Di Bawah Tiang Bendera, Pekik Merdeka Dicekik

Aku mendengar suara, jerit makhluk terluka. Luka, luka hidupnya. Luka. ‎Orang memanah rembulan,‎ burung sirna, sarangnya‎ sirna, sirna hidup, redup alam semesta luka. Ya, tanpa daya terbiasa hidup sangsi.‎‎

Orang-orang harus dibangunkan, Kenyataan harus dikabarkan, ini jeritan jiwa. Hidup bersama harus dijaga. Sebuah harapan sukma. Hidup yang layak harus dibela (sepenggal syair lagu kesaksian judul lagu “Kantata Taqwa”).

Terlalu riskan dan teramat terbata saya menyertakan, dari beberapa perumpamaan dan sedikit satire. Bagi yang merasa nasionalis, atas nama  idealisme, toh, juga masih terkapar di tengah peristiwa transaksional di tepi kanal sampai dari celoteh di pinggir jalan, hingga ke ruang ranah debat yang merasa hebat, hingga berlagak diplomat, padahal ternyata penuh muslihat. 

‎‎Masih terbata-bata saya harus mengurai,  sisi lain merasa paling tahu, tapi ada paradigma yang usang dalam menangkap esensi prosesi nilai keberdayaan untuk peradaban negeri yang sekarat, masih saja atas kepentingan kelompok, egoisme sektoral. Kritis tapi masih goyah. Cenderung baper bin jiper, karena merasa terusik. ‎‎

Di tengah percakapan, saya mulai merasa  ditarung, saat  memekik merdeka saja suara itu nyaris ditimpuki subjektivitas. ‎‎

Percakapan nasionalisme yang klise. Ups. Gumam saya sambil senyum-senyum manis. Menyaksikan perihal gejala sindrom bangsa ini yang masih tertidur pulas, bahkan hanya seolah pemikir yang cadas bin cerdas. Tapi sedikit culas.  Kualitas diri dan cara bersikap masih bergerombol main karambol.

‎‎Kusaksikan pula sebuah pasukan, bagai  parade pengangguran seperti saya.  Mereka dengan pakaian  rapi berbaris di bawah  terik, terdengar pekik dan derap langkah pasukan pengibar bendera, tapi mereka tidak tahu bahwa merah putih itu sebenarnya terluka, bahkan terkoyak-koyak. ‎‎

Dengan saksama dibacakan atas hak,  warga negara sama, realitas, nyatanya, masih belum mampu meretas dan mengurai benang kusut bangsa ini.

Masih banyak terjadi ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum yang timpang.  Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin masih sangat mencolok, dan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja yang layak masih belum merata.  Ini hajatan setiap lima tahun periodik  yang sekadar membual saja. ‎‎

Seantero negeri perayaan dihelatkan, mereka namakan pesta rakyat,  yang katanya cara menanam jiwa nasionalisme, sementara di antara mereka ada terkapar tak bisa beli obat, hingga dari yang melarat sampai sampai sekarat.

‎‎Sementara pesta kejahatan di balik layar dan di balik  meja, praktik korupsi,  masih menjadi penyakit yang menggerogoti berbagai sendi kehidupan bangsa. Duit dihamburkan sia-sia. Salah sasaran, atas nama  pembangunan, kesejahteraan, tapi nestapa rakyat terabaikan.

Benarkah telah merdeka secara hakiki? Kalau di tengah rimba raya negeri elok nan kaya raya ini,  masih mendengar tangis bayi di malam hari karena susu tak terbeli?  Atau saat seragam sekolah, buku tulis, uang parenting, serta setoran wisata liburan seorang Argan,  ibunya terpaksa harus berhutang dulu lewat  kewer-kewer (simpan pinjam model dan gaya baru).

‎‎Merdeka dengan definisi yang mana? Jika sementara hamparan sumber daya manusia tergeletak sepi, nun jauh Indonesia masih sangat bergantung pada negara-negara maju dalam bidang ekonomi paling pelik terseret dan terjerat utang. Mirisnya lagi sistem pendidikan paling terpuruk.

‎‎Merdeka? Toh masih rentan terhadap berbagai tekanan dan kebijakan yang merugikan serta hanya sepihak.  Penjajahan ternyata tidak bisa dihapuskan. Bahkan terbungkus model  penjajahan model baru, kerjasa sama yang apik antara penjajah dari luar dengan para segerombol pemangku para pemegang saham, kekuasaan dan pemilik modal. Rakyat jadi sasaran jongos bin babu di negerinya sendiri. 

‎‎Bagaimana saya harus merekayasa dengan pura-pura merdeka? Sementara masih dihantui dengan kecaman dan kecemasan. 

‎‎Dari kertas-kertas usang undang-undang dibuat melindungi sesama gang, koloni para elit, lalu dibumbui kembali oleh setiap rezim, jabatan atas nama perwakilan rakyat, kebijakan yang berpihak pada golongan, bukan atas nama rakyat, sehabis mendulang suara, mereka pergi begitu saja bagai pengecut, terbirit dengan bekas pesing yang telah dia tinggalkan. ‎‎

Tetiba ibu saya menyuruh mengibarkan bendera depan rumah, saya menolak dengan pura tidak dengar, dia mencoba  mendekati saya lalu membujuk, “Jika sempat pasanglah bendera setengah tiang saja”. Saya menggumam,  mengangguk seadanya, sepagi ini pertengkaran receh hanya soal bendera saja. ‎‎

Untuk apa mengibarkan, jika peradaban negeri ini semakin terjungkal?  kemajuan yang konyol diiming-iming. Saya mulai membangun perdebatan dengan seorang karib.  Dengan sigap menangkal dengan daya pikir yang dangkal. ‎‎

Selanjutnya, setiap sudut kampung, lurah, desa kecamatan menghiasi dengan berbagai kegiatan yang itu-itu saja, sepertinya juga krisis ide dan kreativitas. Lantas haruskah juga saya ikut lomba panjat pinang yang dibodoh-bodohi itu?  Balap karung, atau makan kerupuk?  ‎‎

Betapa kegagapan membaca sebuah sejarah itu sangat terabai. Pesta rakyat? Ketus seseorang dengan gerah menanggapi, betapa itu juga kebodohan yang disengaja. Tidak adakah jenis lomba lain yang mumpuni? Ya, katanya ini salah satu cara memeriahkan kemerdekaan atas nama tradisi? Hem. Saya ikut merasakan geramnya.  Betapa banyak kebodohan dan kegagapan kita pertontonkan dan terjebak pula di dalamnya. ‎‎

Bagi saya, merah putih begitu sakral dan amat keramat pada situasi peradaban bangsa ini yang kian terpuruk. Tentang merah tak lagi berani mengajukan kebenaran, semua  berjamaah main tambang. putih tiada lagi menjadi suci. 

 Terdengar celetuk Sujiwo Tejo di sebuah perbincangan receh tentang pengibaran bendera yang lagi ramai di media sosial menjadi perbincangan, dengan simbol kritik untuk negeri yang dihuni oleh para cukong kelas kakap.

‎‎”Kejam mana, merobek-robek merah putih, atau menjual tambang ke negara asing? Dan salah dan fatal bagaimana, mencabik-cabik merah putih tetapi korupsi, merampok aset negara?” Gugatnya. Saya terdiam seketika dan gemuruh di ruang debat itu riuh sebagai bentuk kritik yang tak lagi didengar.

Yah. Hal receh di negeri ini diperdebatkan, akal sehat bertaruh hal sepele, gegara bendera viral tak karuan menjadi perdebatan yang mengusik jejak pagi dan mimpi saya semalam. 

‎‎Seruput kopi kali terasa mulai hambar,  dan setangkai padi terkulai  sepi, ancaman krisis pangan mulai terasa. Detak jantung seorang ibu semakin membuatnya terpukul, saat lengkingan tangis si buyung kehilangan terancam akan kehilangan pekerjaan (PHK). 

‎‎Kutoleh serial pemikiran Gusdur dalam suatu momentum. Bahwa kemerdekaan paling mungkin berfungsi dalam suatu pengelolaan hidup masyarakat dan negara , yang secara seimbang menghubungkannya dengan perasaan senasib sepenanggungan dan persamaan hak. ‎‎

Upaya yang tak habis-habis dalam memelihara keseimbangan ini bisa disebut demokrasi? Di mana kemerdekaan hidup dan tanggung jawab yakni keseimbangan dengan persamaan hak bagi semua?  Serta dengan perasaan senasib sepenanggungan menjadi ladang kesengsaraan.

‎‎Bukankah keseimbangan hidup dari segala kesenjangan ini adalah tugas negara? Sejauh mana para elit,  pemerintah untuk mengayomi  masyarakat dan bangsa Indonesia sejak sematan lencana kehormatan tertancap di sebuah pesta kemenangan, tapi lupa setimpal janji-janji politik?

‎‎Pemahaman tersebut di atas,  tentang hakikat kemerdekaan yang dipotret secara historis lalu dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman ke zaman, pengibaran, menyanyikan Indonesia raya,  hanya bersifat reflektif semata. 

‎‎Kemerdekaan bukan hanya langkah awal membangun kemanusiaan yang beradab, tetapi juga mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial. ‎‎

Pekik itu semakin terdengar tercekik.  ‎Kirab bendera, dibentang lalu dikibar dua generasi berdiri kaku di tiang bendera. Tanpa tahu bahwa sang saka merah putih itu menyimpan perih, sedih amat dalam.

‎‎Mereka tidak tahu telah dibohongi oleh sejarah. Lalu tertiup angin sejarah baru,  terdera di atas angan palsu. Alunan lagu meraung melintasi jagad raya negeri yang dirundung sejuta masalah, dari demokrasi yang konyol, hingga pendidikan yang paling terjungkal jauh di bawah standar.

Kebohongan demi kebohongan sejarah sebagaimana yang katanya  350 tahun dijajah. Ini juga sangat konyol merendahkan bangsa kita sendiri, lalu kita percaya semua itu sampai saat ini. 

Diteken atas nama kesejahteraan sosial. Tetapi para elit dan cukong kekuasaan sampai saat ini, asyik dan masturbasi secara berjamaah.  Rakyat dan generasi di ajari dan suruh  pekik kemerdekaan, diam-diam bagai kucing garong, mencakar-cakar nilai dan merobek-robek ideologinya sendiri, lalu  mereka pelan-pelan mencekik.

‎‎Di bawah tiang bendera, kita masih didera, maafkan saya, sampai saat ini belum juga mengikat bendera di helai batang bambu bekas di depan rumah. ‎‎

Saya takut terdampak dalil dan delik hukum dari sebuah undang-undang ‎nomor 24 tahun 2009. Tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Sebab ukuran dan warnanya harus tidak terlihat usang dan lusuh. Sementara bendera di rumah bagai bendera pusaka bagi kami, sejak saya kecil masih kukibarkan dengan bangga, terikat erat di pagar bambu rumah, dan kini tersimpan rapi dengan lipatannya di sebuah almari kesayangan ibu.

Di bawah tiang bendera terasa terdera, menyimak para pencakap kelas kakap bertengkar ideologi, saling mencetuskan diri menyalahkan dari ideologi, kiri dan kanan, liberal, sosialis, komunis dan kapitalis. Sementara mereka telah meringsut masuk merajai, menguasai, semua sendi tatanan dan ideologi negeri ini. Sudahlah, usah saling bertanduk mengaduk identitas yang juga tiada mampu meretas.

‎‎Dirgahayu Indonesia, negeriku yang dikarunia Tuhan katulistiwa, dari sekelumit peristiwa yang jauh dari harapan para pendiri negeri, para pahlawan mendermakan darah juang dan nyawa.

‎‎Berkibarlah bendera, meski kau merasakan cabikan peluru, sabetan bayonet, dan dari sobekan tangan-tangan jahil.

Sumber gambar: suarapaparisa.com


Comments

2 responses to “Di Bawah Tiang Bendera, Pekik Merdeka Dicekik”

  1. Super dan Luar Biasa dengan Cerita ini membuat para pembaca menambah wawasan mangenai Negara kita ini yg mana Para elit Politik sibuk Memperkaya diri tanpa mementingkan Dan Memperhatikan Jeritan Rakyat yg mana belum merasakan kemardekaan yg sesungguhnya..
    Tetap berkibar Indonesiaku walaupun Negara ini di ambang Kehancuran, Insya Allah Akan ada Pemimpin nantinya yg akan menyelamatkan Bangsa Ini

    1. Dion Syaif Saen Avatar
      Dion Syaif Saen

      Sip. Makasih Kakak telah berkenan di narasi sederhana. Semoga negeri ini keluar dari masalah yang pelik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *