Di Bantaeng, kami dulu percaya bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Tapi itu dulu, sebelum kami tahu bahwa ternyata ada kekuasaan yang lebih tinggi lagi, kekuasaan di bawah kaki Huadi.
Sudah 46 hari lamanya para buruh dari Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi Kawasan Industri Bantaeng (SBIPE-KIBA) bertahan di kantor DPRD. Empat puluh enam hari! Itu bukan aksi, itu sudah jadi musim. Di antara terpal dan kopi saset, mereka menunggu hak pesangon yang seperti janji kampanye: selalu diulang tapi tak pernah sampai.
Mereka bekerja bertahun-tahun di perusahaan besar, lalu diberhentikan tanpa kepastian. Sekarang mereka menuntut haknya, hak yang mestinya sederhana, tapi di negeri yang terlalu menghormati investor, keadilan bisa lebih mahal dari logam nikel itu sendiri.
Puncak kelucuannya, 30 anggota DPRD Bantaeng tidak mampu menghadirkan satu orang direksi PT Huadi Nickel Alloy Indonesia: Jos Stefani Hideki. Tiga puluh melawan satu, tapi yang kalah justru tiga puluh.
Bahkan Bupati dan Wakil Bupati ikut tersandera di bawah kaki Huadi. Semua diam. Semua tampak takut. Seperti anak sekolah yang berusaha menenangkan guru galak, padahal yang dimarahi rakyat.
Saya sempat berbincang dengan seorang buruh bernama Mhaldo, tubuhnya kurus, tapi suaranya tegas. Sambil memegang gelas plastik berisi kopi hitam, ia berkata pelan:
“Kami cuma mau hak kami, bukan bonus, bukan sedekah. Tapi rupanya di Bantaeng ini, pesangon buruh harus disetujui dulu oleh dewa nikel.”
Kami tertawa getir. Karena memang begitulah: di negeri ini, buruh bisa jadi bahan rapat, tapi direksi perusahaan bisa jadi penguasa bayangan.
Rakyat boleh berorasi, tapi perusahaan yang menentukan siapa yang boleh bicara.
Para anggota dewan tetap duduk di kursinya yang empuk, berdiskusi, berfoto, dan mengunggah status dengan caption: “Kami mendengarkan aspirasi rakyat.”
Padahal rakyatnya sedang tidur di atas terpal di gedung itu.
Kalau benar mereka mendengarkan, mungkin yang mereka dengar hanya suara pendingin ruangan, bukan suara perut yang lapar.
“DPRD tidak punya kewenangan,” begitu alasan yang paling sering keluar. Tapi kalau soal perjalanan dinas ke Jakarta, mereka tiba-tiba punya kewenangan luar biasa. Surat jalan bisa jadi secepat kilat, anggaran bisa disetujui secepat senyum investor. Rupanya yang terbatas bukan kewenangan, tapi keberanian.
Bupati dan wakilnya pun ikut masuk dalam kisah ini, bukan sebagai pemimpin, tapi sebagai penonton yang kikuk. Mereka diam di tengah situasi yang seharusnya menuntut sikap. Seolah-olah sedang berpikir keras, padahal yang sebenarnya dicari hanyalah kalimat paling aman agar tidak menyinggung siapa pun.
Katanya, menjaga iklim investasi. Tapi rakyat yang menggigil di gedung DPRD itu, apakah bukan bagian dari iklim?
Seorang pedagang ikan di pasar menggumam sambil menatap berita dari ponselnya:
“Kalau 30 anggota dewan ditambah Bupati dan Wakilnya saja tidak bisa panggil satu direksi, berarti kita memang sudah jadi kerajaan. Rajanya ya Huadi.”
Dan semua di warung kopi tertawa. Tapi itu tawa yang pahit, tawa orang yang sadar bahwa negerinya sedang dijalankan oleh izin tambang, bukan oleh suara rakyat.
Kini buruh-buruh itu menjadi semacam tugu hidup di gedung DPRD. Mereka menandai waktu dengan sore yang makin panjang dan janji yang makin pendek.
Ada yang menulis di karton bekas: “Keadilan jangan disewa oleh perusahaan.”
Kalimat sederhana itu lebih berani daripada seluruh pernyataan resmi dewan.
Di dalam gedung, para wakil rakyat masih berdiskusi. Entah tentang apa. Mungkin tentang siapa yang harus menyusun notulen tanpa menyebut nama Huadi terlalu sering.
Saya jadi berpikir, mungkin DPRD itu sebenarnya bukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tapi Duduk, Pikir, Ragu, dan Diam.
Begitulah keadaan negeri kecil kami sekarang, kerajaan kecil di bawah kaki Huadi.
Rakyatnya tunduk, pemimpinnya membisu, dan buruhnya bertahan dengan sisa tenaga dan keyakinan.
Kalau nanti kisah ini diceritakan ulang di warung kopi, mungkin seseorang akan berkata:
“Pernah ada masa di Bantaeng, di mana satu perusahaan membuat tiga puluh wakil rakyat, satu bupati, dan satu wakil bupati, semua bungkam di bawah kakinya.”
Dan kita akan tertawa lagi, bukan karena lucu, tapi karena tak tahu lagi bagaimana caranya marah.

Pemuda desa, yang bertani di bumi dan bermimpi menanam kebenaran di langit. Telah menjadi lelaki beranak satu, aktif bertani di kebun belakang rumah.


Leave a Reply to Kamir Cancel reply