Ketika menemukan infografis Indonesia Juara Bertahan Negara Paling Rajin Berdoa di Dunia, banyak pertanyaan yang muncul. Apakah info ini bermaksud mengatakan sarkastis bahwa orang Indonesia rajin berdoa tapi masih kesulitan, dan orang negara yang kurang berdoa menjadi negara makmur? Atau info itu hanya mengesankan bahwa berdoa bagi orang Indonesia adalah rutinitas.
Berdoa bagi orang yang percaya adalah tindakan paling realistis ketika logika kehilangan kekuatannya. Doa bagi yang percaya bukan sebuah rutinitas belaka, tapi ia adalah pengharapan dari segala masalah yang dialami manusia. Kita berdoa setiap hari, setiap saat, bukanlah sebuah kebodohan tapi menjadi keniscayaan bagi seorang hamba yang masih berharap pada Tuhannya.
Namun, infografis ini memunculkan dilema menarik. Mengapa negara-negara dengan tingkat doa harian tertinggi justru mayoritas berasal dari negara-negara yang menghadapi tantangan ekonomi, sosial, atau politik yang besar? Apakah ini mengindikasikan bahwa intensitas doa mencerminkan kedalaman krisis, bukan kedalaman kemakmuran? Atau sebaliknya, bahwa spiritualitas justru menjadi pegangan kuat ketika struktur duniawi belum bisa sepenuhnya diandalkan?
Kritik terhadap infografis ini bukan untuk meremehkan kekuatan doa atau kesalehan masyarakat yang ditunjukkan melalui rutinitas spiritual. Namun, penting untuk mempertanyakan konteks dan narasi yang dibangun. Infografis ini mengambil angka statistik dan menyajikannya secara visual tanpa menggali lapisan makna di balik data tersebut. Tanpa narasi yang kuat, grafik seperti ini rentan ditafsirkan secara sinis—bahwa berdoa tidak membawa perubahan nyata.
Pertanyaan kritis lain yang patut diajukan: bagaimana seharusnya kita memahami korelasi antara religiusitas dan kesejahteraan sosial? Apakah tingginya praktik keagamaan—seperti doa harian—mencerminkan masyarakat yang sehat secara spiritual, atau malah menjadi sinyal bahwa mereka kekurangan saluran lain untuk berharap, seperti sistem keadilan yang berfungsi atau ekonomi yang stabil?
Infografis ini mestinya menjadi pemicu refleksi, bukan hanya kebanggaan kosong. Indonesia memang “juara” dalam soal frekuensi doa, tapi apakah doa itu diiringi dengan usaha kolektif untuk memperbaiki kondisi bangsa secara nyata? Apakah spiritualitas itu menjadi dasar dari etika publik, keadilan sosial, dan integritas moral di ruang-ruang kekuasaan?
Berdoa memang bukan lelucon. Tapi menjadi “juara berdoa” juga bukan medali yang bisa dibanggakan jika tidak diikuti oleh perwujudan nilai-nilai spiritual dalam perilaku keseharian, terutama oleh para pemimpin dan pengelola negara. Karena doa yang sejati adalah yang menjadikan manusia lebih jujur, lebih peduli, dan lebih bertanggung jawab.
Jadi, pertanyaannya bukan seberapa sering kita berdoa. Tapi: apa yang kita lakukan setelah mengucapkan “Amin”?

Lahir, 12 Februari 1975 dari pasangan H. Andi Passalowongi Daeng Ngipu dan Hj. Rahmatiah, memulai studi S-1 di UNM/IKIP 1993-2000, Pascasarjana Unismuh 2007-2010. Menjadi guru sejak 2006. Saat ini mengajar di SMAN 6 Barru sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia. Bergelut aktif di ranah literasi sejak 2010 dengan menggerakkan gerbong literasi guru dan remaja Kab. Barru lewat beberapa organisasi kepenulisan seperti Yasbic, Agupena, dan Perpustakaan Iqra Takanitra. Menulis di beberapa flatform media sosial, dan menjadi dosen luar biasa di Universitas Muhammadiyah Barru dan ITBA ALgazali Barru. Telah menulis beberapa buku: Bunga Rampai Bahasa Indonesia (2015), Catatan Seorang Guru (2016), Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara (2016), Kumpulan Cerpen Arajang ( 2017), Antologi Gurusianer Bicara Literasi (2017), Pesan-pesan Berkarakter dalam Kearifan Lokal Nusantara (2018), Cerita Rakyat La Patau (2018). Kumpulan Cerpen Ata Mana (2019), Ayo Tulis dan Terbitkan Bukumu (2019), Kumpulan Esai bersama Yang Digugu dan Ditiru (2019), Kumpulan Esai bersama Guru Melawan Pandemik (2020), Melihat ke dalam Diri (2022), Kota Penulis Ilagaligo (2022), dan Buku Dwibahasa Makkereta Api Baru (2023). Mottonya adalah “Panta Rei” sebuah filosofi Yunani yang berarti mengalir, terus berubah, terus bergerak sampai di perhentian terakhir.
Leave a Reply