Woitombo: Kemah Rakyat Berparas Literasi

Kokok ayam menguatkan asa saya pada dini hari. Beberapa rakaat sebelum kewajiban Subuh, tunai saya tegakkan. Subuh pun saya dirikan dengan nuansa lahir dan batin. Sokongan semesta lokasi perkemahan, sangat ampuh mengondisikan kekuatan jasmani dan ketegaran rohani, buat memanjat langit ilahi.

Sambutan kicauan aneka burung seolah menegaskan, negeri Waitombo siap dihidu dengan perhelatan bernuansa literasi, demi jayanya peradaban. Tajuk helatannya, Kemah Rakyat Woitombo, mengusung tema, “Literasi untuk Semua, dari Desa untuk Masa Depan”, 15-17 Agustus 2025, bertempat di area Perpustakaan Desa dan Kantor Desa Woitombo, Kecamatan Lambai, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara.

Jumat, 15 Agustus 2025, baskara masih semenjana teriknya. Usai sarapan pagi, saya dan Asran sudah bersiap menggawangi Kelas Menulis, sebagai salah satu mata acara hajatan Kemah Rakyat Woitombo. Sesi pertama, pagi hingga jelang salat Jumat. Asran mendedahkan materi bernuansa pertanyaan retorik, “Mengapa mesti menulis?” Dan, topik inilah yang diulik sebagai sari pati pengantar sajian materi pertama.

Setelah salat Jumat plus santap siang, giliran saya unjuk minda, membabarkan sederet muatan pikiran berkisar pada, tingkatan-tingkatan literasi individu, proses membaca-menulis, hingga jenis-jenis tulisan, lalu berpucuk pada bagaimana menulis esai, berbasis free writing (menulis bebas). Durasi waktu yang saya mangsa di hadapan peserta, sekitar 50 orang, berasal dari SMA dan sederajat se-Kolaka Utara, berakhir dengan interupsi azan salat Asar.

Baskara mulai melemah teriknya. Jelang sore, acara Kemah Rakyat Woitombo 2025, resmi dibuka perhelatannya oleh Bunda Literasi Kabupaten Kolaka Utara, Andi Nurhayani Nurrahman. Sang Bunda Literasi menegaskan sikap, “Sebagai bunda literasi, ini saya tanggapi sangat positif. Karena ini merupakan satu kegiatan yang bisa mengubah mindset kita. Ke depan, saya akan mendukung semaksimal mungkin kegiatan literasi di Kolaka Utara.”

Mendahului sikap Andi Nurhayani, sang Kepala Desa Woitombo, Muhammad Akbar, menabalkan minda, “Momen seperti ini diharapkan menjadi ruang bagi anak muda Kolaka Utara, guna menuangkan ide dan gagasannya, agar berkarya dalam berbagai hal, baik itu literasi, seni, dan budaya. Terlebih saat ini, kita dihadapkan pada berbagai permasalahan yang melanda pelajar dan anak muda”.

Tak ketinggalan dari pihak mitra, hadir kolaborasi dukungan dari PT. Riota Jaya Lestari, lewat humasnya, Muhammad Awaluddin, membeberkan pandangannya mewakili perusahaan, “Ini adalah wujud kecintaan kami terhadap pendidikan, dan pendidikan adalah prioritas bagi Riota.”

Selain parade sambutan dari pihak-pihak tersebut, kala acara pembukaan perkemahan ini, tampak pula pertunjukan kesenian, baik saat menyambut para tamu, semisal A’ngaru dan tarian tradisonal. Baskara minta pamit untuk menemui malam, senja ditelan Magrib, rangkaian acara pembukaan perkemahan tunai sudah adanya.

Malamnya, sebelum acara inti digelar, musik akuistik dari Dewan Kesenian Kolaka Utara (Dekatra), selaku mitra pendukung, menyajikan beberapa lagu. Melihat penampilan anak-anak band, ingatan saya melayang pada Javid Morteza, putra bungsu saya, yang juga anak band. Saya membatin, kalau saja ia tidak menjalani PKKMB di Unhas dan ia ikut, pastilah nimbrung kolaborasi.

Inti dari acara usai hiburan pengantar, sesi Sharing Komunitas. Sekadar informasi, para penghadir di perkemahan rakyat ini, sejumlah komunitas dari Sulawesi Selatan dan Tenggara. Di hajatan berbagi pengalaman berkomunitas ini, saya diminta paling awal untuk berbagi. Mungkin karena saya dianggap paling berumur dan dianggap lebih berpengalaman.

Saya pun berkisah, tentang bagaimana saya berkomunitas sejak tahun 1994 lewat komunitas “Paradigma Ilmu Makassar” hingga “Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng”. Bahkan, saya tegaskan bahwa Asran dan Akbar adalah pentolan Paradiga Ilmu, lebih komunikatif, Paradigma Institute.

Selanjutnya, sederet cerita dari berbagai komunitas. Rumah Baca Akkitanawa (RBA), Jariku, Taman Baca Kendari, Pojok Baca UMKOTA, dan beberapa lagi pegiat dan penggiat literasi. Cerita-cerita mereka amat berguna disuarakan, sebab akan menjadi amunisi bagi sesama pegiat literasi. Berbagi pengalaman akan membuahkan pengalaman berbagi, sehingga sekotah pegiat dan penggiat literasi, tidak merasa sepi di jalan sunyi. Lalu, malam benar-benar sunyi, sebab larutnya menyapa tanpa permisi.

Sabtu, 16 Agustus 2025, setelah sarapan berjemaah. Eloknya di perkemahan ini, karena semua makan dan minum ditanggung oleh penyelenggara. Jadi, tiada perbedaan makanan antara peserta kemah dan pengisi acara. Sepertinya, jargonnya dapat dipendapatkan, “Setara sejak dalam makanan”. Saya pun menikmati kesetaraan ini, meskipun didapuk menjadi narasumber selama tiga hari perkemahan.

Kelas Menulis tetap berlanjut, tapi tidak lagi berbicara teori. Langsung praktik menulis, pagi-siang, lalu lanjut hingga sore, tulisan dikurasi. Saya dan Asran bergantian mengulik tulisan dan dibantu oleh seorang relawan, Akbar Pelayati, yang tiada lain Ketua Korps Pengader (KPC) HMI MPO Makassar. Sejatinya, Akbar yang satu ini, juga anak Kolaka Utara dan berjejaring di komunitas Jariku. Dan, Akbar pun amat membantu, sebab dialah yang mengoordisasi tulisan dari peserta.

Di bagian lain, berlangsung satu mata acara, pagi-siang, Kelas Parenting, dikawal oleh Mauliah Mulkin dan Andi Diah Masita. Bagaimana dinamika Kelas Parenting tersebut? Mauliah telah menuliskannya dalam satu esai, dimuat oleh Paraminda.com, berjudul, “Bincang Parenting di Desa Woitombo”. Agenda lainnya, ada kelas bercerita bersama buat anak-anak SD, outbound, entrepreneurship coaching clinic, dan juga sawala perkopian dari kafe Teras Kopi, dikawal oleh sang owner, Agung, yang tiada lain drummer band Dekatra.

Malam minggu merupakan malam puncak acara. Betul-betul amat meriah untuk ukuran dunia komunitas. Selain penampilan band Dekatra, tampil pula para pembaca puisi dengan gayanya masing-masing. Mulai dari puisi romantis, kepahlawanan, kemerdekaan, hingga Gaza-Palestina. Ditambah pula pemutaran video dari berbagai komunitas. Dan, malam itu pula, sang tekong hajatan, Muhammad Akbar, tampil memberikan sambutan yang menegaskan eksistensi perkemahan ala rakyat ini.

Entah pukul berapa acara malam minggu ini berpucuk. Saya hanya memastikan, sudah pindah tanggal ke angka sakral 17 Agustus 2025.  

Minggu, 17 Agustus 2025, sebelum acara peringatan kemerdekaan ke-80 RI, saya dan Akbar Pelayati masih mengawal Kelas Menulis. Pasalnya, Asran sudah balik duluan ke mukimnya di Pattedong-Belopa. Katanya mau mengurus program Makan Bergizi Gratis (MBG). Saya meminta kepada Akbar Pelayati, agar memastikan seluruh tulisan peserta terkonsolidasi dan memfiniskannya. Sebab, tulisan para peserta akan disatukan, lalu diterbitkan menjadi satu buku. Dan, kami pun para pendamping dan kurator akan tetap mengawalnya hingga terbit. Kelas pun saya tutup, dilengkapi dengan foto bersama.

Sekira pukul 10.00, upacara peringatan kemerdekaan RI ala komunitas digelar. Dipimpin langsung oleh Kepala Desa Woitombo. Namanya juga upacara ala komunitas, tapi bukan ala kadarnya, melainkan ada kadarnya. Kadar nasionalismenya belum tentu kalah dari para elit negeri yang ikut upacara, tapi korup.

Bersetubuh dengan arena Kemah Rakyat Woitombo, selama tiga harmal, mengingatkan saya pada momen yang serupa di Bantaeng. Pertama, Kemah Buku Kebangsaan (KBK) yang digelar setiap tahun pada bulan Oktober, berpucuk 28 Oktober, bertepatan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda. Penyelenggaranya sekaum anak muda, kolaborasi antara para pegiat-penggiat literasi dan pencinta alam. Berbagai komunitas datang sebagai penghadir, berlokasi di wilayah ketinggian, Kecamatan Uluere, khususnya di Desa Bontolojong.

Kedua, gerakan literasi berbasis desa. Desa Bontojai, Kecamatan Bissappu, telah mendapuk diri sebagai Desa Literasi. Aktivitas literasi di desa ini sudah menjadi sari dirinya. Mulai dari urusan perkemahan, pelatihan, perpustakaan, hingga penerbitan buku-bulletin, serta kemampuan menggunakan literasi digital.

Baik di hajatan KBK maupun dinamika gerakan literasi di Desa Bontojai, telah saya abadikan dalam beberapa esai. Sila dibaca pada dua buku saya, Pesona Sari Diri dan Gemuruh Literasi. Barangkali tak berlebihan bila saya nyatakan pendapat, bahwa apa yang saya alami di Desa Woitombo, lewat perkemahan rakyatnya yang berparas literasi, serupa perpaduan irisan antara KBK dan gerakan literasi di Desa Bontojai. Wallhu alam bissawab.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *