Refleksi dari Bimbingan Teknis Inovasi Pembelajaran di Dinas Pendidikan Kabupaten Sinjai (04-05 Agustus 2025)
Di tengah desir angin Sinjai yang lembut menyusup celah-celah jendela aula pelatihan, saya menyaksikan sesuatu yang tak ternilai harganya: wajah-wajah penuh harapan dan semangat dari para guru dan kepala sekolah tingkat SD dan SMP. Mereka datang dari berbagai penjuru, membawa cerita masing-masing, membawa asa untuk menjadi bagian dari perubahan pendidikan.
Saya menyebut mereka “Sang Penjaga Peradaban”. Bukan sekadar karena mereka mengajar membaca dan menulis, tetapi karena merekalah yang menjaga nyala api keadaban tetap menyala di tengah zaman yang terus berubah. Di tangan mereka, peradaban dibentuk, karakter ditumbuhkan, dan masa depan dibentuk pelan-pelan, hari demi hari.
Mengapa Harus Berinovasi?
Pertanyaan itu menjadi benang merah sepanjang kegiatan bimbingan teknis ini. Mengapa guru harus berinovasi? Mengapa kepala sekolah harus bersedia keluar dari rutinitas yang mapan?
Jawabannya sederhana tapi dalam: karena dunia tak menunggu. Dunia murid-murid kita hari ini sangat berbeda dari masa lalu. Mereka tumbuh di tengah teknologi, media sosial, tantangan sosial, dan informasi yang tak henti mengalir. Sistem dan cara belajar yang dulu mungkin efektif, kini bisa jadi hambar dan tak relevan. Jika sekolah tetap berjalan dengan cara yang sama, maka kita akan kehilangan mereka. Kita akan gagal menjaga peradaban.
Inovasi adalah bentuk tanggung jawab moral kita. Bukan sekadar untuk memenangkan lomba atau meraih penghargaan. Inovasi merupakan cara kita menunjukkan cinta pada murid, pada profesi, dan pada masa depan negeri ini.
Berinovasi Berarti Peduli
Saya membuka pelatihan ini dengan sebuah pemahaman penting: inovasi yang paling murni lahir dari empati. Kita tak bisa berinovasi dari menara gading. Kita harus turun ke bawah, menyentuh kenyataan, merasakan apa yang dirasakan oleh murid, guru, kepala sekolah, bahkan orangtua dan masyarakat.
Maka saya mengenalkan metode design thinking, dimulai dari tahap paling mendasar—empati. Kita belajar mendengar tanpa menghakimi, mengamati tanpa mencurigai, merasakan tanpa mendominasi. Karena hanya dari empati lahirlah ide-ide terbaik. Ide yang bukan sekadar hebat di atas kertas, tetapi menyentuh akar persoalan.
Saya menyaksikan langsung betapa mata para peserta bersinar ketika mereka diajak memetakan masalah-masalah yang selama ini terasa biasa, tetapi sebenarnya menyimpan potensi besar untuk ditangani dengan pendekatan baru.
Seorang guru bercerita tentang murid yang sulit berkonsentrasi karena harus membantu orang tuanya bekerja. Seorang kepala sekolah menuturkan kesulitan komunikasi dengan orang tua murid. Dari situ, ide-ide mulai bermunculan: kelas remedial berbasis permainan, forum orang tua digital, metode belajar berbasis proyek komunitas, dan masih banyak lagi.
Menata Rencana, Menyusun Aksi
Gagasan tanpa aksi hanyalah angan. Karena itu, sesi berikutnya saya arahkan untuk menyusun rencana aksi. Setiap peserta ditantang untuk menjawab: apa langkah pertama yang akan mereka lakukan? Apa yang bisa dimulai besok pagi, dengan sumber daya seadanya?
Saya tak meminta mereka menciptakan keajaiban dalam semalam. Saya hanya mendorong mereka mengambil satu langkah kecil. Karena dari langkah kecil yang konsistenlah, jalan perubahan akan terbuka.
Dan di sinilah keajaiban mulai terasa. Setiap kelompok mulai menyusun rencana: mengadakan forum diskusi siswa, menciptakan pojok literasi dari barang bekas, membuat sistem absensi berbasis warna, hingga kampanye kebersihan sekolah melalui seni mural. Ide-ide itu sederhana, tetapi nyata. Dan yang terpenting: mereka datang dari hati.
Dokumentasi dan Jejak Digital Perubahan
Ada satu hal penting yang sering luput dalam perjalanan inovasi: dokumentasi. Saya sampaikan kepada para peserta bahwa dokumentasi bukan sekadar untuk laporan. Ia adalah cara kita menghargai proses. Ia adalah cara kita berbagi inspirasi kepada orang lain. Dan lebih dari itu, dokumentasi adalah jejak digital dari perubahan.
Dalam era digital, setiap langkah inovasi yang kita catat dan bagikan bisa menjangkau lebih banyak orang. Satu video pendek tentang perubahan di kelas bisa menginspirasi guru lain di tempat yang jauh. Satu catatan reflektif bisa menjadi pemicu gerakan yang lebih besar.
Karena itu, saya mendorong mereka untuk mulai mendokumentasikan dengan sederhana: foto kegiatan, catatan harian, testimoni siswa, hasil karya murid, atau video singkat yang menggambarkan perubahan. Semua itu adalah bagian dari ekosistem inovasi yang kita bangun bersama.
Satu Sekolah, Satu Inovasi
Dan inilah puncaknya. Dari seluruh proses pelatihan, kami menargetkan satu output nyata: satu sekolah, satu inovasi. Bukan sekadar wacana, tapi benar-benar dirancang dan siap diuji coba.
Bayangkan, jika dari seluruh sekolah yang hadir, masing-masing melahirkan satu inovasi, maka kita telah menyalakan puluhan lilin perubahan dalam waktu bersamaan. Dan lilin-lilin itu, jika dijaga, akan terus menerangi jalan pendidikan di Kabupaten Sinjai.
Api Kecil yang Membakar Dunia
Ketika pelatihan usai, saya berdiri di depan ruangan, menatap para peserta yang bersiap pulang. Di wajah mereka, saya melihat bukan hanya semangat, tapi juga keberanian. Keberanian untuk mencoba. Keberanian untuk gagal. Keberanian untuk kembali mencoba.
Mereka mungkin tak langsung mengubah dunia. Namun, mereka telah menyalakan api kecil di sekolahnya masing-masing. Dan seperti kata pepatah: api kecil yang dijaga dengan baik, bisa membakar dunia.
Maka, kepada para guru dan kepala sekolah di Sinjai, izinkan saya mengucapkan terima kasih. Kalian adalah penjaga peradaban yang sejati. Teruslah menyalakan cahaya inovasi. Karena di tangan kalian, masa depan sedang disusun—huruf demi huruf, hari demi hari.

Konsultan/Praktisi Inovasi Pelayanan Publik. Kini, sebagai Direktur Bonthain Institute. Untuk keperluan konsultasi inovasi, bisa dihubungi pada nomor kontak: +62 852-9924-7191.


Leave a Reply to Rahman Ramlan Cancel reply