Dari Bantaeng ke Woitombo

Hakikat safar manakala raga dan jiwa menyatu, menaklukkan sekotah bunga petualangan, lalu menjadi buah perjalanan. Bersafari secara jasmani dan rohani, berbuah pengalaman lahir dan batin, berpucuk keunikan.

Kali ini, perjalanan saya menyambangi satu desa di Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, persisnya di Desa Woitombo, tergolong unik. Bukan saja jarak tempuh ribuan kilometer dan jutaan detik, melainkan dikarenakan saya bersama dengan seorang kinasih hati, pasangan saya: Mauliah Mulkin (lebih intim saya sapa Uli).

Alkisah, jauh sebelum tiba di perhelatan rangkaian merayakan kemerdekaan ke-80 Negara Kesatuan Republik Indonesia, sang Kepala Desa Woitombo, Muhammad Akbar, sudah mem-booking saya, agar bisa menyata di hajatan tersebut. Sependek ingatan saya, sekira dua bulan sebelum helatan, saya sudah diharapkan untuk menggawangi salah satu mata acara: Kelas Menulis. Sedangkan Uli mengulik: Kelas Parenting.

Dua pekan sebelum saya ke Woitombo, saya masih beraktivitas di Bantaeng. Sederet agenda menerungku saya, mulai dari urusan keluarga, hingga perkara kemaslahatan negeri. Lima hari tersisa dari dua pekan itu, Uli menyusul ke Bantaeng. Agenda utamanya, melepas rindu, tetapi kelihatannya bukan pada saya, melainkan ke cucu semata wayang: Shanum Assyura Macca, baru saja melunasi usia dua tahunnya.

Kerinduan Uli tunai sudah. Kami pun balik ke mukim di Makassar, Senin siang, 11 Agustus 2025. Kami hanya sehari di mukim, sembari berharap buku hasil Bimtek kepenulisan Perpusda Bantaeng sudah tiba di Makassar. Sehingga, segera bisa saya kirim ke Bantaeng, sebelum berangkat ke Belopa. Nyatanya, belum jua tiba.

Rabu pagi, 13 Agustus 2025, kami sudah melaju ke Belopa, Kabupaten Luwu. Jarak tempuh sekira 320-an km. Bila dikonversi ke waktu tempuh, 7 jam, via angkutan umum. Bus yang kami gunakan, PO Bintang Prima, satu armada angkutan umum, menyediakan perjalanan pagi.

Oh iya, dari mukim di selatan Kota Makassar menuju perwakilan bus di bilangan timur Kota Makassar, kami menggunakan moda transportasi online: bajaj. Belakangan ini, bila berdua atau bertiga, lebih sering menggunakan bajaj. Maklum, harganya relatif terjangkau bagi orang seperti saya, yang pendapatnya lebih banyak daripada pendapatannya.  

Sengaja saya memesan kursi penumpang bernomor 1-2 dan perjalanan pagi, biar leluasa menikmati suasana perjalanan. Sewaktu bus sudah mulai melaju, setengah berbisik saya tabalkan ke Uli, “Anggaplah safar kita ini, seperti menunaikan ibadah umrah.” Uli hanya terkekeh. Sengaja saya ajukan ajakan permisalan ini, biar kesan rohaninya ikut, sehingga bukan perjalanan jasmani semata.

Selama perjalanan, kami menikmati keunikan. Seorang ibu lansia, duduk di kursi 3-4. Antara usia dengan semangatnya tak sepadan. Gairah hidupnya tiada menua. Suaminya mantan pejabat tinggi, seorang hakim di Mahkamah Konstitusi, tapi sudah almarhum. Diceritakannya sejumlah masjid yang ia bangun.

Lebih dari itu, ia penikmat tembang kenangan. Tak segan ia meminta kepada kondektur agar memutar tembang kenangan. Tembang lawas dari penyanyi legendaris dinikmati sekhusyuk mungkin. Ia paling suka tembang dari Tety Kadi, khususnya berjudul, “Teringat Selalu”. Ia ikut bersenandung. Hanya lelapnya saja menjadi jedanya.

Nah, di sela tembang-tembang lawas itu, menyalip satu tembang kesukaan Uli, dari Franky-Jane, bertitel, “Perjalanan”. Bagi Uli, sekotah tembang duetnya Franky-Jane adalah urusan jiwa. Saking abadinya tembang-tembang di jiwa Uli, pernah bikin video terkait tembang, “Kita Semua Sama”. Videonya di YouTube masih ada. Bagaimana dengan saya? Jangan ditanya perkara tembang kenangan, saya seorang penikmat ber-maqam maniak.

Persis waktu Magrib, kami tiba di Belopa, tepat di depan Masjid Raya Al-Ishlah Belopa. Seorang kawan, Asran Salam, pendiri Rumah Baca Akitanawa (RBA), juga pentolan Paradigma Institute, hadir menjemput. Lalu, kami dibawa ke mukimnya di Pattedong, sekaligus markasnya RBA. Kami dijamu santap malam dengan lauk berbahan ayam kampung, hasil racikan Alam, istri Asran. Harap dicatat, di mukim pasutri Asran dan Alam, ia beternak ayam kampung, ratusan jumlahnya. Jadi, kalau hanya menyembelih beberapa ekor buat kami, itu perkara mudah. Waima, sudah tersedia menu ayam kampung, tetap saja di meja makan tersaji kapurung. Ommale sedapnya.

Usai bersantap, satu persatu pegiat RBA hadir. Semalam di Pattedong tajuknya. Ada sawala terbatas dengan beberapa relawan RBA. Namun, hanya sampai kisaran pukul 23.00 sawalanya. Saya menyerah pada kantuk, sehingga lelap sebagai alat bayarnya mesti ditunaikan.

Kamis pagi, 14 Agustus 2025, saya dan Uli, plus Asran dan empat orang relawan RBA: Hasrul, Dasri, Arifin, dan Halifa. Kami menyatu dalam satu mobil menuju Pelabuhan Bangsalae Siwa, Kabupaten Wajo. Kami menjadi satu rombongan (Bantaeng-Makassar dan Belopa-Luwu). Kami bagai rombongan jemaah umroh, siap menempuh perjalanan lahir-batin, safari jasmani-rohani.

Dari Pelabuhan Bangsalae, kami menyeberang ke Kabupaten Kolaka Utara, tiba di Pelabuhan Tobaku Lasusua. Kami dijemput oleh Andi Rizal, utusan Kepala Desa Woitombo. Ternyata, Rizal, seorang mantan aktivis HMI-MPO. Bahkan, di pelabuhan, saya juga bersua dengan petugas tiket kapal ferry New Camelia, Binsar, juga mantan aktivis HMI-MPO. Keduanya hasil kaderasasi dari Asran Salam dan Akbar, tatkala membentuk HMI MPO Cabang Kolaka Utara. Ada reunian sejenak. Saya pun dikenalkan oleh Asran sebagai senior. Walhasil, selama ini mereka sudah kenal nama saya, tetapi belum pernah jumpa.

Naik kapal bersama Uli, membawa saya pada satu kenangan. Jauh di masa silam, rentang waktu tahun 1992-1993, kami pernah naik kapal bersama, beserta rombongan, dari Makassar ke Surabaya. Kala itu, dalam rangka mengikuti Kongres HMI MPO di Semarang. Sekadar menguatkan ingatan, saat itu saya selaku Ketum HMI MPO Cabang Makassar, sedangkan Uli sebagai Sekum KOHATI Cabang Makassar.

Uniknya, di atas kapal yang padat penumpang Uli terpisah dari rombongan. Kami mencarinya dan saya menemukannya di salah satu sudut kapal. Ah, bila saja dipadatkan kenangan itu, bisa jadi satu lagu. Paling tidak sekualitas tembang dari Naff, “Akhirnya Kumenemukanmu”.

Sewaktu pergi Kongres, kami belum berstatus pasutri, masih aktivis mahasiswa: HMI MPO. Namun, sepulang dari kongres, beberapa bulan kemudian, lamaran pun menyata. Dan, hasilnya oke bingits. Tembangnya Naff yang rilis belakangan, seolah tercitra di ikatan tali kasih kekinian, tatkala telah menjadi kinasih hati.

Perjalanan dari pelabuhan ke lokasi helatan, memangsa waktu kurang lebih satu jam. Selama perjalanan, mata saya jelalatan memandangi dinamika ibu kota Kabupaten Kolaka Utara. Naluri politik saya muncul secara alami, bertanyalah saya pada Rizal, seputar percaturan politik. Maklum, ada beberapa penanda bengkalai sisa-sisa perkelahian Pilkada yang saya bisa raba. Tak elok saya beberkan, cukup menjadi bunga-bunga perjalanan. Dan, perjalanan di hari Kamis inilah, saya dapat urita dari Makassar, bahwa buku tulisan peserta Bimtek Perpusda Bantaeng telah tiba di mukim.

Sore jelang Magrib, kami tiba di area Kantor Desa Woitombo. Penguasa negeri, sang kepala desa, Akbar langsung menyambut kami penuh sumringah. Pancaran raut mukanya menunjukkan kebahagiaan. Saya memeluknya, penanda janji untuk menyata dari undangan dua bulan lalu, saya sudah penuhi. Perkara apa yang bakal dibikin, itu urusan berikut.

Malamnya, usai kami dijamu di mukimnya, Akbar mengajak kembali ke lokasi helatan. Satu halaman luas yang diapit oleh Kantor Desa Woitombo dan Perpustakaan Desa Woitombo. Malam ini merupakan malam konsolidasi buat mempersiapkan hajatan Kemah Rakyat Woitombo, 15-17 Agustus 2025. Lumayan larut percakapan para pelibat acara.

Lain halnya saya, lebih dini undur diri buat melelapkan mata di salah satu tenda-kemah. Apa pasal? Saya ingin terbangun di dini hari, guna merasai sekuntum bunga perjalanan lahir dan batin, memaknai seonggok buah embara jasmani dan rohani. Sekaligus mengeja kembali kitab kehidupan, lewat ratusan ayat sosial berpucuk keunikan, sejak dari Bantaeng hingga Woitombo.

Tiada yang lebih pantas bagi seorang pejalan-pengembara dalam safarnya, selain memantaskan diri menggapai keunikan. Sebab, manusia citra ilahi itu, serupa makhluk unik.


Comments

2 responses to “Dari Bantaeng ke Woitombo”

    1. Sulhan Yusuf Avatar
      Sulhan Yusuf

      Alhamdulillah, tengkiyu bingits.

Leave a Reply to Sulhan Yusuf Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *