Setiap bangsa menyimpan denyut keadilan dalam nadi sejarahnya. Keadilan bukanlah sekadar kata dalam kamus moral, melainkan napas yang menghidupi peradaban.
Ia adalah cahaya yang tak bisa dipadamkan, meski dibungkam oleh represi, dibalut dengan kekerasan, atau dipaksa tenggelam dalam ketakutan. Justru dalam ruang-ruang gelap represi itulah, suara keadilan sering kali lahir lebih nyaring, mewujud sebagai bisikan yang tumbuh menjadi teriakan, sebagai air mata yang menjelma menjadi lautan perlawanan, sebagai luka yang berubah menjadi jalan harapan.
Bangsa ini, seperti banyak bangsa lain, berulang kali menyaksikan bagaimana suara keadilan dipaksa redup oleh kuasa yang tak ingin digugat. Namun, sejarah mengajarkan satu hal sederhana, suara itu tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu saatnya kembali, membawa harapan yang tak bisa dibungkam.
Secara filosofis, keadilan adalah fondasi kehidupan bersama. Filsuf Yunani, Aristoteles menyebutnya sebagai “kearifan tertinggi” karena di dalam keadilan terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara individu dan komunitas. Sementara filsuf Amerika Serikat, John Rawls menegaskan bahwa keadilan adalah sebuah kondisi di mana setiap orang mendapatkan ruang yang setara untuk hidup bermartabat.
Namun, sejarah juga memperlihatkan wajah lain dari kekuasaan represi. Filsuf Prancis, Michel Foucault menggambarkan kekuasaan sebagai sesuatu yang tak hanya mengatur, tapi juga mengawasi, membatasi, bahkan menundukkan tubuh dan pikiran. Represi adalah bentuk paling kasat mata dari kekuasaan yang takut pada kebenaran. Ia lahir dari keinginan untuk mengendalikan narasi, membungkam perbedaan, serta menyingkirkan mereka yang bersuara.
Filosofi sederhana bisa kita Tarik, keadilan adalah ruang terbuka, represi adalah ruang tertutup. Keadilan menyuburkan kehidupan, represi mengurungnya dalam ketakutan. Namun justru karena sifat dasar manusia adalah merindukan kebebasan, represi selalu gagal menjaga keabadiannya.
Dalam teori politik modern, hubungan antara kekuasaan dan rakyat selalu berada dalam tarik-menarik. Filsuf Inggris, Thomas Hobbes melihat kekuasaan sebagai Leviathan, monster yang dibutuhkan untuk menjaga keteraturan. Namun filsuf dari Jenewa (Swiss), Jean-Jacques Rousseau menekankan bahwa kekuasaan sejatinya lahir dari kontrak sosial, rakyatlah pemilik kedaulatan, bukan penguasa.
Ketika kekuasaan melupakan kontrak sosialnya, maka represi lahir. Ia menyalakan api perlawanan, karena rakyat merasa diabaikan. Di sinilah muncul dialektika, kekuasaan ingin membungkam, rakyat ingin bersuara. Dari pertarungan itulah sejarah bergerak.
Dalam perspektif sosiologis, represi tidak hanya fisik, tetapi juga simbolik. Filsuf Prancis, Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai “kekerasan simbolik”: bahasa, wacana, aturan hukum, dan bahkan media bisa dipakai untuk menyingkirkan mereka yang lemah. Namun, teori juga mengingatkan: di balik represi, selalu ada resistensi. Masyarakat menemukan cara untuk melawan, melalui seni, budaya, pendidikan, solidaritas, hingga aksi jalanan.
Dan di tengah tarik-menarik itu, harapan menjadi energi. Harapan bukan sekadar optimisme kosong, melainkan daya yang mendorong manusia untuk bertahan. Seperti kata seorang filsuf Brasil, Paulo Freire, harapan Adalah tindakan keberanian untuk percaya bahwa dunia bisa berubah.
Ada saat-saat ketika keadilan terasa jauh, ketika represi begitu pekat menutup ruang. Namun, sejarah manusia menunjukkan bahwa harapan tidak pernah benar-benar mati. Harapan adalah benih yang bisa tumbuh bahkan di tanah yang keras.
Mari kita bayangkan, sebuah jalan raya dipenuhi demonstran. Polisi berbaris dengan tameng dan senjata. Teriakan rakyat berhadapan dengan gas air mata. Namun di tengah sesak itu, ada seorang mahasiswa yang mengangkat poster sederhana bertuliskan, “Kami hanya ingin keadilan.” Poster itu mungkin direbut, mahasiswa itu mungkin ditangkap, tapi gambar itu akan menyebar, menggugah hati banyak orang, menyalakan obor harapan.
Suara keadilan adalah seperti air. Ia mungkin dibendung, tapi ia akan mencari celah. Ia mungkin ditutup, tapi ia akan merembes. Dan ketika waktunya tiba, ia akan mengalir deras, menghanyutkan tembok represi yang coba menghalanginya.
Pertanyaannya, bagaimana kita menjaga agar suara keadilan tidak hanya menjadi gema yang sesaat, melainkan menjadi gerakan yang berkelanjutan? Jawabannya ada pada kesadaran kolektif.
Pertama, kita harus menyadari bahwa keadilan bukan hadiah dari penguasa, tetapi hak yang diperjuangkan rakyat. Kedua, suara individu harus dijahit menjadi suara kolektif, karena hanya bersama-sama kita bisa menghadapi represi yang sistematis. Ketiga, harapan harus dijaga melalui pendidikan, solidaritas, dan narasi alternatif.
Gerakan sosial, seni perlawanan, media independen, komunitas akar rumput, semua ini adalah cara untuk memastikan suara keadilan tetap hidup. Dan dalam konteks bangsa ini, menjaga suara keadilan berarti juga menjaga demokrasi, menjaga martabat kemanusiaan, menjaga cita-cita para pendiri negeri.
Akhirnya, kita kembali pada kalimat sederhana, suara keadilan tidak bisa dibungkam. Ia bisa ditunda, ditekan, bahkan dipaksa diam, tetapi ia akan selalu menemukan jalannya. Represi hanya sementara; harapan adalah abadi.
Seperti puisi yang terus dibaca meski penulisnya telah tiada, seperti lagu yang terus dinyanyikan meski penyanyinya dibungkam, suara keadilan akan terus hidup dalam hati rakyat.
Maka tugas kita bukan hanya mendengar, tetapi juga menjaga. Menjaga agar suara itu tidak hilang ditelan ketakutan. Menjaga agar harapan tetap menyala, meski malam terasa panjang. Dan menjaga agar bangsa ini tidak pernah melupakan bahwa keadilan adalah alasan kita berdiri sebagai manusia.
Sebab pada akhirnya, represi mungkin bisa melukai tubuh, tetapi ia tidak akan pernah mampu membunuh suara kebenaran.
Acehtrend.com

Lahir di Jeneponto, Sulawesi Selatan 5 Juli 1990. Saat ini sebagai Dosen S1 Prodi Kewirausahaan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Digital, Universitas Megarezky. Bermotto:B ersikap adil sejak dalam hati.


Leave a Reply