Mengulik Kembali Legenda Tunipelaka

Esai ini saya tulis sebagai refleksi pribadi terhadap kisah “Tunipelaka (Orang yang Terbuang)”, sebuah legenda yang saya tulis untuk mengenang keberanian perempuan-perempuan Sulawesi Selatan dalam melawan sunyi, adat, dan ketakutan.

Bagi saya, kisah ini tidak berhenti di masa lalu, melainkan terus berdenyut dalam kehidupan perempuan masa kini yang masih mencari kebebasan dan makna.

Setiap perempuan membawa kisahnya sendiri, kisah tentang bagaimana ia tumbuh, menantang, lalu berdamai dengan dunia yang sering kali tidak sepenuhnya ramah padanya.

Ketika saya menulis “Tunipelaka (Orang yang Terbuang)”, saya tidak hanya menulis tentang seorang perempuan dari masa lalu bernama I Bunga Kebo’. Saya sebenarnya sedang menulis tentang diri saya sendiri, tentang banyak perempuan yang saya kenal, dan tentang perempuan masa kini yang masih berjuang untuk didengar di tengah suara yang begitu ramai.

Dalam kisah Tunipelaka, I Bunga hidup di dalam tembok adat yang tinggi. Ia diajarkan untuk patuh, untuk diam, untuk menjaga nama baik keluarga dan kehormatan kerajaan. Namun, di balik itu semua, ia memendam kerinduan akan kebebasan yang sederhana, sebuah kebebasan untuk menatap laut yang selama ini hanya menjadi cerita dari ibunya. Laut itu menjadi lambang dari sesuatu yang lebih dalam: kerinduan perempuan untuk menatap dunia tanpa batas.

Tentang Perempuan dan Batas

Bagi saya, tembok adat dalam kisah ini tidak hanya menggambarkan masa lalu di Gantarangkeke, tetapi juga tembok-tembok yang masih mengelilingi banyak perempuan hari ini. Bentuknya mungkin sudah berbeda. Ia bisa berupa ekspektasi sosial, penilaian dari lingkungan, bahkan tekanan halus yang muncul dari pandangan “seharusnya seorang perempuan seperti ini.” 

Perempuan masa kini mungkin sudah bisa berpendidikan tinggi, memimpin lembaga, atau menulis dengan bebas. Namun, di balik semua itu, masih ada tuntutan yang kadang menyesakkan: harus kuat tapi tetap lembut, harus berhasil tapi tidak boleh terlihat terlalu berkuasa. Di titik inilah, saya merasa kisah I Bunga masih sangat relevan, karena ia mewakili suara perempuan yang ingin menjadi dirinya sendiri tanpa harus menyesuaikan diri dengan ukuran siapa pun.

Keterbuangan dan Pembebasan

Bagian yang paling menyentuh bagi saya saat menulis Tunipelaka adalah ketika I Bunga akhirnya diasingkan. Ia diberi gelar “Tunipelaka”, yang berarti orang yang terbuang. Namun, dalam keterbuangan itu, justru ia menemukan dirinya. Ia akhirnya bisa melihat laut—tempat yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita ibunya. 

Keterbuangan, bagi saya, bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan menuju kebebasan batin. Banyak perempuan masa kini yang juga pernah merasakan hal yang sama: ditolak karena pendapatnya, disalahpahami karena keberaniannya, atau ditinggalkan karena kejujurannya. Tetapi justru dari pengalaman itulah muncul kekuatan baru yaitu kekuatan untuk hidup dengan lebih jujur pada diri sendiri. 

Saya percaya, terkadang seseorang harus berjalan jauh dari keramaian untuk menemukan suara sejatinya. Sama seperti I Bunga yang akhirnya menatap laut sendirian, perempuan masa kini juga perlu ruang sunyi untuk menyapa dirinya tanpa topeng peran yang dikenakan dunia.

Laut dan Angin: Dua Cermin Jiwa

Dalam Tunipelaka, laut dan angin bukan sekadar latar. Laut bagi saya adalah lambang dari kebebasan, sementara angin adalah lambang dari suara: suara perempuan yang menolak hilang, meskipun pelan. Ketika I Bunga menyanyikan Pasang-pasang ri Anging di tepi laut, ia tidak sekadar bernyanyi, ia memanggil kembali haknya untuk disebut, untuk diingat, untuk ada. 

Saya selalu terharu setiap kali menulis bagian itu, karena saya tahu, banyak perempuan hidup dengan cara seperti itu, menyuarakan dirinya lewat hal-hal sederhana: lewat doa, tulisan, nyanyian, atau keberanian untuk tetap berdiri. Laut yang luas mengajarkan kita untuk tidak takut pada kedalaman diri sendiri, sementara angin mengingatkan bahwa suara perempuan, meskipun lembut, bisa menjangkau sangat jauh.

Makna “Tunipelaka” dalam Diri Perempuan Masa Kini

Ketika menulis kalimat terakhir:  “Tunipelaka bukan berarti terbuang… kadang, itu hanya nama bagi mereka yang terlalu luas untuk ditampung dunia,”  saya merasa kalimat itu bukan hanya untuk I Bunga, tetapi juga untuk banyak perempuan hari ini. Kita sering disebut “berbeda,” “terlalu keras,” atau “tidak sesuai norma.” Tapi mungkin memang dunia yang belum cukup luas untuk menampung keberanian kita. 

Saya ingin perempuan masa kini tahu bahwa “terbuang” tidak selalu berarti kalah. Kadang, itu berarti kita sedang berada di tempat yang paling jujur, paling tenang, dan paling dekat dengan kebebasan sejati. Sama seperti laut, perempuan tidak perlu izin untuk menjadi luas.

Menjadi Angin yang tak Bisa Dibungkam

Sebagai penulis, saya tidak pernah melihat Tunipelaka hanya sebagai kisah sedih. Ia adalah perjalanan spiritual tentang keberanian menjadi diri sendiri. Saya menulisnya bukan untuk mengutuk adat, tetapi untuk mengingatkan bahwa di balik setiap aturan, ada manusia yang punya perasaan, kehendak, dan mimpi. 

Bagi saya, I Bunga Kebo’ bukan perempuan yang kalah. Ia adalah perempuan yang pulang. Pulang ke dirinya sendiri, ke lautnya, ke sunyi yang akhirnya menyembuhkan. Dalam dirinya, saya melihat pantulan banyak perempuan di masa kini yang terus berjuang, mungkin diam, mungkin lelah, tapi tetap hidup dengan api kecil yang tak pernah padam. 

Dan mungkin, setiap kali angin berhembus dari laut, ia membawa bisikan dari para Tunipelaka di sepanjang zaman: “Kami bukan yang kalah, kami hanya yang memilih jalan lebih jauh.”

Catatan: Penulis sedang menulis novel pendek berjudul, Tunipelaka (Orang yang Terbuang).


Comments

One response to “Mengulik Kembali Legenda Tunipelaka”

  1. Yulie Haryanto Avatar
    Yulie Haryanto

    Keren! Candu ama tulisannya. Fenomena “asing”,”di anggap asing”terutama di kalangan wanita masih marak sampai sekarang. Tapi inilah yg membuat wanita lahir sebagai makhluk Tuhan yg unik dengan smua kelebihannya, dan tangguh dengan semua tempaan hidupnya.

Leave a Reply to Yulie Haryanto Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *