Hari ini, kukira akan berjalan seperti biasa. Pagi yang selalu kuisi dengan kesibukan bersama Shanum—tentu saja, tidak sambil pegang HP.
Namun, sepertinya Tuhan sudah punya rencana lain, ingin memberiku sesuatu. Shanum ikut ke sekolah ayahnya.
Jadinya, pagi ini bisa kumulai dengan membuka sosial media. Betapa kagetnya, ketika mendapati sebuah postingan, mobil Brimob barracuda menabrak pengemudi ojol di tengah situasi demo.
Ia terjatuh, seorang diri, berdepanan dengan lampu sorot mobil taktis itu. Lalu berakhir dengan tubuhnya yang kurus, dilindas oleh mobil yang dibeli dari pajak yang ia bayar ke negara. Mobil sebesar itu, melaju kencang di jalan seramai itu, merenggut nyawa tanpa ampun. Seolah tanpa rasa bersalah. Lebih pas disebut kesewenangan, dari pada kecelakaan.
Hingga sekarang, video itu terekam dan terus menerus berputar di kepalaku. Seperti mimpi buruk. Aku hampir tidak percaya. Terlalu kejam untuk jadi kenyataan. Namun, postingan-postingan selanjutnya menyatakan kebenaran itu.
Kelak kutahu namanya Affan Kurniawan, baru berusia 21 tahun, terlalu muda untuk mati. Hampir seusia adik bungsuku. Seorang pengojek online, di usianya itu, ia sudah menopang hidup tujuh orang keluarganya: orangtua bekerja serabutan, kakak sesama ojol, dan adik yang masih SMP. Sisanya, jika pun ada, ia gunakan mencicil uang kuliahnya.
Banyak info beredar, katanya, ia bahkan tidak ikut demo. Hanya melaksanakan pekerjaannya, mengantarkan makanan. Tidak kurang, tidak lebih. Ia mungkin terjebak dalam kerumunan massa, ketika tiba-tiba mobil Brimob menggilas tubuhnya. Massa pun tetiba beringas, tangis keluarganya pecah, kesedihan membahana di udara.
Postingan selanjutnya bisa kita tebak, banyak artis, politisi, datang untuk berbasa-basi memuakkan. Hadir ke rumah duka, berbela sungkawa dengan lampu kamera, dan kesedihan yang dibuat-buat. Empati memang sudah lama mati di negeri ini.
Setelah nyawa seorang anak muda melayang. Kita bisa berandai-andai. Andai saja, para anggota dewan yang kehormatannya dipertanyakan itu tidak melaksanakan WFH. Mau mendengar aspirasi, membuka pintu, berdialog dengan rakyat yang “tolol”—kata Syahroni, Anggota DPR RI Fraksi Nasdem. Affan mungkin masih bisa memeluk ibunya.
Lalu, seperti biasa, DPR RI seolah-olah melimpahkan sepenuhnya kesalahan kepada Brimob kejadian itu. Mereka pura-pura lupa, semua ini terjadi karena rakyat muak dengan orang-orang di DPR RI. Kerja tidak becus, tapi tunjangan naik terus. Setelah ada kemarahan massal barulah mereka sibuk mencuci tangan.
Sebagai seorang ibu rumah tangga, mengonsumsi berita seperti ini sungguh menguras mental. Bahkan, turut memicu amarah dan mengacaukan mood sepanjang hari. Sedangkan kita masih perlu bergerak agar anak dan suami bisa makan. Ada anak yang perlu ditemani bermain seperti hari-hari biasa.
Meski begitu, saya percaya mengonsumsi hal-hal seperti itu perlu. Guna memupuk kesadaran, bahwa urusan politik erat kaitannya dengan urusan rumah tangga juga, walau kadang benang merahnya tidak kelihatan. Padahal beras, sayur, hingga ikan yang tersaji, adalah akibat dari negosiasi politik itu sendiri.
Mengonsumsi itu semua membuat kita sadar. Kalau kita perlu marah. Murka kepada pemerintahan yang zalim dan tidak becus mengelola negara. Marah kepada mereka yang menggunakan uang kita untuk menghabisi salah satu di antara kita. Marah karena takut akan masa depan anak kita. Marah atas kesedihan atas beragamnya berita duka akibat tindakan zalim itu. Kita memang harus marah!
Merasakan itu semua membuat kesadaran saya meningkat. Kalau kemarahan saya ini, perlu saya salurkan dalam berbagai media. Selain ikut membangun awareness di orang-orang sekitar, ikut bersuara di sosial media. Juga melakukan sebaik dan semampu-mampunya dari rumah. Walaupun terlihat remeh dan terkesan tidak ada apa-apanya. Seperti menyiapkan anak saya, Shanum Asyura Macca, yang baru saja berusia 2 tahun, agar kelak ia mampu melawan segala bentuk kesewenang-wenangan.
Hal kecil bisa dimulai dari rumah. Dengan memberi anak makan real food dan halal. Agar bukan hanya fisiknya saja yang sehat, tapi hati nuraninya tetap bersih membedakan yang hak dan batil. Memberikan anak ruang sejak kecil, kalau suaranya itu berharga, semisal memercayainya memilih baju yang ia suka. Apa pun warnanya. Mendengarkan ceritanya, agar ia percaya, bahwa apa yang ia omongkan akan selalu mendapatkan kepercayaan dari orang tuanya. Walau sebagian besar yang ia sampaikan masih terbata-bata dan kurang bisa dimengerti.
Jadi, wahai para ibu, janganlah kita remehkan apa yang saat ini kita lakukan. Walaupun kita melakukannya seperti biasa dan terlihat tidak ada apa-apanya. Percayalah, membesarkan anak sebaik-baiknya adalah juga perlawanan itu sendiri. Sehormat-hormatnya kerja rumah tangga.
Kelak, kita persiapkan anak kita untuk turun ke jalan, ataupun melakukan kerja lainnya—jika demonstrasi atau cara lainnya sudah tidak lagi relevan di masa depan. Akan kita izinkan anak-anak kita memberikan sumbangsinya dengan iringan doa dan bekal, dari para ibu yang menunggu mereka pulang ke rumah.
Semoga yang saat ini kita lakukan, sekecil-kecilnya, dapat memberikan kontribusi agar kezaliman lenyap dari muka bumi. Sama halnya dengan orangtua kita dulu, pelaku reformasi 1998. Termasuk kedua orangtua saya, sudah memberi restu, sewaktu saya beberapa kali ikut berdemo di kala mahasiswa.
Terima kasih kepada semua orangtua, yang telah membesarkan anak dengan segala kesusahannya di masa itu, hingga kita memiliki keberanian bersuara hari ini. Saya percaya, dari rumah-rumah yang tampak biasa, selalu lahir perlawanan paling mulia. Seterusnya. Selamanya.

Seorang ibu pembelajar sepanjang hayat. Ketua Balla Literasi Indonesia. Bisa dihubungi di IG: @nurulaqilahmuslihah


Leave a Reply