Dua anak saya, Zetkin dan Alita, dirawat di Klinik Doi sejak 21 Agustus. Setelah sembilan hari menjalani perawatan, dokter menyatakan Alita sudah boleh pulang pada Sabtu, 30 Agustus. Namun, karena kakaknya, Zetkin, masih membutuhkan perawatan intensif, Alita tetap tinggal di ruang rawat, sebab di rumah tidak ada yang jaga.
Senin, 1 September, dokter yang menangani Zetkin menyampaikan bahwa setelah antibiotik terakhir selesai dimasukkan melalui infus sekitar pukul 13.00, Zetkin sudah boleh pulang. Mendengar kabar itu, istri saya langsung bersiap mengemasi barang-barang. Saya pun segera menghubungi seorang kawan bernama Papi untuk menjemput dan mengantar kami ke Jeneponto. Namun, Papi menyarankan untuk menunggu sampai aksi buruh di depan Kantor Bupati Bantaeng selesai, karena jalan kemungkinan ditutup. Aksi diperkirakan selesai pukul 5 sore. Istri saya akhirnya memutuskan untuk pulang keesokan harinya saja, karena administrasi juga belum diurus.
Keesokan paginya, Selasa, 2 September, istri saya mengurus administrasi dan mengantre obat rawat jalan. Sekitar pukul 10.00, semua urusan selesai. Namun aksi demonstrasi buruh sudah kembali berlangsung. Kawan saya kembali menyarankan untuk menunggu hingga aksi selesai. Saya menyetujui, dan bersama kawan itu, saya menuju lokasi aksi. Di sana saya menyaksikan langsung situasi yang jauh lebih besar dari urusan memulangkan anak-anak dari klinik.
Buruh Memilih Jalanan Sebagai Panggung Peringatan
Saya tiba di lokasi aksi dan bergabung dengan ratusan massa buruh. Sebagian besar dari mereka adalah kawan-kawan saya. Menjelang siang, sejumlah pejabat daerah; Kepala Kesbangpol, Kepala Dinas Ketenagakerjaan, Kepala Satpol PP, dan mediator ketenagakerjaan, datang menghampiri pimpinan aksi. Mereka menyampaikan bahwa Bupati Bantaeng bersedia menemui perwakilan massa aksi.
Sekitar 10 orang buruh ditunjuk sebagai perwakilan. Saya diajak ikut serta. Setelah menunggu sekitar 30 menit, Bupati Bantaeng bersama rombongan tiba. Pertemuan digelar di lobi Kantor Bupati Bantaeng. Setelah mendengarkan pengantar singkat dari moderator, Bupati Bantaeng menyampaikan bahwa ia telah berkomunikasi dengan PT. Huadi, dan pihak perusahaan masih menunggu keputusan para pemegang saham.
Empat perwakilan buruh lalu angkat suara. Mereka menyampaikan bahwa perusahaan telah melanggar kesepakatan. Pesangon hanya dibayarkan setengah dari yang seharusnya. Bahkan, cara membayarnya pun tidak lazim, langsung ditransfer ke rekening buruh tanpa kesepakatan tertulis dan tanpa sepengetahuan serikat.
Perwakilan buruh menegaskan bahwa ini bentuk pengingkaran atas perjanjian bersama yang ikut ditandatangani oleh Bupati Bantaeng dan Kapolres Bantaeng. Karena itu, aksi dilakukan sebagai bentuk desakan agar pemerintah bersikap tegas kepada PT. Huadi.
Dialog dengan bupati berakhir tanpa kejelasan kapan perusahaan akan membayar lunas pesangon buruh. Namun, bupati berjanji akan kembali berkomunikasi dengan perusahaan. Sementara buruh menegaskan akan tetap melakukan aksi hingga pesangon dibayar penuh. Bupati mempersilahkan aksi dilanjutkan, tapi ambulans dan mobil pemadam harus diberi jalan untuk melintas. Perwakilan buruh setuju. Dialog selesai.
Seusai dialog, saya berdiskusi dengan Edi, Ahmad, dan Mursalim. Saya bertanya mengapa aksi harus memblokir seluruh jalan. Ahmad menjelaskan bahwa itu dilakukan sebagai bentuk tekanan terhadap pemerintah. Buruh ingin pemerintah segera bertindak tegas terhadap PT. Huadi yang melanggar kesepakatan pesangon terhadap 218 buruh yang menolak dirumahkan.
Saya melanjutkan pertanyaan, mengapa tidak menggelar beraksi langsung di depan pabrik? Salim, eks leader dari unit Wuzhou, menjawab bahwa titik aksi dipilih di depan kantor bupati karena perjanjian awal antara buruh dan perusahaan dimediasi oleh bupati dan Kapolres, yang juga turut menandatangani kesepakatan. Bagi buruh, tanda tangan bupati adalah jaminan bahwa perusahaan akan patuh. Karena perjanjian itu dilanggar, maka tanggung jawab juga jatuh pada pemerintah.
Namun, pesangon bukan satu-satunya masalah yang dihadapi buruh. Selama bertahun-tahun, buruh di smelter PT. Huadi dipaksa bekerja 12 jam sehari dalam sistem shift. Sementara yang bekerja dengan sistem reguler bekerja 10 jam sehari selama 7 hari berturut-turut tanpa libur. Menurut Hasbi Assidiq dari LBH Makassar, dua pola ini sama-sama melanggar batas jam kerja maksimal yang diatur hukum.
Parahnya, kelebihan jam kerja yang seharusnya dihitung sebagai lembur malah dihitung sebagai “insentif shift”, yang nilainya hanya 40% dari standar lembur pemerintah. Akibatnya, buruh mengalami kerugian sekitar 60 juta rupiah untuk masa kerja tiga tahun.
Hebatnya anjuran dari pengawas ketenagakerjaan kepada perusahaan untuk segera membayar kekurangan upah 20 buruh yang mengajukan keberatan, diabaikan oleh PT. Huadi. Mereka bahkan menggugat buruh ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Beruntung LBH Makassar menyiapkan 12 pengacara untuk mendampingi buruh.
“Itu baru dua pelanggaran kak, masih ada sejumlah pelanggaran lain, seperti pengekangan kebebasan berserikat, kelalaian dalam menerapkan K3, upah pokok 2025 dibayarkan dibawah UMP, kebijakan merumahkan buruh, dan banyak pelanggaran lainnya”. Kata dandi, salah seorang buruh yang memilih di PHK.
Saya sebenarnya tidak pernah sepakat dengan aksi tutup jalan, itu merugikan banyak pihak. Juga berpotensi menimbulkan anti pati dari masyarakat, bahkan punya potensi untuk diadu domba dengan pengguna jalan. Tapi mendengar penjelasan Ahmad dan Salim, juga Dandi, ketidak-setujuan saya menjadi tidak ada artinya. Pendapat personal harus tunduk pada kepentingan yang lebih besar. Sepanjang kepentingan itu logis dan punya dasar yang kuat.
Mengapa Aksi Buruh Perlu Didukung
Aksi massa menuntut hak yang dilanggar perusahaan, merupakan hak dasar yang dijamin oleh konstitusi. Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan:
Pasal 28: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Pasal 28E ayat (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Kedua pasal ini menjadi landasan konstitusional bagi warga negara untuk berdemonstrasi, menyampaikan pendapat di muka umum, dan menyuarakan ketidakadilan. Hak ini dilindungi negara dan tidak boleh dihalangi oleh siapapun.
Lebih dari itu, Indonesia juga telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR). Dalam Pasal 19 disebutkan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa campur tangan dan untuk mencari, menerima, serta menyampaikan informasi dan gagasan melalui media apa pun dan tanpa memandang batas-batas.”
Jadi, aksi buruh bukan hanya sah, tetapi juga dijamin oleh hukum nasional dan internasional. Aksi massa adalah jalan demokratis untuk menagih keadilan.
Namun, ada alasan politik yang jauh lebih penting, kenapa aksi buruh harus didukung secara luas. Apa yang dialami buruh PT. Huadi adalah cermin dari kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya. Negara membiarkan buruh dihisap, dieksploitasi, dan hak-haknya dirampas. Negara seakan-akan absen. Dan itu tak bisa dibiarkan.
Buruh, yang penghisapannya terang-benderang, tak juga mendapatkan keadilan. Padahal mereka berserikat, melawan, dan menempuh semua jalur formal. Apa kabar rakyat jelata yang tak terorganisir, yang penghisapannya terjadi dalam senyap?
Ambil contoh petani. Mereka dipaksa tergantung pada benih pabrikan, pupuk kimia, dan pestisida. Ini bentuk pengisapan yang kompleks, sistematis, dan memiskinkan. Penggunaan bahan kimia seperti urea, fosfat, dan nitrat tak hanya berdampak ekonomi, tapi juga merusak lingkungan dan kesehatan.
Menurut Wana, petani perempuan dari Desa Baji Minasa, Bulukumba: “Pupuk kimia memang membantu tanaman tumbuh lebih cepat, tetapi penggunaannya secara berlebihan merusak tanah.”
Zat asam seperti asam klorida dan asam sulfat membuat tanah padat dan keras. Air sulit meresap, sirkulasi udara terganggu, dan tanah menjadi tidak subur. Tanaman pun semakin tergantung pada pupuk. Mikroorganisme penting di tanah, seperti bakteri pengikat nitrogen dan jamur pengurai, ikut mati, membuat tanah kehilangan daya dukung alaminya.
Tak hanya tanah, pupuk kimia juga mencemari air. Nutrisi berlebih terbawa hujan, masuk ke sungai dan danau, menyebabkan ledakan alga (alga bloom). Oksigen di air berkurang, racun menyebar, ikan mati, dan perairan berubah menjadi zona mati.
Dampaknya menjalar ke manusia. Nitrogen dari pupuk meresap ke air tanah dan mencemari pasokan air bersih. Manusia yang mengonsumsi air atau makanan terkontaminasi berisiko mengalami keracunan dan penyakit kronis.
Lalu, bagaimana mungkin kita berharap negara melindungi kita dari rumitnya tipu muslihat korporasi pupuk dan pestisida, kalau terhadap penghisapan nyata yang dialami buruh saja mereka tak bisa berbuat apa-apa?
Saya ingin beri satu contoh lagi. Yang lebih sederhana: kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di Pati-Jawa Tengah dan Bone-Sulawesi Selatan, yang satu provinsi dengan Bantaeng, rakyat berhasil membatalkan kenaikan pajak melalui demonstrasi. Tanpa aksi, suara mereka tak akan didengar.
Karena itulah, setiap aksi demonstrasi yang berpihak pada rakyat harus didukung. Aksi massa adalah cara untuk mengingatkan penyeleggara negara, bahwa bahwa negara ini milik rakyat, bukan milik korporasi.
Pemerintah, yang digaji dari pajak rakyat, seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat, termasuk untuk buruh PT. Huadi. Bila mereka lupa tugasnya, maka sudah sepantasnya kita mengingatkan. Bahkan, mendesak mereka untuk tunduk pada kehendak rakyat, sebagaiamana tertuang dalam konstitusi.

Penggiat lingkungan asal Bantaeng, tinggal di Jakarta. Buku favorit Kepulauan Nusantara. Film favorit “Naga Bonar”


Leave a Reply