PBB Jeneponto: Antara Beban Kewajiban dan Tuntutan Keadilan

Di penghujung musim berita belakangan ini, tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) di Kabupaten Jeneponto tiba-tiba menjadi headline, ada keluhan warga tentang kenaikan yang sangat besar, bahkan pemberitaan menyebut lonjakan hingga ratusan persen, sementara pihak terkait menanggapi bahwa kenaikan sesungguhnya punya batas dan sebab administratif tertentu.

Perdebatan ini bukan sekadar soal angka di meterai pembayaran; ia mengandung problematika hukum, administrasi fiskal, moral-politik, dan rasa keadilan sosial yang menyentuh relasi antara warga dan negara daerah. Laporan media memberitakan lonjakan tagihan dan reaksi warga.

Secara teknis, PBB-P2 diatur oleh kerangka hukum nasional dan peraturan teknis yang menjadi dasar bagi pemda menilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), ZNT (zona nilai tanah), dan tarif pemungutan. Peraturan Menteri Keuangan dan peraturan daerah/keputusan gubernur tentang penetapan NJOP/ZNT berperan menentukan dasar perhitungan.

Ada kemungkinan perubahan nilai tanah (klaim nilai pasar terbaru, peninjauan zona) atau penyesuaian tarif yang membuat tagihan individu melonjak, meskipun pemda sering menyatakan kenaikan yang diumumkan dibatasi atau disosialisasikan. Hal ini tercermin dalam dokumen aturan penilaian dan keterangan pemerintah daerah.

Di beberapa pemberitaan lokal, klaim lonjakan 400% beredar luas; namun pihak Bapenda/pejabat setempat kadang menegaskan kenaikan maksimal berada pada rentang yang lebih kecil (mis. sekitar 64–65%) yang terkait penyesuaian zona atau kenaikan NJOP. Perbedaan angka ini menjadi sumber kebingungan dan kegeraman warga.

Secara ekonomi-publik, pajak daerah, termasuk PBB-P2, berfungsi untuk: pembiayaan layanan publik lokal (infrastruktur, pendidikan, kesehatan, penerangan jalan), redistribusi (dalam batas tertentu) dan instrumen regulasi penggunaan ruang/tanah. Dari perspektif optimalisasi penerimaan, pembenahan basis pajak (update NJOP) memang wajar. Namun, dari perspektif legitimasi, dua kondisi harus dipenuhi agar pungutan menjadi dapat diterima: transparansi proses dan dasar perhitungan; kepastian dan proporsionalitas beban terhadap kemampuan/kapasitas wajib pajak.

Secara normatif, kita dapat melihat PBB sebagai titik temu antara kewajiban sipil dan tuntutan keadilan distributif. Ketika warga merasakan perubahan tiba-tiba tanpa pemahaman yang memadai tentang prosesnya, beban fiskal berubah menjadi problem moral, bukan hanya teknis.

Filsuf Amerika, John Rawls (keadilan sebagai fairness); menekankan prinsip perbedaan yang membolehkan ketidaksetaraan hanya jika memberi manfaat terbesar bagi yang paling tidak beruntung. Jika penyesuaian PBB menguntungkan anggaran daerah untuk layanan publik yang jelas dan proporsional memperbaiki kesejahteraan kelompok rentan (mis. infrastruktur kesehatan/air bersih), argumen redistributif dapat diterima. Namun tanpa bukti manfaat publik yang jelas, peningkatan beban relatif terhadap warga berpenghasilan rendah menciderai prinsip keadilan Rawlsian.

Utilitarianisme fiscal; Dari sudut pandang utilitarian, pembenahan NJOP dan peningkatan penerimaan sah jika total kesejahteraan masyarakat meningkat (kualitas layanan meningkat melebihi beban tambahan). Masalahnya: utilitarian praktis menuntut pengukuran yang nyata, apakah proyek-proyek publik yang dibiayai dari PBB benar-benar menciptakan utilitas bersih positif?

Kewajiban sipil dan teori kontrak social (Rousseau, Locke); Pajak berakar pada persetujuan politik/kontrak. Legitimasi pajak daerah tumbuh jika ada partisipasi, sosialisasi, dan akuntabilitas. Kenaikan yang terkesan “datang dari atas” tanpa dialog melemahkan iktikad sosial, dan warga merasa dipaksa membayar untuk sesuatu yang tidak mereka setujui secara informasional.

Filsuf Amerika, Robert Nozick dan kebebasan property; Dari perspektif libertarian, setiap pengenaan pajak atas properti adalah pembatasan atas hak individu, sehingga framing kenaikan PBB sebagai “pengambilalihan nilai” tanpa kompensasi atau prosedur adil menjadi problematis. Tentu pandangan ini lebih jarang dijadikan basis kebijakan publik di negara modern, namun menyorot aspek hak atas kepemilikan.

Secara empiris dalam kasus serupa di berbagai daerah, efek terbesar dirasakan oleh pemilik rumah berpendapatan menengah-bawah dan penghuni lahan padat penduduk, mereka yang NJOP-nya naik signifikan meskipun daya bayar terbatas. Kenaikan yang tinggi juga dapat menimbulkan efek psikologis: penurunan kepercayaan publik, peningkatan resistensi administratif (penolakan membayar, protes), dan potensi politisasi isu oleh aktor lokal. Laporan media tentang protes dan kebingungan di Jeneponto memperlihatkan dinamika ini.

Masalah administratif yang kerap muncul dalam kasus kenaikan drastis PBB adalah ketidakjelasan metodologi penentuan NJOP/ZNT; kurangnya data transaksi pasar yang dapat dipercaya; sosialisasi yang minim; dan keterlambatan pemberitahuan. Untuk memulihkan legitimasi, beberapa langkah teknis dan tata kelola penting; Publikasi terbuka metodologi penilaian (bagaimana NJOP dihitung, data yang dipakai, klasterisasi ZNT). Dokumen penilaian harus mudah diakses.

Simulasi dampak pada skala individu; sebelum implementasi, pemda perlu merilis simulasi per-kelompok (misal rumah tangga ber-NJOP rendah, menengah, tinggi) sehingga publik dapat memprediksi dampak. Mekanisme banding dan koreksi administrative; memberikan jalur perbaikan bagi warga yang merasa salah penetapan. Tahapan penyesuaian bertahap untuk mencegah lonjakan beban mendadak bagi warga berpenghasilan rendah. Penggunaan penerimaan yang transparan; tunjukkan proyek/progam yang dibiayai dari kenaikan, jika warga melihat manfaat nyata (mis. lampu jalan, drainase, sekolah), resistensi menurun.

Salah satu poin administratif yang sering muncul adalah perbedaan antara headline (klaim 400%) dan posisi resmi pemda yang menyebut kenaikan lebih moderat (mis. ~64% maksimum karena penyesuaian ZNT). Perbedaan komunikasi ini harus segera diluruskan lewat data publik.

Pajak adalah urat nadi hubungan warga-pemerintah. Jika warga merasa diperlakukan tidak adil, respons politik cepat muncul: demonstrasi, penolakan bayar, tekanan ke legislatif daerah. Di ruang publik, isu PBB dapat menjadi barometer legitimasi pemimpin daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah berkepentingan untuk menempatkan proses penetapan PBB dalam bingkai partisipatif: dengar pendapat publik, sosialisasi lapangan, dan laporan penggunaan dana.

Pajak bukan hanya soal angka dan tabel, tetapi juga soal kepercayaan. Dalam teori politik klasik, pajak adalah “wajah konkret” dari kontrak sosial; warga menyerahkan sebagian hak ekonominya dengan harapan negara, dalam hal ini pemerintah daerah, menggunakan dana itu untuk kepentingan bersama. Karena itu, pajak bisa menjadi barometer legitimasi politik.

Ketika masyarakat merasa terbebani atau diperlakukan tidak adil, respon politik muncul secara spontan. Di Jeneponto, suara protes terhadap kenaikan PBB yang dianggap melampaui batas wajar mencerminkan dinamika ini. Respons tersebut dapat mengambil berbagai bentuk; Demonstrasi dan mobilisasi massa. Warga dapat berkumpul di kantor DPRD atau kantor Bapenda sebagai bentuk perlawanan simbolik. Aksi kolektif seperti ini adalah ekspresi dari ketidakpercayaan terhadap prosedur fiskal. Penolakan bayar. Bentuk resistensi paling sederhana sekaligus paling nyata adalah warga menunda atau menolak membayar PBB. Ini berbahaya bagi keuangan daerah karena menurunkan kepatuhan pajak dan memunculkan beban penagihan.

Tekanan politik ke legislatif daerah. DPRD sebagai representasi rakyat berpotensi dijadikan kanal untuk menyalurkan aspirasi. Isu PBB dapat masuk ke arena politik formal, memengaruhi kebijakan, bahkan menjadi bahan kampanye menjelang pemilu lokal.

Teori partisipasi politik; pajak yang dianggap tidak adil justru bisa mendorong keterlibatan politik warga. Namun partisipasi yang tumbuh dari kemarahan lebih destruktif daripada konstruktif, karena cenderung melahirkan ketidakpercayaan yang berlarut-larut.

Filsuf Jerman, Max Weber  dengan Teori legitimasi Weberian; menyatakan otoritas modern bertumpu pada legalitas dan rasionalitas. Jika kebijakan pajak tidak dijelaskan secara rasional dan tidak dikomunikasikan secara transparan, maka legitimasi otoritas birokrasi melemah, sekalipun secara hukum keputusan itu sah.

Filsuf Italia, Antonio Gramsci menguatkan dengan Teori hegemoni; pajak bisa menjadi alat negara untuk mempertahankan hegemoni. Namun bila tidak disertai persetujuan moral dan intelektual masyarakat, kebijakan fiskal justru melahirkan resistensi yang menandakan krisis hegemoni.

Dalam praktiknya, isu PBB seringkali menggeser wacana dari ekonomi ke politik. Kenaikan pajak dapat dijadikan simbol “ketidakpedulian pemerintah” terhadap rakyat kecil, sehingga lawan politik dapat memanfaatkannya untuk delegitimasi. Inilah mengapa pemerintah daerah harus berhati-hati; bukan hanya menjaga stabilitas penerimaan, tetapi juga menjaga stabilitas kepercayaan politik.

Oleh karena itu, pemerintah daerah sebaiknya menempatkan proses penetapan PBB dalam bingkai partisipatif. Dengar pendapat publik, Forum resmi di mana warga bisa bertanya, menyanggah, bahkan mengusulkan alternatif. Sosialisasi lapangan, aparat turun langsung ke desa/kelurahan untuk menjelaskan dasar perhitungan, sehingga warga tidak hanya menerima “surat tagihan” tanpa konteks.

Laporan penggunaan dana secara periodik. Transparansi pasca pemungutan penting: warga ingin tahu, “uang pajak saya dipakai untuk apa?” Jika pemerintah bisa menunjukkan pembangunan jalan, perbaikan irigasi, atau program beasiswa yang jelas sumber dananya dari PBB, maka resistensi akan berkurang. Kita bisa mengatakan; isu PBB di Jeneponto bukan sekadar fiskal, melainkan politis. Ia menguji kualitas demokrasi lokal, kapasitas komunikasi pemerintah, dan kesediaan masyarakat untuk terlibat dalam kontrak sosial modern. Pajak memang kewajiban, tetapi ia baru menjadi sah secara moral ketika ditopang oleh rasa keadilan dan legitimasi politik.

Audit komunikasi publik; evaluasi cepat bagaimana perubahan disampaikan dan benahi saluran informasi. Pembentukan forum dialog; jadwalkan pertemuan pemda-warga, DPRD, asosiasi pemilik tanah/RT/RW untuk menjelaskan data NJOP/ZNT dan memberi ruang protes. Fase transisi beban; beri opsi cicilan atau fase kenaikan (mis. 2–3 tahun) bagi wajib pajak terdampak. Kebijakan keringanan bagi golongan rentan; skema NJOPTKP atau subsidi untuk warga tidak mampu. Transparansi penggunaan dana; portal publik real-time untuk menunjukkan program yang dibiayai PBB (proyek, anggaran, progres). Validasi data pasar; libatkan akademisi/LSM untuk validasi sampel transaksi tanah agar NJOP mencerminkan kondisi pasar. Ini bukan hanya soal teknis fiskal tetapi soal memulihkan kepercayaan sosial.

Jika kita memandang pajak lewat lensa moral-filosofis dan administrasi publik, isu PBB di Jeneponto mengajarkan dua hal mendasar; pertama, pajak yang adil bukan hanya soal besaran, tetapi juga proses; kedua, legitimasi fiskal lahir dari transparansi, partisipasi, dan bukti nyata perbaikan layanan. Kenaikan angka di tagihan dapat dianggap sah bila warga memahami alasan, merasakan manfaat, dan memiliki ruang memperbaiki keputusan yang dianggap keliru.

Akhirnya, kebijakan pajak sebaiknya menjadi momen pendidikan sipil; kesempatan bagi pemerintah daerah memperkuat kapasitas administrasi, dan bagi warga untuk ikut aktif mengawasi penggunaan publik. Bila kebijakan fiskal hanya dipaksakan tanpa dialog, beban kewajiban berubah menjadi luka kepercayaan. Sebaliknya, bila kebijakan itu dirancang dengan prinsip keadilan dan akuntabilitas, PBB bisa menjadi instrumen pembangunan yang memperkuat solidaritas lokal; bukan memecahnya.

Kredit gambar: BulletiNews


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *