Senin, 1 September 2025.
SBIPE-KIBA turun ke jalan lagi. Jalan, yang mestinya jadi urat nadi ekonomi, dipaksa jadi ruang sidang terbuka. Karena di kantor-kantor resmi, suara buruh hanya jadi gema.
Bupati Bantaeng hadir. Duduk di kursi tertinggi daerah, dengan segala simbol kekuasaan. Tapi begitu mulutnya terbuka, keluarlah jawaban yang lebih mirip keluhan ketimbang keputusan: “Kami sudah mencoba berkomunikasi dengan PT. Huadi, tapi tidak direspons.”
Begitu lemah kah seorang bupati? Atau begitu sakti kah sebuah perusahaan, hingga bisa menyepelekan orang yang di depan rakyat disebut “kepala daerah”? Kalau begitu, siapa sebenarnya penguasa Bantaeng, Bupati atau PT. Huadi?
Dan ketika buruh menuntut hak yang tertulis di atas kertas resmi, Bupati hanya berpesan: “Tutup saja jalan, tapi beri akses untuk ambulans dan pemadam kebakaran.”
Pak Bupati, ini bukan tips lalu lintas. Buruh paham soal itu. Yang mereka tidak paham adalah: mengapa Bupati hadir tanpa membawa solusi.
Apa yang menyandera Bupati? Apakah benang kusut ini terkait “pejuang helm kuning” yang dulu ramai di depan panggung Pilkada? Tidak cukup, karena yang demo didepan Kantor Bupati juga dari pejuang helm kuning. Ini lebih dalam. Ini soal sejarah politik-ekonomi yang dibangun sejak PT. Huadi masuk lewat tangan Nurdin Abdullah, Bupati dua periode, yang kebetulan ayah dari Bupati sekarang. Maka wajar jika orang bertanya: apakah Bupati hari ini benar-benar bebas, atau hanya melanjutkan “utang politik” dari masa lalu?
Di atas semua itu, jangan lupakan aktor lain: Jos Stefan Hideky, sang Direktur Utama; dan Andi Adrianti Latippa, kepala HRGA dan HSE yang lihai mengatur wajah perusahaan. Buruh berhadapan bukan hanya dengan perusahaan, tapi juga dengan jaringan kuasa yang lebih rumit dari sekadar perjanjian bersama.
Selasa, 2 September 2025. Buruh lalu bergerak ke DPRD. Harapan mereka sederhana: wakil rakyat mesti ikut menyuarakan rakyat. Tapi siapa yang masih percaya DPRD berdiri untuk rakyat? Pertanyaan lebih tepat: DPRD berdiri di pihak siapa?
Di hadapan PT. Huadi, DPRD terlihat tak lebih dari sekumpulan wayang yang menunggu dalang menarik benang. Suara rakyat terlalu lirih untuk menembus ruang rapat ber-AC.
Rabu, 3 September 2025. Lima anggota DPRD menemui buruh. Lima dari tiga puluh. Lima yang masih berani bersuara, sementara dua puluh lima lainnya entah tersangkut di kursi empuk, entah sibuk merapikan perjalanan dinas, atau mungkin sekadar menunggu perintah. Dukungan lima ini patut dicatat, tapi ketiadaan dua puluh lima lainnya justru memperlihatkan: DPRD lebih nyaman jadi hiasan gedung megah ketimbang pengawal hak rakyat.
Kamis, 4 September 2025. Buruh sudah lebih dewasa dari pejabat. Mereka sengaja membuka jalan poros provinsi agar tak ada kemacetan panjang. Tapi justru di saat itu, muncul kelompok bernama Gerakan Peduli Pembinaan Masyarakat (GPPM). Surat mereka berbunga-bunga: katanya mau membubarkan aksi dengan pendekatan sosial dan spiritual. Tapi begitu turun ke lapangan, yang bicara bukan ayat suci, melainkan tangan premanisme.
Lucu sekali. Katanya peduli, katanya pembinaan, tapi yang keluar justru ancaman. Seolah-olah buruh bisa ditundukkan dengan jargon agama dan otot jalanan. Padahal buruh tahu: ini bukan gerakan rakyat, melainkan kepanjangan tangan kekuasaan yang panik.
Namun, buruh memilih tak terpancing. Mereka tahu siapa lawan sesungguhnya. Konflik horizontal hanya akan jadi bahan tertawaan direksi di balik meja rapat.
Pertanyaannya kembali: Bupati Bantaeng ke mana?
Ini bukan aksi main-main. Ini soal hak yang sudah tertulis, sudah ditandatangani, disaksikan oleh Disnaker Bantaeng, Wasnaker Provinsi Sulawesi Selatan, Kapolres Bantaeng hingga Bupati sendiri. Semua formalitas sudah dipenuhi. Tapi ketika buruh menagih janji, tiba-tiba semua pejabat pura-pura tuli.
Apakah pemerintah daerah benar-benar berkuasa, atau hanya boneka yang dipajang di panggung, sementara naskah drama ditulis oleh perusahaan?
Jawabannya pahit: di Bantaeng hari ini, bukan rakyat yang berdaulat, bukan pula pemerintah. Kuasa justru beralih ke perusahaan. Bupati hadir hanya untuk melontarkan pesan basa-basi, DPRD mayoritas memilih diam, dan kelompok-kelompok bayaran turun ke jalan dengan topeng “pembinaan.”
Buruh tahu mereka sedang melawan lebih dari sekadar manajemen pabrik. Mereka sedang melawan struktur kuasa yang membuat pemerintah tunduk, DPRD bisu, dan masyarakat dibenturkan. Tapi buruh juga tahu satu hal: diam berarti menyerah.
Itulah sebabnya jalanan akan terus jadi panggung. Karena hanya di jalan, buruh masih bisa bicara tanpa dipotong mikrofon, tanpa sensor birokrasi, dan tanpa ancaman premanisme berjubah spiritual.

Pemuda desa, yang bertani di bumi dan bermimpi menanam kebenaran di langit. Telah menjadi lelaki beranak satu, aktif bertani di kebun belakang rumah.
Leave a Reply to Adam Kurniawan Cancel reply