Akhirnya, Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) selesai. Tiga hari lamanya, anak-anak baru di sekolah kami, berdatangan seperti salju yang jatuh dari langit. Begitu putih dan suci. Ada yang riang menenteng tas baru dan seragam wangi setrika. Ada pula yang menempel lekat di perut ibunya laiknya anak kanguru Australia. Begitulah pemandangan lumrah di hari pertama sekolah, khususnya di sekolah dasar.
Sayangnya, hari pertama dimulai di hari Senin, sehingga murid baru harus menyesuaikan dengan sistem begitu cepatnya. Ikut upacara yang membosankan. Harus berlama-lama berbaris rapi, mendengar pepatah dan petitih yang masih terlalu sulit mereka pahami. Di SMP–SMA hal itu mungkin bukan masalah, tapi di SD menjadi lebih rumit karena anak-anak ini “dipaksa” diam mendengarkan dengan kaki kecilnya yang pegal.
Bertahun lamanya kita menyambut murid baru dengan wajah birokratis. Penuh pengumuman. Banyak jargon. Sesak dengan baris berbaris. Tapi kosong dari kehangatan, kecuali dari sinar matahari.
Secara historis, penyambutan murid baru di Indonesia bukanlah hal yang baru. Praktiknya telah berlangsung sejak masa kolonial Belanda. Dulu, di masa itu, pengenalan lingkungan pendidikan bagi murid baru dilakukan dalam suasana yang hierarkis dan militeristik. Tidak sekadar mengenalkan ruang dan aturan, tetapi menanamkan ketundukan dan kepatuhan.
Seiring waktu, wajah pengenalan ini berubah-ubah nama, walau acapkali tidak berubah wataknya.
Tahun 1963, kita mengenal Masa Kebaktian Taruna, lahir di tengah semangat revolusi, menanamkan jiwa pengabdian kepada negara dan masyarakat. Lalu muncul Mapram (Masa Prabakti Mahasiswa) tahun 1968, ketika mahasiswa baru ditempa dalam nuansa disiplin keras dan senioritas.
Tahun 1991 hadir Pekan Orientasi Studi, disusul dengan nama-nama lain seperti Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) dan Orientasi Perguruan Tinggi (OPT).
Semasa kuliah, seorang senior saya pernah bercerita, ia pernah menampar juniornya dengan sendal Eiger, karena soal sepele. Dinda, katanya, dulu masa kami lebih parah lagi. Kalian tidak ada apa-apanya. Kisahnya heroik sekali, seolah ia baru saja memenangkan perang besar. Ia mungkin lupa, bahwa kekerasan itu menular dan terwariskan. Ia seolah ingin membangun negeri dengan jalan itu, dari darah dan ketakutan para juniornya.
Di tingkat sekolah, istilah Masa Orientasi Siswa (MOS) lebih populer di awal 2000-an. Sayangnya, kegiatan ini tak jarang disusupi praktik perpeloncoan, tekanan mental, dan relasi kuasa antara senior dan junior yang timpang.
Anak baru disuruh datang berkalung permen dan bertopi wafer. Aksesori aneh disematkan di tubuh laiknya lencana kehormatan. Dengan segala pernak pernik dan perlakuan yang diberikan, para murid baru kala itu lebih mirip “digembelkan” oleh para kakak kelasnya tinimbang “digembleng”, agar bisa menyesuaikan dengan jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Kakak kelas mewarisi mental superioritas seniornya dulu, hingga sekolah berubah wajah jadi barak militer, dipenuhi dengan teriakan dan amarah yang dibuat-buat. Namanya memang orientasi, tapi isinya mirip persekusi. Hal ini diwariskan tiap tahun, macam pusaka berharga dari nenek moyang.
Barulah pada 2016, pemerintah lewat Permendikbud No. 18 secara resmi menghapus praktik MOS dan menggantinya dengan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), yang menekankan pada kegiatan edukatif, kreatif, dan ramah anak. Kini, guru bukan lagi hanya pengawas, tetapi aktor utama dalam menyambut siswa baru. Sebuah hal yang menggembirakan.
Namun pertanyaannya, apakah semangat MPLS hari ini sudah benar-benar berubah? Atau kita hanya mengganti nama, tapi mempertahankan pola? Jangan-jangan kita hanya mengganti senior yang galak dengan guru yang kaku.
Saya kemudian membaca Mengajar Seperti Finlandia, karya Timothy D. Walker dan menemukan ekosistem pendidikan yang lebih manusiawi: sekolah yang berjalan pelan karena tidak mengejar ketuntasan materi, kelas yang menumbuhkan rasa memiliki sebelum menuntut kepatuhan atas aturan, dan guru yang lebih banyak mendengarkan dibanding memerintah.
Di Tana Toraja, beberapa sekolah gereja memulai tahun ajaran dengan ibadah dan makan bersama. Di pesantren-pesantren kecil di Sulawesi Selatan, santri baru disambut dengan barzanji dan pelukan hangat, bukan dengan perintah baris-berbaris. Di Sekolah Alam Bumi Shalawat di Jawa Timur, orientasi siswa diisi dengan pengenalan alam, bukan pengenalan jejeran aturan.
Sekolah-sekolah komunitas seperti Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta, Sekolah Rakyat di Sulsel, atau komunitas seperti Tanahindie, bahkan menolak MPLS sebagai agenda formal. Mereka lebih percaya pada perkenalan yang tumbuh pelan-pelan, seperti kita mengenalkan bayi pada dunia: dengan sabar, tidak tergesa, dan penuh penghormatan.
Namun, jika kita jujur, semua contoh itu akan tetap jadi pengecualian jika tidak menyentuh akar masalah yang lebih besar: struktur dan kultur pendidikan kita terlalu birokratis untuk bisa benar-benar manusiawi.
Kita sering bicara soal “menyambut anak dengan hangat”, tapi tak pernah menyentuh gaji guru yang dingin. Kita berharap guru membangun relasi personal, tapi tak pernah merevisi beban administrasi yang membunuh waktu dan emosi mereka. Kita mendorong sekolah menjadi tempat aman, tapi tetap memaksakan jam pelajaran padat, target numerik, dan obsesi pada prestasi.
Negara ini, seperti biasa, datang paling belakangan dan bicara paling keras. Rajin menciptakan slogan-slogan kosong tak berguna. Menyuruh kita melek teknologi, tapi diam-diam Chromebook-nya dikorupsi. Sibuk mengevaluasi guru-guru, lupa mengevaluasi dirinya sendiri. Dalam banyak hal, adalah benar bahwa yang gagal bukan sekolah, melainkan negara. Iya negara.
Sumber gambar: Tribunnews.com

Guru PJOK dan pegiat literasi di Bantaeng. Penulis buku kumpulan esai, Jika Kucing Bisa Bicara (2021) dan anggota redaksi di Paraminda.com.
Leave a Reply