04
Kali ini aksara keempat. Adalah aksara kita bersama dan menguatkan ikatan itu. Bersama seuntai harapan hingga akhir zaman, kebersamaan itu bersemayam selalu, kita berbagi duka, beriring bersama waktu.
Adalah kita, sebagai kiat, dari geliat saling merindukan satu sama lainnya. Selalu ingin bersua dengan suka dan duka. Dan aku mencatat hingga menuliskannya pada aksara keempat kali ini.
Kelopak melati itu masih wangi pada tahun sembilan puluhan kita lalui bersama, dengan tinta-tinta kebeliaan kita urai satu persatu, hingga kini masih ada raut wajah cantik, sepeka hujan, seempati angin selalu menyejukkan.
Kerinduan itu selalu menghasutku hendak segera menjumpaimu. Meski pada abjad dan rasa yang canggung, hingga bekas keanggunan kalian yang masih terawat.
Kekekatan itu bagai sanak dalam setanak, penuh cinta, sesaji semesta dengan mantra-kebersamaan persaudaraan yang mulai kita jalani, yang dulu kita pernah berpetak-petak.
Seindah lembayung pagi, sekisah pucuk-pucuk bunga mekar bersemi sepanjang waktu. Kekuatan itu bukan hanya lahiriah saja. Namun, kuat membatin di hatimu duhai segenap karib.
DSS 310318
***
05
Serunai, senandung, sebuntung, dan sekamnya budaya saling melengkapi. Bukan saling menyergapi.
Demokrasi dalam berbagai selebrasi, empati dan simpati. Jinaknya bagai merpati. Susah gampang di tebak! Luruh sejengkal Lari setapak. Pergi menghilangkan jejak peradaban.
Hujan candu, untaian dan persemaian atas nama cinta. Orang-orang mulai seolah romantis. Menjadi pemanis, membikin orang optimis. Lalu meninggalkan apatis dalam kubangan pesimis. Sebab bumbu aksaranya adalah zat pelaris yang berakibat miris mengiris.
Jika kecubun cinta dan harapan menjadi masalah demi mencapai target. Atas nama kesenjangan sosial. Sebebal telinga kami. Orang-orang berkumpul mendengar cerita dongeng di setiap pusara-pusara jiwa, yang terbiasa dirangsang dengan pembujuk ulung yang menyelubung.
Suasana mencekam, pada saat malam menyertakan pesan sekunyit. Dan tawaran-tawaran yang selektanya aroma terasi. Merekam dan menekan. Sama-sama punya dermabdan dogma untuk sebuah sesaji aksara. Penonton riuh butuh pengulangan tutur. Dan rencana-rencana yang bukan selalu itu-itu saja.
Tutur dan pitutur. Seperti aku tengkukur yang suka diukur dengan cara yang tidak luhur. Sama para kencan asmara di musim bunga, pesta kembangnya selalu wangi.
Aksara kelima merelakan. Adalah ancaman batiniah manusia pada kasta cinta yang paling tertinggi. Bukan merasa memiliki dan eforia yang bersifat “ria”, tetapi sama-sama menikmati pesta dengan gembira.
DSS 300318
***
06
Di teluk aksara keenam ini adalah sebuah potret. Aku adalah cermin, dari bayangan serupa! Tidak jua harus merasa minder dan berbangga lebih. Sebab, aksaraku mengajari menuntaskan sesuatu.
Sejujurnya aku suka bercermin, dari apa saja bentuk kaca yang menepis kemungkinanku memungkiri yang kurang. Atau melebihkan yang lebih.
Aku memilih tunduk pada benalu!
Memisahkan dari keramaian yang unik.
Dengan memilih sesuatu yang orang-orang telah menyepelekannya. Sebuah kekonyolan, dengan banyolan yang berbuah ornamen manusia. Semula tampak lebih natural, menjadi struktural kehilangan nilai sakral dan spiritual.
Orang-orang mulai ramai meramaikan pesta, panggung dan sandiwara yang hanya mengulas dan mengulang-ulang sesuatu. Hingga pada pesona yang tertegun, menjadi canggung menanggung tiada tampak lagi anggun.
Caraku merenung dengan menyisir keramaian, lalu aku kembali memotret suasana yang orang-orang mulai kehilangan identitas.
Dalam potret aku membenak, pada cermin retak seribu.
DSS 020418

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply