Selain bendera terbalik, dan joget pesta di sebuah istana, setiap sudut, lorong, sudut kota dan di dusun. Gemuruh, rias warna merah dan putih, sorak-sorai. Para cukong merayakan dengan gembira, mereka lupa ada serpihan hati nan ringkih. Persolan hidup bertaruh antara pajak dan mafia.
Sampai paling krusial dan penting saat ini di sebuah daerah, di antara hamparan sawah, gunung dan lautan, tanah dijuluki Butta Salewangang dengan penuh kesuburan, atas tanah serta air berlimpah. Nahas karena ada perbaikan, dari serial dari tahun ke tahun maintenance yang tidak proporsional dan profesional.
Sampai saat ini, belum setetes jua jatuh membasuh ujung jari kaki dan bulu mata.
Di sebuah perusahaan air minum milik daerah. Sepertinya masih terbata dan cenderung gagap, mencari solusi segera mungkin. Pelanggan seketika buyar, merasa juga selama ini membayar, dia menuntut hak. Sementara bau pesing di kamar mandi, WC, di setiap sudutnya mulai menyengat. Air belum juga mengalir.
Dini hari sesungut menahan kantuk, janji kembali dengan setangki, karena telah ludes diborong di ujung aspal kampung. Sepertinya jatah yang tidak diurai secara menyeluruh. Pembagian yang tidak dibatasi. Dari baskom kecil, sedang, hingga ember raksasa, bahkan “ember bocor”, tidak hendak ketinggalan pun ikut nimbrung antrian.
Tahun anomali, baru kali ini, tragedi jatah air ke pelanggan sangat riskan berdampak buruk untuk sebuah tata kelola air dan pelayanan. Sejulur ubur-ubur, air sepertinya mulai kabur karena sistem yang ngawur.
Sepucuk ingatanku, kali ini saya merasa gerutu itu mulai memuncak. Sambil mencoba menarasikan saja di ruang ekspresi ini. Solusinya kami hanya harus bersabar, dan penuh ketabahan, tidak harus berkoar-koar. Karena jatah kita ada sebatas teriak terlipat di balik ketiak.
Beruntung masih ada sumur dekat rumah. Namun sekiranya berharap satu baskom penuh, tetiba kata seseorang jeda dulu sejenak, karena tetiba sumur mulai surut pula. Terbukti yang tadinya airnya jernih, tetiba menjadi payah.
Seteguk regulasi yang tidak membuktikan sebuah resolusi dan solusi. Toh juga perbaikan dan pemeliharaan yang tidak secara intens dan integritas. Sebagai antisipasi pada situasi seperti ini.
Hulu yang perlu diperhatikan, atau jalur yang rawan beberapa pipa harus dicari jalan keluar, agar tidak setiap musibah banjir, pasti mengalami kerusakan. Dampaknya, menjadi banjir protes, tanpa harus tahu alasan dan klarifikasi dari pihak terkait.
Situasi seperti ini jika dibiarkan berlarut sepertinya ada telaga yang kusam di antara jalur air, dan pusat pengendalian yang mulai kehilangan etos kerjak, atau unsur kepemilikan yang tidak dikelola dengan baik selama ini.
Yah. Mengisi bak katanya, dari jalur yang biasa dilalui, baru ke bak bernama Ulugalung, kemudian ke Bonto-Bonto, baru tersebar ke wilayah perkotaan, kata salah satu sumber. Yang juga sangat merasakan hal kebiasaan terjadi persoalan seperti ini.
Terpaksa menahan buang air seketika, mengangkut air ke kamar mandi, mengisinya meski seember. Semua terasa bagai di gurun tak bernama, hampa, gersang dan sesak oleh sebuah kekacauan yang hampir tidak masuk di nalar saya.
Ada yang “ballisi” (emosi setengah), ada yang menggerutu terlihat rasa kecewanya, hendak protes itu buang energi dan waktu saja. Nikmati, jalani sebagian dari penderitaan sebagai jelata yang siap merayap di negeri penuh masalah, yang kali ini resolusi dan Asta Cita, Nawa Cita, dan slogan kemajuan. Justru hanya menciptakan tragedi baru yang berpola lama.
”Akkunrarengmi tau tanreka masina kompana.” Berbahagilah yang masih memiliki sumur dan pompa mesin, dan penampung air yang hanya orang tertentu bisa memiliki. Musabab musibah dan atas alam mungkin bisa menjadi alibi. Tapi ini sudah menahun sering dialami. Tapi kali ini cukup menancapkan amarah dari nadi hingga ke ubun-ubun.
Sebuah anomali. Tanah bertuah, tanah subur, dengan stok air yang katanya so dekat, tetiba mengalami fase menyedihkan sepekan ini. Keluh dan keruhnya air, sekalut masalah negeri yang makin kompleks.
Dengan refleks saya menaruh api di antara bara duka, setiap sudut dinamika sosial, keadilan dibentur-benturkan, dari formulasi yang sarat spekulasi. Perwakilan kita duduk manis dengan setelan necis, membiarkan dan pura-pura tidak mendengar sekitar dan rakyat memilihnya di bibir amplop meringis tragis.
Pola dan sistem yang berjalan lancar, di sisi lain ada yang berjalan mulus mengalir pulus, jabatan antara realitas dan kualitas terkadang tidak selaras. Ini potret negeri bukan lagi surga kecil jatuh ke bumi. Namun, nestapa yang terpelihara sejak negeri ini merangkak dan perjanjian merdeka.
Sampai saat bernama revolusi dan reformasi menggulingkan hanya karena dendam bangkai-bangkai masa lalu.
Kocak. Seru dan kita sama-sama ambigu, dibuat kita semakin tergiring, seolah tidak terarah. Sementara sistem, aturan tatanan, metode yang mengikat dan menjadi jebakan sendiri.
Semakin tidak bisa bertaruh nalar. Walau seribu pakar, jika sistem dan cara pengelolaan yang yang hanya bertukar tempat duduk saja. Toh ini sudah momok dan peristiwa lazim kita biarkan terjadi.
Masihkah di Ulugalung terjeda dan singgah sejenak bersandar di sebuah bebatuan. Sampai di tengah konyolnya kebijakan yang dihiasi semata “pakballe toli“? Atau sudah melanjutkan perjalanan tertatihnya dengan penuh kecemasan, mengalir terbata-bata dari titik bak satu ke bak yang lain.
Atau masih bertaruh para petugas dan kebijakan perusahaan dengan dalih tidak dan minimnya anggaran perbaikan secara utuh dan profesional, integritas petugas butuh dijadikan tolak ukur untuk menjadi bagian dari perusahaan distribusi dari sekian kontribusi pelanggan.
”Tanga siatti’, surang ri tingara’na sigau rupanna katoang surang embereka.” Tiada setitik, dengan saat tengadahnya seribu macam bentuk baskom dan ember sampai detik ini. celetuk dan lirih seorang ibu dengan khas bahasa daerah kentalnya, berusaha menghalau kecewanya, seharian dia menahan segalanya, cuci piring, memasak, buang air besar, hingga pertengkaran hanya persoalan seember menjadi tragedi pagi dan siang, bahkan menjelang detik pemakaian.
Ada apa dengan pengelolaan air? Setahu yang kuingat, ini selalu hadir menghiasi di tengah musim kemarau, tapi kali ini tidak sepelik dan selama dan setanggung ini, lalu kami menanggung.
Air telah payah, kepasrahan mana lagi harus ditolerir setiap dongeng, bahwa kita berlimpah dan tertawa dalam kejernihannya. Sejauh mana kami menaruh harapan, setiap pergantian manajemen toh juga masih masalah yang sama. Artinya stagnan, bukan lagi statis, atau cukup pragmatis dengan profesionalisme yang juga tergolong masih apatis.
Menggali sumur seperti dulu? Atau sumur bor dengan biaya yang totalnya bisa hidup dan menghidupi setahun kebutuhan primer? Tadah air tanah mulai juga resah bin gerah.
Hampir sepekan, seakan suasana semakin saling tegang dan menekan. “tayammum” berjamaah, dan pipis dan beraklah seperti burung perkutut, dan selesaikan dengan membiasakan untuk sementara saja dengan berlatih cara kentut. Tapi hati-hati kentut semarangan nanti kena denda (pajak).
Bukan menggugat, tapi ini cara mengadu, sebab menahannya menjadi penyakit bagi saya. Bukan juga mau dibilang seolah kritis. Tapi saya mewakili sekitar wilayah dalam rumah saja sendiri. Jika yang lain merasakan hal sama seperti saya. Cukup diam dan menggumam saja. Karena biasa kita berbeda menuangkan, dan menerapkan bukan asal nyerocos saja. Gerutu boleh, tapi biar somasi lebih berkreasi.
Tepat Agustus tahun ini, pada sebuah perayaan yang kehilangan setengah napas dan jiwa wibawa negeri delapan puluh tahun merdeka ini, ternyata tersisa setetes air mata, membasuh bulu mata, dan jemari tangan ibu.
Air seolah terjegal, atau dibegal di setiap bak? Tiga hari, bahkan seminggu atau lebih pesta rakyat yang juga dihadiri rakyat melarat, ikutan juga menunggu pekik merdeka.
Sementara nestapa betapa tiada teraba oleh indra para cukong pemangku kebijakan, bahkan secara politis tidak mengapa, basuh dan selesaikan sengketa hidup sosial, keadilan, kesejahteraan. Bagaimana bisa maju, jika jatah sejahtera saja masih dikordinasi, sesuai kondisi, lalu menikung aturan dengan berjamaah korupsi?
Manajemen yang mana, atau nomenkelatur yang mana tidak ngelantur? Selera pembeli bendera, kuselipkan di saku celana pemberian ayah seorang pensiunan golongan rendah. Saya tukar untuk persiapan beli air galon yang juga mulai langka, atau sebotol minuman kemasan gelas mineral yang harganya lima ratus rupiah. Agar ibu tidak merasakan kegelisahan yang membuatnya kembali drop.
Ini bukan kali ini, namun kelangkaan air terjadi, tapi paling terlama sepanjang persoalan nan pelik ini berlangsung. Spendek pengetahuan saya, itu sudah berlangsung beberapa rezim dan periode. Serupa sistem yang terulang, pemeliharaan misalnya yang kurang maksimal jauh dari integritas, profesionalitas dan kualitas.
Hampir sebulan tidak mengalir, tidak juga terurai secara cepat dan meretas, sebuah masalah dengan solusi, atau alternatif, walau hanya setetes!
Resah menunggu jatah, menyerah, dan pasrah cara jitu menghibur ketus kami. Berkoar tidak mempan. Tiada guna pula sebab rusuk dan ruas nomenkelatur telah demikian itu diatur, meski sebenarnya butuh tata kelola dengan skala prioritas, profesionalitas, dan berkualitas.
Dengan penuh harap-harap cemas, baskom, ember tertaja menunggu setetes bantuan air yang digilir terpajang di depan rumah kami. Sambil senyum ke beberapa tetangga yang antrian sepanjang zaman, eh, maksudnya seberapa menit dan bahkan berjam-jam, hingga saat pagi, penantian itu berlalu begitu saja.
Benar juga untaian kalimat ini, “Pada akhirnya mata air, mengalir menjadi air mata.”
Sumber gambar: Ayobandung.com

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply