Perjuanganmu menjadi artefak dan jejak, bahwa pernah menjadi bagian dan saksi perjalanan hidupmu sebagai buruh yang dikebiri haknya, di tengah gagapnya para pejabat yang hanya meneguk anggur di meja kepentingan. Mereka lupa, karena mabuk berjamaah.
Atau mungkin lebih bisa saja juga kurang, dari tiga tahun, terhitung dengan jemari. Ada sesungut menunggu di antara kepastian dan realitas yang siap untuk segala tebasan waktu yang sia-sia.
Bertahan, di tengah seabrek kebijakan yang saling tarik menarik, di antara para sang dalang.
”Lekba sare tawanu todo issede. Tania takaddere, mingka sekre papilajarang, ri sesena tallasaka, surang ia niaka nu rampe nukassummang, Tanre nasingkamma biasa tingkokona surang bulungna. (Telah menjadi bagian proses tertempanya jiwamu, dengan segala harapan serta mimpi, dari mereka yang tidak sesuai dengan kata dan perbuatan).
Teako surampangi surang nubawang-bawangngi parampenu. Ka nasaba loemi sirangga sela, lari ri tokdo pulina. (Jangan sembarang, dan membawa diri serta kebajikanmu ke sesiapa. Sebab banyak saling berselisih, bertengkar, sesama sanak keluarga, hanya persoalan sederhana dan receh).
Tidak sedikit pula celoteh di tengah aksimu, di bawah bendera perjuangan para buruh yang berserikat untuk hakmu yang diranggas. Padahal ada yang culas memainkan topi komando. Mereka tidak paham, mendebatmu, menganggapmu perusuh di jalan.
Kau tetap bertahan, tenang, menahan marah dan kecewa, getir seketika, justru mereka yang tegang, dengan cara yang konyol.
Tetiba hanya karena anti kritik, solusinya dengan sebuah aksi atas nama solidaritas masyarakat, lalu hendak dibentur-benturkan.
Saya terjenak, tercekat, menyaksikan fenomena nan miris ini. Hidup bukan hanya hitam putih. Menjadi manusia tidak harus menjadi pecundang. Maka bertarunglah atas nama kebenaran, bukan ketenaran. Ibu mengusap air matanya, dalam keceman penuh kecemasan.
Kau tahu Benazir Bhutto? Dia punya prinsip bahwa, kapal bukan di buat hanya tertambat di pelabuhan saja, tapi dia diciptakan mengarung, bertarung.
Selain bertarung, harus tahu jalur navigasi dan nahkoda yang mana lebih bisa mengendalikan laju kapal. Tidak harus kau sesali. Sebab kau hanya sekali dilahirkan. Jangan berkhianat dengan dirimu sendiri, tidak seperti di sana yang menukar prinsip dan sumpahnya.
Tiga tahun peluhmu mengalir, paling kira-kira dari sekian upahmu, hanya menyuguhkan sesuai kebutuhan. Menderma diri bukan pasrah atau menyerah oleh cukong. Tapi bertahan dengan bertahan hidup dari keadilan yang redup seketika.
Nak. Jika itu belum memenuhi syarat akad perjanjianmu, maka bertarunglah, dan kini baru kau tahu betapa untaian kata manis tidak harus terbawa pesona, semua terungkap saat segalanya telah tertunai oleh sebuah atas nama perjanjian yang hasilnya hanya “pakballe toli“.
Sementara kau punya kesiapan akad dan tekad untuk berikrar pada perjanjian kontrak, meski peluhmu dikremasi oleh perjanjian yang sudah basi. Tetiba seorang ibu tersenyum menahan lukanya, menaruh bunga kamboja di antara matinya keadilan. Menganyam bunga kertas di atas meja.
Sebuah kekisruhan dalam undang-undang yang konyol. Terbukti mustahil untuk menghancurkan kepengecutan mereka yang bersekongkol. Begitulah dialektika politikal tipikal mengelabui setiap persemaian dramatikal transaksional di balik layar.
Di alur mengulur, tersisa hanya bilur. Membuat ketidakpercayaan itu semakin menjadi episode sebuah periode terhadap dampak sosial.
Bertindak bukan atas nama budak kepentingan, dan di antara bidak-bidak kekuatan Yuan!
Bukankah untuk setiap peran manusia di mana saja dia berinteraksi, secara budaya, politik, cinta, sosial masyarakat. Jika diam kau akan tertindas, dan dibungkam?
Nak. Kau punya potensi, hanya saja masih terjebak oleh pikiran orang lain, sebagaimana teori konspirasi dan konflik, yang terselenggara dengan kerja sama. Karena mereka sebagian suka mangkir, takut mengambil risiko.
Yah. Jadilah pemenang di antara pilihan konsekuensi hidup yang kini telah kau pertaruhkan.
Tiga tahun. Kau merekahkan senyum ibu. Dari sekian tetes keringat, di antara mereka mencibir dan menunggu kabar duka PHK yang di-PHP. Empati sebagian hanya badut penghibur.
Tak sedikit pula menghakimi secara sepihak. Seperti situasi sosial saat ini. sesama kerabat, sanak dan tetangga, mulai saling meragu tentang nilai, ada berkedok, ada juga jujur kacang ijo.
Nak. Hari ini! Siapa yang jago berkelik, maka dia pemenangnya, apatahlagi secara materi. Benar dan salah, semua aman-aman saja. Tapi jika belum terlihat sukses, maka di antara mereka klise semua. Minimal kau menjadi pahlawan terhadap dirimu sendiri.
Suasana mengubah, ketika seorang ibu menyeka resah dalam gelagat manusia yang penuh pandir, suaranya pelan!
Nak. Picis, berbeda tipis dengan licik. Cerdik punya resonansi dengan definisi: memiliki arti cepat mengerti (tentang situasi dan sebagainya) dan pandai mencari pemecahannya dan sebagainya: panjang akal, banyak akalnya (tipu muslihatnya), licik, serta licin. Menurut pengertian dari kamus bahasa katanya.
Nak. Sapaan itu kembali hadir menyeka. Kadang kita lupa, saat menciptakan kenduri itu tetiba hampa, di sana ada titik nadir yang kadang kita jauhi untuk kita pikir. Sebab manusia sekarang terlalu berambisi, maka saat kemustahilan itu kita paksa-paksa, maka kecewa akan bereaksi tanpa kita sadari.
Katutui siki’dia, surang sikalia. Teako sanna pangngainnu mange ri taua, kanasaba biasa punna takliwaki, biasa angjari lakbai. (Nak. Berhati-hatilah pada hal kecil, jangan berlebihan berekspesrasi tinggi kepada seseorang, sebab jika berlebihan akibatnya biasa hambar).
Tiga tahun kau hampir menyerah, hanya sekadar menghibur seperti mereka pengibar janji-janji rakyat, merangsang dengan mencuri perhatian dari metafora yang disusun apik. Sementara dalam konten di dalamnya ada percakapan yang mencakar-cakar hak dan kewajiban.
Sebagaimana pendekar jalanan, yang merasa idealis, juga terserabut, terkapar, luluh di antara transaksi dan kepentingan.
Ini bukan sebatas opini, apalagi fiksi, tirani ini disuguhkan berlangsung di setiap tikungan dan telikungan, dari setiap manuver dan spekulasi.
Nak. Mereka mulai panik, atas kebenaran, hak, dan junjungan integritas kau usung bersama mereka kawan senasib sepenanggungan. Berjuang di antara semak belukar hukum, negara, undang-undang, para perecok terselubung hendak menodai perjuanganmu.
Apakah dilema? Kita kadang merasa telah merasa benar, tapi di sisi lain ada juga jauh lebih ingin tenar. Sifatia manusia yang memang suka mengada-ada.
Nak. Bukankah hari ini kau harus beranjak meninggalkan bekas koyaknya peradaban manusia? Dan kemudian kau memasuki belukar budaya? Miris nan pelik rasanya, tiga tahun kucuran keringatmu, dari lembur hingga pesangon mereka aduk menjadi bubur.
Nak. Kemasyhuran seseorang, bukan karena kau pandai, atau melekat nama di belakang nama, banyak merasa berbudaya luhur, tapi mudah luntur sehingga mulai mengambil keputusan ngawur.
Nak. Inilah permainan. Pecahkan dengan caramu bersama serikat yang sekarang memberimu ruang untuk berbicara lantang, di tengah para petantang-petenteng hanya menjadi tameng. Sementara dalang menuang anggur dan cerutu yang hanya “carita campur kentut”.
Aroma parfum, dan aturan mereka kulum di ruangan para dewan menyenggol sesama hidung-belang! Solusi dengan teken palsu untuk segera ada pansus. Tapi pada akhirnya menjadi “pansos”.
Kocak juga rasanya dengan otak yang minim, yang ternyata kemarin hanya mengincar isi kotak saat bertarung suara dari sekian siluman amplop. Berharap menjadi pembela dan penyantun suara jerit rakyat. Justru sebagian ngacir juga sama ngelantur. Gagap dan kurang membaca, memahami nomenkelatur.
Apakah kembali akan menjadi parade penganggur? Seketika gugur hanya karena ketidakberanian seorang pemimpin dan beberapa pihak terkait mengambil jalur kebijakan yang lebih solutif.
Turun ke jalan cara lebih memberi kami beradab, sebab semua adab telah disingkirkan, dengan seakan tuli mendengar jerit suara buruh yang terluka, karena suara dan tuntutan itu dikadali, bahkan dianggap sepele, dan bahkan anehnya toh di zaman sekarang masih banyak yang anti kritik? Hingga mereka tertuduh perusuh dan pengganggu para pengguna jalan?
Nak. Sejak itulah, saya mulai tahu, betapa sekian lama geliat kerancuan sistem, dan nasibmu sebagai buruh pabrik, dengan legam kulitmu menahan sengatan bara tungku perapian.
Sekian lama kau rasakan, dan diam tidak harus melawan, sebab ancaman dan intimidasinya jauh lebih kejam dibanding penjajahan yang hidungnya mancung dan kulitnya yang putih kemerah-merahan.
Yang kini terjajah dari kulitnya sama denganmu, peradaban, budaya dan hidung peseknya sama denganmu, tinggi badan, kecerdasanmu bahkan melebihi darinya. Justru nasib dan kinerjamu tergantung atas nama Yuan dan perintah puang?
Nak. Mereka tidak tahu, bahkan tidak mau tahu tentang detak nadi dan jantungmu separuh waktu kerja, lalu disunat. Mereka tidak rasamu yang terkoyak atas nama hak. Sekonyong-konyong menukil ditunggangi? Siapa menunggangi, sesiapa tertunggangi. Hem. Saya mendengar itu, Nak.
Padahal saya tahu kau pamit, dan kemudian membasuhkan doa di ubun-ubunmu, tubuh yang semalam tak nyenyak dan lelap tidurmu, terusik oleh bayang menakutkan antara di rumahkan dan PHK, apakah akan berujung manis? Toh semua anding nan miris bin tragis.
Nak. Kekhawatiran ibu, saat pagi sampai bermalam tanpa melakukan tindakan anarkis. Lalu mereka gagal untuk memaksamu bertindak arogan agar mereka menang atas rekayasa konflik mereka hendak percik dan memantik.
Sore melintasi jejak waktu, tapi tidak usai hari ini, karena di sinilah ruang kritis dan tuntutan ini diperdengarkan ke khalayak, agar mereka (masyarakat) tahu bagaimana nasib buruh meminta, menunggu jawaban pasti, bukan jawaban ambigu, baik dari pihak perusahaan, bupati, suara perwakilan rakyat (DPR), serta beberapa unsur terkait lainnya.
Di sini di parlemen, menurut salah orang tokoh aksi yang mampu menahkodai, dan menenangkan gejolak yang terpendam lara luka terasa. Dan patut kita respek, empati dan apresiasi sebuah prestasi bertaruh jiwa, batin gejolak amarah. Mampu diredam hingga sampai saat ini.
Dan tidak sedikit mengatakan dan mengungkapkan rasa solidaritas, dan salut dalam keheningan dan ketenangan, di tengah seribu gumpalan intimidasi, provokator dan aktor yang hendak menggugurkan nilai perjuangan. Salam apresiasi dari mereka katanya.
Selamat berjuang, Nak. Jaga nutrisi jiwa sebagai benteng pertahanan yang kokoh. Solid dan tetap saling menguatkan satu dengan lainnya “Nasaba sekre Kana nujului ngase. Jarrekke tappa’nu, surang tokdo pulinuji antu nani arekki tau”.
Kredit gambar: https://chatgpt.com/s/m_68c23a5ceac881918ee0e889d63b4118

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply