampu memberikan apa yang diinginkan hati dan jiwa-jiwa para perindu. Di dalam tubuh seseorang yang sedang berjuang menuju tujuan hati, itu lebih baik daripada ribuan jiwa dan itulah puasa.”

Jauh hari sebelum masuk gerbang Ramadan, segala persiapan telah dilakukan, jiwanya siap menyambut bulan penuh berkah. Tak ayal, orang-orang memandang dirinya kontras. Ketahuilah, batinnya senantiasa mengingat Tuhan, namun fisiknya sibuk melayani sesama. Di bulan Ramadan Kecenderungan kebutuhan spritual lebih diutamakan tinimbang urusan lainnya. Segala ucapan, pikiran, imajinasi, dan hati, ikut pula berpuasa.

Menunaikan puasa tidak sekadar menahan makan dan minum. Lebih dari itu, semua daya yang kita miliki ikut pula berpuasa, puncaknya, melupakan segalanya kecuali Tuhan. Maka, tak heran jika tetiba perangainya berubah, seperti membatasi bercakap, berempati, pendeknya berusaha mengosongkan hati dari sebab keburukan. Seperti syair Rumi, “Saat mulut ini tertutup, mulut lain akan terbuka. Agar jiwa menelan rahasia-rahasia Ilahi.”

Ada banyak ragam ibadah. Puasa salah satu ibadah purba. Puasa diyakini medium tercepat mengalami semacam transformasi raga maupun jiwa. Perumpamaan sederhana, manakala ulat mengubah diri menjadi kupu-kupu. Sebelum mejadi kupu-kupu indah, ulat melakukan perubahan dengan cara berpuasa. Puasa yang dilakukanya benar-benar berkualitas, mulai dari mengasingkan diri, menjauh dari makanan, membungkus badannya dengan  kepompong, dst.

Puasa ulat menjadi kupu-kupu benar-benar kaffah. Selain menahan lapar dan dahaga. Mata, mulut dan seluruh anggota tubuhnya ikut berpuasa. Untuk lebih sempurnanya, ulat akan menghindari segala bentuk hawa nafsu yang mengganggu puasanya. Setelah berminggu-minggu berpuasa, dari kepompong keluar seekor makhluk baru yang sangat indah, bernama kupu-kupu. 

Eksisitensi ulat sirna, tergantikan oleh kupu-kupu. Tak hanya itu, setelah menjadi kupu-kupu, tabiat dan kebiasaanya ulat pun sirna. Kini, kupu-kupu adalah eksistensi baru yang tempa melalui puasa.

Selain ulat yang berpuasa, ular pun juga berpuasa. Untuk menjaga kelangsungan hidup ular, secara berkala, ular akan mengganti kulitnya. Proses mengganti kulit ular, tidak serta merta mengganti begitu saja. Pada prosesnya, ular mesti menjalani puasa panjang sebelum kulit baru mengantikan kulit lama. Meskipun secara berkala ular berpuasa dan berganti kulit. Anehnya, ular yang berganti kulit, tetap seperti ular semula, tidak ada perubahan tabiat dan kebiasaannya.

Perbandingan puasa ulat, dan puasa ular mengambarkan perbedaan mencolok. Puasa ular sebatas menahan lapar dan dahaga, sedangkan puasa yang ulat jalani, tidak sebatas lapar dan dahaga. Seluruh kebiasaan lama ulat ditinggalkan. Tidak hanya mengalami perubahan fisik, seluruh tabiat dan sifat ulat ikut berubah.  Definitnya, ibrah dari perumpaan puasa ulat dan ular, menegaskan, hakikat dari puasa, mestinya mengantarkan pada kebaikan, bukan tetap pada sifat dan kebiasaan lama. Menahan dan meninggalkan kebiasaan buruk saat berpuasa, jauh lebih baik, hanya sekadar menahan lapar dan haus.

Puasa ulat atau ular hanyalah perumpaan, jika dibandingkan puasa Ramadan oleh sekotah umat muslim. Makna puasa di bulan Ramadan tidak berhenti pada perubahan sifat dan kebiasaan. Lebih jauh, puasa Ramadan mengembalikan fitrah manusia sediakala.

Pada perspektif peciptaan, segala ciptaan di muka bumi merupakan tajali Ilahi. Pada saat Ramadan datang, di waktu bersamaan seluruh tajali Allah Swt. terbuka seluas-luasnya. Ramadan bulan khusus meraih kemulian. Rasulullah bersabda, “Puasa adalah perisai dari bencana dunia dan penghalang dari azab akhirat. Maka jika engkau berpuasa, niatkanlah dengan puasamu untuk menahan diri dari syahwat, memutuskan ambisi terhadap langkah-langkah setan (hawa nafsu). Tempatkanlah dirimu seperti orang sakit yang tidak menginginkan makanan dan minuman, serta harapkanlah di setiap saat kesembuhan dari penyakit dosa. Sucikanlah batinmu dari segala dusta, kekeruhan, kelalaian, dan kegelapan yang menghalangimu dari makna keikhlasan untuk wajah Ilahi.“

Sebagaimana makna Syahru Ramadhan, yakni terbakar dan meleburkan nafsu dengan cahaya Ilahi. Bagi para sufi, bulan Ramadan semacam peristiwa ulang tahun. Mereka menegaskan dirinya sebagai pejalan ruhani (pesuluk) di bulan Ramadan.

Kedalaman puasa Ramadan tidak hanya berhenti dengan menahan kebiaasaan buruk, lebih dari itu, berkat kehendak Ilahi, seseorang akan mengalami perjalan ruhani, entah diperjalankan, atau atas usaha sendiri. Pada puncak perjalananya, pesuluk ruhani akan mencapai, apa yang sebut, musyahadah al-dzat atau penyaksian langsung terhadap hakikat Tuhan.

Penyaksian hamba terhadap hakikat, adalah upaya sunguh-sungguh seorang pejalan rohani. Salah-satu upaya awal melakukan perjalanan rohani, yakni mengosongkan diri. Kosong dari perihal menawan diri, semisal, penghormatan, kepemilikan, ketenaran, kedudukan, kekuasaan, dst.

Dengan hati yang suci, sang pesuluk berjalan berlawanan dengan kebanyakan orang. Membuang pengetahuan yang menawan diri, mengeluarkan keterikatan dari hati mereka, menyembelih keinginan diri dan melepaskan perbudakan selain Tuhan. Para pejalan itu, lebih memilih kembali ke tempat asalnya, yakni ketiadaan.         

Orang yang megosongkan diri  melangkah maju dengan ringan, lembut, dan tanpa beban kepalsuan. Dirinya senantiasa harmoni dengan arus kehidupan. dan merekalah para pelaku puasa yang sejati.












Comments

2 responses to “Ulat dan Ular yang Berpuasa ”

  1. Luar biasa tulisannya dan jujur baru kali ini saya baca dan simak sampai tuntas.

    Mksih atas pencerahan, semoga paling tidak perumpamaan puasa yang kita lakukan adalah “puasa ulat” .

  2. ziadah Avatar

    Masyaallah serasa diperjalankan pencarian diri untuk menemukan kembali hakikat hamba menjalankan puasa.
    Makasih atas referensi perjalanan berpuasa. Inshaallah pembaca diberikan kesucian jiwa dan raga dalam segala aspek.
    Salam mahabbah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *