Ada saat dalam hidup ketika kita tiba-tiba berhenti di ambang pintu, menoleh ke belakang dengan dada penuh napas panjang, lalu menyadari: mungkin inilah akhir dari satu babak, dan awal dari babak yang lain. Di titik itu, rasa lega bercampur gentar, syukur bertubrukan dengan keraguan.
Saya menuliskan ini dengan kesadaran semacam itu. Tulisan ini mungkin menjadi refleksi akhir saya di babak kepemimpinan saat ini. Saya menuliskannya dengan rasa yang ganjil. Separuh lega karena sudah melewati jalan berliku, separuh gentar karena harus bersiap memasuki babak berikutnya yang masih gelap.
Seperti Obana Natsuki dalam La Grande Maison Tokyo, saya pun berdiri di ambang pintu, membawa ransel penuh pengalaman, luka, dan harapan. Ada rasa penasaran yang tak bisa ditepis: apa yang menunggu di depan, dan bagaimana saya akan menghadapinya.
Saya belajar bahwa kepemimpinan, pada akhirnya, tidak sesederhana soal gelar, posisi, atau tanda pangkat di bahu. Ia justru diuji dalam keberanian untuk tetap hidup di “dapur kehidupan”, semacam ruang yang penuh asap, penuh riuh, penuh rasa getir dari percobaan yang gagal, sekaligus penuh aroma harum dari hasil yang berhasil.
Kepemimpinan, bagi saya, adalah perjalanan yang tidak pernah selesai. Ia adalah kesediaan untuk masuk ke dapur itu lagi dan lagi, meski tahu tangan bisa terbakar, meski tahu resep kadang tidak sesuai harapan.
Di sanalah saya belajar bahwa keberanian seorang pemimpin bukan terletak pada kemampuannya menjaga wajah di panggung, melainkan pada ketekunannya bertahan dalam ruang-ruang tersembunyi yang jarang disorot. Ada yang menyebutnya dedikasi, ada yang menyebutnya pengabdian.
Bagi saya, itu lebih mirip dengan kesabaran panjang seorang koki yang terus mencoba hingga menemukan rasa yang pas. Singkatnya, adalah seni mencicipi pahit dan manis kehidupan, lalu tetap menyajikannya kepada orang lain dengan hati yang utuh.
Obana pernah jatuh. Restoran Escofille yang ia bangun dengan darah dan reputasi hancur berantakan setelah insiden kacang yang nyaris merenggut karier banyak orang. Ia bukan hanya kehilangan tempat kerjanya, tetapi juga kehilangan kepercayaan, ditinggalkan kawan, dituduh, bahkan dicurigai seakan-akan seluruh kesalahan dunia ditumpahkan ke pundaknya. Di titik itu, apa lagi yang tersisa?
Namun, justru di titik terendah itulah kepemimpinan diuji. Apakah seseorang memilih diam dan membiarkan luka membusuk, menyerah dan menutup buku, atau bangkit meski harus berjalan dengan kaki yang masih goyah.
Obana memilih bangkit. Ia memulai kembali dari nol, tanpa gemerlap, tanpa jaminan, hanya dengan keyakinan samar dan orang-orang yang juga sama-sama terluka. Dari sana saya belajar bahwa kepemimpinan bukanlah perjalanan mulus yang lurus ke depan, melainkan kesediaan untuk kembali menyusuri jalan meski pernah runtuh di hadapan kita.
Pelajaran itu terasa menempel dalam diri saya bahwa kepemimpinan sejatinya bukan tentang menghindari jatuh, melainkan tentang berani menegakkan diri setelah terhempas. Ada kesabaran untuk menampung kekecewaan, ada kerendahan hati untuk menerima bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan bagian dari jalan.
Obana mengajarkan saya bahwa seorang pemimpin tidak diukur dari seberapa lama ia berdiri tegak di atas panggung, melainkan dari seberapa dalam ia mau masuk kembali ke dapur, tempat di mana asap pekat, riuh, dan risiko selalu menunggu.
Kepemimpinan, dalam arti yang paling manusiawi, adalah keberanian untuk menyalakan api lagi setelah bara hampir padam, dan keyakinan bahwa dari luka yang sama, sebuah tim bisa bangkit, belajar, lalu melangkah bersama dengan visi yang lebih matang.
Kepemimpinan, ternyata, tidak berhenti pada keberanian mengambil keputusan, melainkan juga keberanian menanggung kesalahan yang bukan seluruhnya milik kita. Obana menunjukkan hal itu ketika ia menutup tubuhnya untuk melindungi Shohei, koki muda yang sejatinya menjadi penyebab insiden kacang yang menghancurkan nama Escofille.
Selama tiga tahun penuh ia menanggung tuduhan, cibiran, bahkan luka reputasi yang dalam, sementara Shohei tetap bisa melanjutkan hidup dan kariernya.
Dari situ saya menangkap pelajaran penting: seorang pemimpin tidak hanya bertugas membimbing arah, tetapi juga menanggung beban. Kadang dalam diam, kadang dalam luka yang tidak terlihat. Ada harga yang harus dibayar ketika memilih berdiri paling depan, dan salah satunya adalah kesediaan menerima tudingan yang seharusnya tidak seluruhnya ditujukan pada dirinya.
Namun kepemimpinan, bila hanya dimaknai sebagai pengorbanan, akan terasa kering dan penuh getir. Obana memperlihatkan wajah lain dari kepemimpinan: keberanian untuk membuka ruang, bahkan bagi orang yang datang dengan dendam di hatinya.
Kanna Kuzumi, anak diplomat yang hidupnya hancur akibat insiden kacang, adalah sosok yang wajar bila menolak hadir kembali di dunia yang membuatnya kehilangan banyak hal. Tetapi Obana justru memberi kesempatan, membuka pintu, bahkan memberi tanggung jawab yang nyata.
Ia membiarkan dendam yang mengeras berubah menjadi dedikasi yang menghidupkan dapur. Dari sinilah saya belajar melihat kepemimpinan sebagai ruang terbuka: ia tidak melulu soal menjaga yang sudah ada, melainkan juga menerima yang datang dari arah tak terduga, sekalipun dengan luka.
Maka, saya membacanya begini: pemimpin sejati adalah jendela, bukan tembok. Ia tidak menutup rapat, tidak menghalangi pandangan, melainkan membiarkan cahaya masuk, mengizinkan udara segar mengalir, dan memberikan arah pandang baru bagi siapa pun yang menatapnya.
Seorang pemimpin tidak hanya menghadirkan rasa aman, tetapi juga keberanian bagi orang lain untuk melihat kemungkinan yang lebih luas. Bahkan bagi mereka yang datang membawa gelap sekalipun, seorang pemimpin bisa menghadirkan cahaya yang cukup untuk mengubah niat buruk menjadi kerja penuh makna.
Itulah yang membuat kepemimpinan tidak berhenti pada posisi atau jabatan, melainkan pada keberanian hati untuk menjadi jendela bagi banyak orang, di kala terang maupun di kala gelap.
Yang paling menyentuh dari perjalanan Obana adalah ketika restoran mereka akhirnya berhasil meraih bintang tiga Michelin. Puncak prestasi yang didamba oleh banyak koki di dunia. Namun, pada momen yang seharusnya menjadi panggungnya, ia justru memilih menghilang dari sorotan. Ia membiarkan Ringko Mayami, kepala koki yang dulu rapuh, penuh keraguan, bahkan hampir kehilangan percaya diri, berdiri di depan menerima tepuk tangan dan sorot kamera.
Obana tidak perlu nama, tidak perlu pengakuan, tidak perlu sejarah yang mencatat dirinya sebagai tokoh utama. Ia lebih memilih berdiri di balik layar, memastikan bahwa orang-orang yang pernah ia topang kini cukup kuat berdiri di panggung mereka sendiri.
Dari situ saya belajar bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang keberanian memimpin langkah, tetapi juga tentang kerelaan untuk menyingkir ketika saatnya tiba, memberi ruang bagi yang dulu pernah diragukan untuk akhirnya bersinar.
Saya kira, di situlah letak seninya. Kemampuan untuk membaca ritme, mengetahui kapan harus maju, kapan mesti mundur, dan kapan cukup menjadi penopang yang tak terlihat. Obana mengajarkan bahwa seorang pemimpin tidak harus selalu berdiri paling depan atau mencatatkan namanya dalam sejarah kemenangan.
Kepemimpinan justru menemukan kemurniannya dalam kelegaan hati: mendorong yang di depan agar lebih tegap, menopang yang di belakang agar tidak tertinggal, dan menjaga agar semua bergerak bersama.
Ada kebahagiaan yang sunyi tetapi dalam, saat seorang pemimpin menyadari bahwa keberhasilan orang lain yang pernah ia bimbing adalah juga keberhasilannya. Itu bukan kehilangan, melainkan kepenuhan; bukan penghapusan diri, melainkan pembuktian bahwa kepemimpinan sejati adalah tentang menyalakan cahaya pada orang lain, lalu rela berjalan ke tepi ketika cahaya itu sudah cukup terang.
Teman-temanku. Saya percaya kepemimpinan bukanlah soal siapa yang paling sering terlihat di panggung, melainkan siapa yang berani rela hilang dari sorot cahaya. Ia bukan tentang ambisi pribadi yang menggelembung, tetapi tentang mimpi bersama yang dikerjakan dengan sabar. Ia bukan tentang citra sempurna yang tak bercacat, melainkan tentang kesediaan untuk tetap turun ke dapur kehidupan, mengaduk panci penuh asap, menghadapi riuh, menanggung percobaan yang gagal maupun yang berhasil.
Kepemimpinan, pada akhirnya, adalah kerja panjang yang lebih banyak berlangsung dalam diam, dalam ruang-ruang yang jarang disorot, tapi meninggalkan jejak yang dirasakan banyak orang.
Tulisan ini mungkin terdengar seperti catatan kecil dari ruang pribadi, sebuah renungan yang lahir dari perjalanan panjang dan berliku. Namun sejatinya, ia adalah surat untuk kawan-kawanku yang sedang atau pernah memimpin, di lingkup besar maupun kecil.
Saya belajar, kepemimpinan sejati bukanlah kursi empuk yang nyaman atau panggung megah yang penuh tepuk tangan, melainkan keberanian untuk menanggung kesalahan, membuka pintu bagi yang bahkan datang dengan luka, dan menyingkir di saat yang tepat. Di situlah wajah sejati kepemimpinan: menanggung dengan tabah, membuka dengan lapang, dan menyingkir dengan rela hati.
Jika ada satu hal yang terus saya resapi, itu adalah bahwa seorang pemimpin tidak dilahirkan untuk selamanya berada di garis depan. Ada saat di mana ia harus menyiapkan orang lain untuk mengambil tongkat estafet, untuk berdiri di panggung yang sama, bahkan melampauinya.
Dan di titik itulah pemimpin menemukan kepenuhan dirinya: saat melihat orang-orang yang pernah ia topang kini bisa berjalan dengan kaki sendiri, membuat keputusan dengan kepala sendiri, dan bermimpi dengan hati sendiri. Itulah kemenangan yang tidak memerlukan tepuk tangan, kemenangan yang diam-diam terasa jauh lebih abadi.
Dan jika suatu hari nanti saya harus melanjutkan ke babak baru dalam hidup saya, maka saya ingin percaya bahwa seperti Obana dalam kisah yang menginspirasi itu, tugas saya bukanlah memastikan diri tetap berada di depan barisan.
Tugas saya adalah memastikan bahwa tim yang saya tinggalkan tetap mampu melangkah, tetap berani memasak di dapur kehidupan, dan tetap percaya bahwa mereka pun bisa menemukan bintang mereka sendiri. Saya yakini, ini adalah tentang meninggalkan api yang tetap menyala, bukan nama yang dipuja.
Maka saya ingin menutup catatan ini dengan sebuah pertanyaan. Bagaimana menurut kawan-kawan? Apakah kita masih melihat kepemimpinan sebagai gelar dan simbol, ataukah kita berani memaknainya sebagai seni menyingkir, seni membuka, seni menanggung, dan seni memberi jalan?
Karena pada akhirnya, setiap dari kita adalah pemimpin dalam lingkupnya masing-masing. Dan barangkali, di sanalah letak ujian terbesar kita. Bukan untuk memastikan kita selalu berada di depan, tetapi memastikan bahwa siapa pun di sekitar kita bisa menemukan bintangnya sendiri.
Kredit gambar: https://chatgpt.com/s/m_68bea47b3bc88191b9e5e3d6cc1abf72

Lahir di Sungguinasa, Gowa, 19 Juni 1981. Bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantaeng, selaku Kepala Bidang Pembinaan Ketenagaan. Menjabat Ketua Umum Komunitas Guru Belajar Nusantara Periode 2019-2022. Selain menulis, juga suka baca karya sastra, dan olahraga badminton.


Leave a Reply