Sangka Tojengna Gauka

Rapang lembarang dudu na tempo tommo (ibarat beban dipikul, lalu patah). Tanpa saya harus tahu ke mana percaya itu saya tambatkan.

‎‎Empoma nakutakajanna’ nakutimbang ri pakmai (bergumam, tercekat, kemudian saya merelung dalam hati). Melihat peradaban yang terjungkal jauh di tepi kanal yang dipenuhi para kadal.

Kemanusiaan kini terkikis oleh ambiguitas. Ada yang menyamar menjadi Semar dan Petruk. Ada pula sosok Petong! “Sangka tojengmi jammanga“. 

‎‎Di tengah gempita, kelakuan manusia, melewati kemampuan nalarnya, ketuntasan diri, manusia semakin lahap dan kalap dengan “identitas”.

Sang Rajawali murung, parunya kalah oleh perkutut di gedung penebar pesona dan janji yang bermigrasi dan selayang pandang fantasi. Kemarin sore para bedebah berdebat memakai topeng keadilan, kesejahteraan atas rakyat di negeri yang semakin konyol.

‎‎Tupai saja tidak berani kencing di pohon tempat dia menjalani, menapaki menuju peraduannya.  Sementara manusia yang kini direbahkan oleh tradisi yang konyol, lari terbirit, dan kencing berdiri di halaman, dekat pohon akasia dan bunga kamboja. 

‎‎Kita seolah berperadaban maju. Realitasnya masih menjadi pengecut. 

Seolah pengembara dengan menyiksa diri, raga dan mental, dan menyisakan kisah yang tidak pernah dibaca. Justru di era yang kekinian katanya manusia selalu berpikir secara otodidak dan mendadak, padahal ada beberapa bedak dan parfum zaman yang juga harus dikenali. Biar tahu bagaimana memoles diri dengan kecapakan hidup sebagai manusia yang berkualitas.  ‎‎

Sangka tojengmi gauka. Ketika ada jerit mahluk terluka, sekonyong manusia sibuk dan orgasme sendiri. ‎‎

Apakah ini hal baru? ‎‎

Tidak! Sebab menurut seorang karib ketika bertemu sembari melepas rindu menyeruput kopi di tepi sore sebuah cafe,  dia menukilkan bahwa, tak ada hal baru di dunia ini. Semua terkonfirmasi dari sadur di jalur nilai yang tertitah dan bertahta sebagai prinsip, budaya dan tata diri “sierangi tingkokona na bulungna” (sesuai kata dan perbuatan).

Beliau menambahkan kembali, saat penanda haru itu, senja telah menyeka hari, mendengar keluh manusia bahwasanya, “Kejatahatan itu hanya pola yang berulang dengan konteks dan motif yang berbeda sesuai zamannya Kakak  Dion! Wow. Terpental jauh kembali saya mengarungi samudera falasafah ini. 

‎‎Mengapa demikian? Karena budaya sendiri telah memanipulasi dirinya sendiri, dan istiadat itu sendiri melengkapi tabiat manusia yang mengejar khayalan, mimpi dan berakhir menjadi pembual dari  sekumpulan penebar pesona, dengan lencana serta atribut sosial.

‎‎Beberapa juga proses  asyik bersetubuh dengan kepentingan, golongan penyabung di tengah lesung hidup yang kian kompleks. ‎‎

Sangka tojeki rupangna adaka (begitu berulahnya sebuah perilaku budaya) reaksi dan aksi dituding miring, mereka bisa sewenang terhadap kebenaran, atas nama demokrasi, ternyata manusia kini  membela yang bayar! ‎‎

Sipatangarri telah tercerabut, sakau seketika. Adat sisa duplikat yang sebatas simbol pemikat sesaat.  Dongeng kemakmuran diumbar menjadi sumir.  Auto kritik dikira membenci, sementara mereka bersenang-senang di atas derita, membangun mahligai janji, lupa ada petaka yang pelik pada sistem dan peran kehadiran budaya, demokrasi dan manusia tengil membabat dengan bedil-bedil pemikiran yang dekil.

‎‎Ikrar tubarania telah sirna dengan suku kata baru yang di tiru-tiru ingin ngetren. Padahal di negara maju itu karena mendermakan budayanya, tanpa melepas atribut, karakter, prinsip, etos kerja, nila/falsafanya tetuahnya. ‎‎

Apalah arti “ikambe leko’ kayu, ikau Anging mammiri, nammamiriko Anging , amminawang leko’ kayu“.  Ibarat kami daun, engkau adalah angin, ke mana angin bertiup maka daun ikut sebagai perjanjian sakral antara “ata dengan Karaeng” katanya! Bukan menjadi aru yang perantara budak dengan raja, hamba sahaya dengan tuan yang songong. 

‎‎Sangka tojekmi gaukna parangta rupa tau, semua tercerabut, kepemimpinan, kebijakan menjadi slogan manis yang dirintis sekadar. 

‎‎Manusia semakin bertingkah!  Ulahnya sama.  Ada pura berbudaya, dan atas nama budaya, dengan seolah demokratis dengan keputusan nan bijak. Ternyata ujungnya masih membajak, terjebak dengan naluri kepentingan buah perjanjian dari sumpah yang sesungguhnya sampah. 

Lalu Edward B. Tylor tetiba nyeletuk, seakan  mengetuk nalar kejanggalan dan seolah-olah saya merasa paling berbudi dengan penuh daya berucap lirih: Kebudayaan mencakup unsur-unsur sebagai berikut:‎‎

Di antaranya adalah pengetahuan: akumulasi pemahaman manusia tentang lingkungan dan dunia. ‎‎Keyakinan: kepercayaan dan nilai-nilai yang dipegang oleh anggota masyarakat. ‎Ekspresi kreativitas manusia melalui berbagai bentuk seni yang menjadi unsur harmoni, bukan sekadar simfoni. ‎‎

Edwar kembali menandai secara khusus bernama moral dan etika: aturan perilaku dan standar yang dianggap baik atau buruk dalam masyarakat. ‎‎Selanjutnya dia perkuat bagaimana peran hukum: norma dan aturan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan sosial. ‎‎

Lantas bagaimana dengan adat istiadat yang menjadi rujukan? Sementara kusaksikan banyak yang mulai berak di celana mereka sendiri! ‎‎Saya mulai menafsir, menakar dan memantik bahwa, kebiasaan dengan mitologi yang  turun-temurun itu, tidak pula  semua harus diadaptasi, bahkan butuh klarifikasi dan konfirmasi pada situasi dan peradaban  yang selalu berkembang.

‎‎Apa saya terlalu gegabah ya? Menelaah cerita yang dicocoklogikan bernama sejarah? Kemudian mengubah arah jarum navigasi sejarah itu sendiri beralih dan berdalih atas nama pemenangnya?   membangun narasi yang apik nan menarik menjadi teori tutur atau dongeng semata. ‎‎Atau saya harus menjalani ritual semadi? Yang juga kadang berlebihan memercayai  mitos yang kadarnya belum bisa dipercaya secara utuh sebagai sumber segala sumber? ‎‎

Hem.  Sangka’ tojekmi kanasaba anremi adaka  sipatangarri. Allarimi angjari simpung, surang bunga kalumeng ri gentuganna. (Terlalu banyak berulah sudah, adat saling menopang dan saling menghargai telah punah,  membuat semua terhempas terkulai) tanpa dikenali lagi. ‎‎

Fenomena semakin ganjil, dan saya hampir sedikit mulai gagal memahami, bagaimana prilaku budaya dan manusia itu merawat bukan hanya sisi keramat.  Tapi ada minimal duplikat, bukan hanya muslihat di antara kebudayaan dan manusia itu sendiri, saling merasa, mengakui, peduli, padahal menjadi benalu serta kesimpang siuran yang tidak punya panduan.

‎‎Bergeser ke abad misalnya abad 20-an hingga terjal menanjak ke kinian, tak punya lagi daya. Karena sang dalang mulai raib satu persatu menutup aib dan menunjuk gaib sebagai kambing hitam. Hidup dalam kubangan sejarah yang  juga konyol, adalah cara budaya baru aaa merekayasa mencabik-cabik tatanan nilai kearifan, kehidupan yang sejak dulu menjadi pandu, kini budaya dalam sakit parah ditandu entah ke mana.

‎‎Bagaimana bisa perilaku itu terbangun dengan mengubah pola pikir, sementara pengetahuan yang juga masih samar seperti saya. Butuh urung dan saling menerima, memahami, tanpa melucuti satu sama lainnya. Sepercik siri’ na pacce yang kadang hanya tameng saja. Dia harus menyesuaikan zaman, bagaimana siri’ sama pacce itu bertaruh dan diterapkan di saat sekarang itu tidak relevan lagi. Hem. ‎‎

Nah. Paling semua hanya sekadar “pembalut” saja. Sementara kehidupan, keadilan yang terbelah, tanpa telaah, atau semua sama dalam hukum dan keadilan, tiada lagi memanusiakan manusia!

‎‎Apalah guna budaya, adat, falsafah yang kadang saling mengadali, mencicipi risalah? Bahkan sejarah kemudian mengemis ke pencatut dan hanya sarang masalah. ‎‎Seketika kelompok manusia merasa berbudaya, namun “sangka toje gaukna“? Ada yang meratapi nasib dan peran manusia sebagai pemimpin menata dan mengayomi, namun berbuah petaka. ‎‎

Sangka’ tojengmi gauka, loemi tau macca, mingka allari ri sesena tokdo pulina. Betapa banyak tingkah, bersebaran orang cerdas, tetaplah bergabung culas. Lari dari prinsip dan ideologinya sendiri.

Empati, simpati adalah bagai melati yang menjelma menjadi belati bermata dua. Sebab para persona mulai terjungkal oleh sebuah hal sepele berburu pesona. ‎‎

Seraya geliat peradaban, menaklukkan yang telah ada menjadi penanda dan artefak menjadi terdepak, di tengah kerumunan manusia mengaku punya habitat dalam sebuah tabiat dan aktanya berbudaya, akan tetapi dicolong dan tercoreng atas fenomena yang kini sangat terdeteksi dengan “sangka’ tojengna gioka” yang jauh melompati batas-batas nilai.

Ini hanya sehelai interupsi, pada larik narasi yang mungkin bisa saja bertemu pendaras segala interpretasi. Celupkan saja ke anggur, anggaplah ini hanya pemabuk jalanan menginterupsi setiap peradaban manusia yang begitu banyak “sangka’ gaukna“. Seperti saya yang mulai bertingkah semakin konyol.

Sumber gambar: pixabay


Comments

4 responses to “Sangka Tojengna Gauka”

  1. Sangka’ tojengmi gauka, loemi tau macca, mingka allari ri sesena tokdo pulina. Betapa banyak tingkah, bersebaran orang cerdas, tetaplah bergabung culas. Lari dari prinsip dan ideologinya sendiri… ” Jujur berkata dan tindakan”

  2. Dion Syaif Saen Avatar
    Dion Syaif Saen

    Makasih Pak Andira apresiasinya

  3. Sitti Rahmah Avatar
    Sitti Rahmah

    Realita manusia jaman sekarang, dimana adab dan tojeng tidak lagi dijadikan panduan hidup. Banyak manusia sekarang yang tenggelam dalam keasyikan mencapai tujuan hidupnya, mingka tanga assaile mae risa’ri mae riboko. Melaju tanpa peduli pada sekitarnya apakah benar dan tojengmi gau’ gau’na.. 🙏

    1. Dion Syaif Saen Avatar
      Dion Syaif Saen

      Wow. Sebuah interpretasi yang ditancapkan dalam narasi dengan tajam, menohok.

      Ya. Sangka’ tojengna gauka. Loe tojemi takkaluppa.

      Makasih Kakak Siti Rahma telah membubuhi di laman ini.

Leave a Reply to Sitti Rahmah Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *