Bontojai, Campaga, Bontodaeng, dan lainnya

Acapkali dihidu oleh lilitan faktor kebetulan. Waima, di semesta tiada yang kebetulan. Hanya perkara waktu saja belum baku sambung, antara peristiwa satu dengan lainnya. Bila melatai semesta dilakoni apa adanya, maka sambungan peristiwa sungguh merupakan satu kesatuan.

Begitulah di hari Senin, 4 Agustus 2025, sejak baskara semenjana teriknya, hingga tiba pada semadya safarnya, sekira sesudah salat Duhur. Saya benar-benar menapaki rentang waktu tersebut, tiada perencanaan berarti, selain dari bertandang ke Perpusda Bantaeng, guna menyerahkan lagi wakaf buku dari beberapa kisanak-nyisanak.

Sungguh, saya pun tak perlu mematok siapa yang akan menerima seserahan wakaf buku tersebut. Sebab, selama ini, beberapa penyerahan sebelumnya, cukup beragam pejabat yang menerimanya. Intinya bagi saya, amanah sudah tertunaikan, lalu ada laporan ke publik, via unggahan di akun media soasial. Itu sudah lebih dari cukup.

Sewaktu saya bertanya kepada Ainun Massalinri dan Akbar, dua personil terdepan di desk layanan sirkulasi peminjaman-pengembalian buku, tentang siapa saja pejabat yang sudah datang, eh malah dijawab, bahwa akan ada acara di kantor sebelah, serupa penerimaan hadiah lomba perpustakaan desa/kelurahan.

Dilalahnya, satu kebetulan yang tak kebetulan, seorang pustakawan dan pegiat literasi dari Desa Bontojai, Kamaruddin, lebih akrab disapa Leo, menyata di sekitaran kami. Bercakap-cakaplah saya dengannya. Maklum saja, manakala saya bersua dengan seorang pegiat literasi penuh dedikasi, seolah dunia ini milik kami. Bukankah kami sering mengintip dunia lewat jendelanya: buku?

Tak pakai waktu lama. Hadir pula Kepala Desa Bontojai, Amiluddin Azis, lebih populer dengan panggilan Emil. Baru saja kami berasyik ria, terkait lolosnya inovasi Desa Bontojai di bidang literasi pada ajang KIPP tingkat nasional, muncul pula Abdul Mannan, Lurah Kelurahan Campaga. Harap dicatat, Mannan adalah kawan saya sejak ia masih muda belia, sejak ia menggelandang sebagai aktivis di KOSKAR PPB. Ah, saya tegaskan pula, sama halnya dengan Emil, saya sudah berkawan sejak ia masih mahasiswa dan menjadi Ketua Umum FMBT.

Tahukan, apa jadinya kalau kami berjumpa? Percakapan pasti penuh dengan canda memperkarakan negeri yang rada unik ini, tetapi saya tidak paparkan di sini. Pasalnya, dua kawan saya ini adalah pejabat di negerinya masing-masing. Percayalah, tiada gosip mengajak mereka memberontak kayak zaman dulu, melainkan bagaimana menjadi pengurus negeri yang bermartabat, dengan jiwa martabak, makin dibanting makin melebar.

Kalakian, datanglah salah seorang kawan juga, seorang personil Perpusda Bantaeng, Sudarman, lebih akrab saya sapa Pak Sudar, mengajak kami ke ruang penerimaan hadiah lomba. Jujur, semula saya tidak mau ikut, tapi setengah diseret oleh Pak Sudar. Soalnya, kostum saya tidak mencerminkan seorang penghadir di acara formal.

Untung sekali ada sebentuk kebetulan tak betulan, sebelumnya saya mencoba rompi buat saya, selaku bagian dari panitia festival literasi nantinya. Rompi inilah menjadi betulan adanya. Jadi, saya menyata di acara sudah mirip pegawai perpustakaan. Apatah lagi, di punggung rompi itu bertuliskan Dispusip Kabupaten Bantaeng, bagian depan sebelah kiri ada logo Kabupaten Bantaeng, bagian kanannya ada nama saya termaktub: SULHAN, pakai huruf kapital.

Sesampai di ruangan, langsung disambut oleh penyelenggara dan para penghadir lainnya. Plus, Kadis Perpustakaan Bantaeng, Syamsir, yang lebih dekat saya sapa dengan panggilan Pak Anci. Maklum, selain amat sering bersentuhan sejak beliau menjadi Kadis, juga sebagai kakak kelas saya di SMA 1 Bantaeng. Hebatnya lagi, ia menjadi sahabat karib dari kakak saya, sehingga sering bertandang ke rumah kami.

Tak saya sangka, apalagi saya duga. Pak Anci menyilakan duduk di kursi depan. Saya pun enggan, toh saya bukan siapa-siapa, tapi ia memaksa dan didukung oleh beberapa stafnya, agar saya ikut duduk di depan. Duduk manislah saya, tebar pesona, walaupun aslinya saya grogi karena tak jelas kedudukannya, selain sebagai pegiat literasi. Namun, dikarenakan pegiat literasi inilah, saya sepertinya dipantaskan untuk duduk sejajar. Percayalah kisanak-nyisanak para pegiat literasi itu, seringkali mendapatkan kehormatan di tempat yang tepat.

Oh iya hampir lupa, tapi tak mungkin saya lupakan. Tatkala saya duduk manis bersama Pak Kadis di jejeran kursi depan menghadap para penghadir, tiba-tiba datang pula seorang kawan, sang Kepala Desa Bontodaeng, Abdul Rahman, nama facebooknya: Rahman Lintas Batas. Memang, kawan yang satu ini, suka melintasi batas, salah satu contohnya, ia menemukan jodohnya di desa lain.

Rahman, atau lebih dekat saya menyapanya, Man, sosok junior saya di HMI. Sewaktu masih di Makassar, amat sering bersua, tentu dalam percakapan berbagai minda. Begitu pun setelah kembali ke Bantaeng, menjadi aktivis pemberdayaan masyarakat, kerapkali berjumpa, mempercakapkan banyak perkara, tak terkecuali soal gerakan literasi. Kalau saja kisanak-nyisanak mengetahui salah satu aktivitas literasi di Kecamatan Uluere, Kemah Buku Kebangsaan (KBK), maka kami berdua sering menjadi “tetua” dari sekotah anak muda penggiat dan pegiat di KBK.

Lengkap sudah kawan-kawan saya kali ini dalam momentum di selingkung hajatan literasi. Ternyata, tiga kawan saya ini diundang untuk menerima hadiah lomba perpustakaan desa/kelurahan.

Lebih elok bila saya beberkan saja rilis dari penyelenggara yang dibacakan oleh Hj. Indrayani Tawang, Kabid Pembinaan dan Pengawasan Perpustakaan dan Kerasipan Dispusip Bantaeng, tentang juara lomba Perpustakaan Desa/Keluarahan se-Kabupaten Bantaeng tahun 2025.

Juara 1: Desa Bontojai (nilai: 1.970), Juara 2: Keluarahan Campaga (nilai: 1.430), Juara 3: Desa Nipa-Nipa (nilai: 638), Juara Harapan 1: Desa Bontodaeng (nilai: 534), Juara Harapan 2: Desa Kayuloe (nilai: 529), dan Juara Harapan 3: Desa Kampala (nilai: 500). Selain dapat piala, juga diberikan uang pembinaan. Adapun piagamnya akan menyusul diserahkan, saat festival literasi, September 2025.

Hj. Indrayani menegaskan dalam rilisnya, dewan juri berasal dari Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan (H. Muhammad Yunus dan Arwadia) dan Perpusda Bantaeng (Asriyati Nur). Tak lupa pula ia menegaskan, bahwa ajang lomba ini, bukanlah sekadar mencari juara, melainkan sebentuk pembinaan akan pentingnya keberadaan perpustakaan desa/kelurahan dengan standar layanan memadai. Apatah lagi, sebelum ajang lomba diadakan, terlebih dahulu diselenggarakan Bimtek terkait jagat perpustakaan desa/keluarahan.

Selain mengaminkan rilis dari Hj. Indrayani, Kadis Perpusip Bantaeng, Syamsir, menabalkan sambutan, bahwa lebih dari itu, diharapkan keberadaan perpustakaan desa/kelurahan menjadi motor penggerak tumbuhnya tradisi literasi di desa/kelurahan. Ada harapan besar dititipkan, agar ada semacam kolaborasi dengan berbagai pihak, agar tradisi literasi benar-benar terwujud.

Usai acara seserahan juara lomba, saya diajak ke ruangannya Pak Anci. Selain makan siang plus ngopi, juga mempercakapkan banyak hal. Lalu, dipucuk waktu, saya menyela sembari bertanya, sudah pukul berapa? Rupanya baskara baru saja tergelencir. Artinya, sudah masuk Duhur. Saya mau izin sekaligus mengajak ke Kantor Layanan Perpusda Bantaeng.

Apa pasalnya ajakan saya ini? Saya setengah berbisik, bahwa ada dua kardus air gelas mineral, berisi buku, sejumlah 47 eks, yang ingin saya serahkan, mewakili para pewakaf buku. Dan, kami berjalan beriring riang gembira. Seserahan pun sudah tunai.

Amanah saya telah tunaikan. Masihkah sederet peristiwa ini dalam rentang waktu pagi-siang, masih didefenitkan sebagai peristiwa kebetulan? Wallahu ‘alam.


Comments

One response to “Bontojai, Campaga, Bontodaeng, dan lainnya”

  1. Bung RaRa Avatar
    Bung RaRa

    Jayalah gerakan literasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *