Arappung Na Akrapang-Rapang: Sebuah Paguyuban

‎”Jika semua tampak tidak mendukungmu, ingatlah satu hal bahwa pesawat saat lepas landas melawan Angin. Bukan dengan bersamanya.” (Puspita)

‎08 muharram 1447 H, haru biru momen bersua keluarga besar Ma’dunda bin Serang dibingkai dalam moment Rappung Na Akrapang-Rapang untuk ke sekian kalinya.

‎Persemaian indah nan guyub, pada rindu kakek buyut, ketika para tetua ikut hadir, berkumpul membagikan kisah klasik yang dikenangnya, sepanjang hidup dan apa yang menjadi kesaksian pada masanya.

‎Adalah sosok tetua Poko’ bin Cangku’ bin Pama’ bin Ma’dunda yang konon hidup sejak zaman Belanda: “caddia nak, na niak balandayya, punna nipponga lompo-lompo memangma, punna garombolanga ri bokopia.” (Saya kecil saat penjajahan Belanda, dan saya beranjak dari remaja ke dewasa saat saya menyaksikan Nippon/Jepang. Kalau zaman gerombolan itu periode belakangan).

‎Sekilas ada kecemasan dan trauma mengisahkannya. Guratan sejarah, perjuangan masih tersisa dari kaki yang tetap kuat berjalan meski terseok.

‎Beliau juga memberikan kesaksian bagaimana pesawat/helikopter milik Belanda seakan mengintimidasi, melintasi jagad kampung Pa’bumbungang.

‎Seribu tanya terbenak bahkan kian tertanak, di seribu misteri, bukan asal meraba dan menebak. Akan tetapi butuh babak selanjutnya, melengkapi dalam menemukan “bannang pangjai simpung“. Yah, betapa berkecamuk di pikiran Puspita, seorang cicit dari buyut yang mereka ceritakan. Lantas alasan apa dan bagaimana bisa Belanda menerbangkan pesawatnya/helikopternya di tanah leluhur buyut kami?

‎Di tambah Daeng Dammang Bin Ma’du bin Kasia bin Pama’ bin Ma’dunda yang konon ayahnya Ma’du diberi nama serupa dengan kakeknya untuk mengenang nama kakeknya Ma’dunda.

‎Bapak Dammang ikut bercerita, pernah suatu waktu, Pama’ bin Madunda pergi tarekat bersama 6 orang karaeng termasuk salah satunya 1 orang karaeng perempuan, dengan dialek khasnya, “Lekbaki  riolo  Kakek Pama’ aklampa tarekat, tujui si patarekakkang kale-kalenna bawang taniai karaeng, niak sekre karaeng baine ni areng karaeng kebo’, Pama’ ji tania karaeng mingka ia ni pitangara, ia pi angkua na minawang ngaseng annanga karaeng.” 

‎(Suatu hari Pama’ bin Ma’dunda pergi tarekat bersama 6 orang karaeng, hanya dia yang bukan karaeng, termasuk 1 orang karaeng perempuan yang bernama Karaeng Kebo’, tapi dari ketujuhnya Pama’ yang didengarkan perkataannya, kemudian 6 karaeng lainnya ikut dengan Pama’).

‎Begitu juga dengan Saing bin Kasia bin Pama’ bin Ma’dunda menceritakan terkait jenis pappikruangna, sebuah wadah bersirih atau siwak, meski banyak yang memiliki di masanya, namun ada  yang berbeda dengan pappikruang seperti biasanya.  Pama’ memiliki pappikruang gallang/kuningan tinggi sekitar 30-50 cm, ada motif unik di pinggiran kuningan tersebut, yang turut disaksikan oleh Sampara’ bin Kadere bin Rampu bin Ma’dunda atas keberadaan pakpikruang Pama’ tersebut.

‎Deng Saing melanjutkan, bahwa selain itu sebuah benda yang mereka sakralkan, bernama sele’ 7 lekko  Ma’dunda yang diwariskan ke Pama’. Lalu saat ini dimiliki oleh ponakannya, Dammang bin Kasia bin Pama’, itu masih ada.  Hanya saja emas yang sebagai pengikatnya sudah copot.

‎Suasana makin hening dengan rasa penasaran para cicit, cucu, keponakan, sepupu, semakin khidmat dan menanyakan beberapa hal. Nurdin Bin Nadda pun memberikan kesaksian bahwa sosok bernama Kakek buyut kami, Pama’ adalah jannang pertama di Mappilawing dengan wilayah kekuasaan dari Pa’bumbungan hingga ke kota.

‎”Ba’a,” celetuk Daeng Poko bin Cangku bin Pama’, juga  kenapa Pama’ digelari sebagai Jannang Toa? Karena Pama’lah yang pertama menjadi jannang di Mappilawing, disusul jannang-jannang seperti Jannang Tamejo, Jannang Nai, hingga periode pemerintahan abad kedua puluh. Bahkan konon, dengan tegas mengatakan bahwa tidak akan dilantik seorang karaeng kala itu,  kalau Jannang Pama’ tidak hadir saat pemilihan dan pemilihan sebagai raja.

‎Saya, bersama cucu dan cicit yang lain sejenak terdiam, tercekat hampir tidak percaya, sebagaimana story dan history itu berentetan dan memiliki korelasi dari sekian banyak sumber, baik dari keluarga sendiri, beberapa sumber pihak keluarga, dari anak cucu seorang jannang, bahkan dari  keturunan yang pernah menjabat sebagai raja mengatakan itu. Mengenal dan tahu orang bernama Pama’ adalah seorang jannang di abad ke-18.

‎Pama’-lah yang didengar pitangarakna.  Bahkan Poko’ bin Cangku bin Pama’,  mengatakan bahwa salah satu keturunan Pama’ ada yang menjadi tutoa/sariang di Bakung-Bakung yang bernama Kasia bin Pama’ bin Ma’dunda

‎Puspita semakin penasaran dan berusaha membuat sebuah alur cerita dan titimasa. Kami tidak juga kapitu-pitu atau gegabah dalam  mengurainya,  jika dianalisis lebih ketat, dengan menarik periodisasi, sepertinya adat Sampulo Angrua, sebagai  jabatan jannang sebanyak 12 jannang, berarti berada di era Pama’ bin Ma’dunda bin Serang. Lantas, bagaimana kesimpang siuran cerita era 7 kare’ atau mitologi masa 1.200-an beriringan katanya dengan Tumanurung?

‎Ini hanya hipotesa saja, saat menarik beberapa rangkaian cerita, sejarah dan jejak, mesti dugaan kami seakan tersublim, tersembunyi di balik tirai para pemenang penulis sejarah itu sendiri. Kesejarahan sepertinya dijarah dengan mengubah arah.

‎Bisa saja dikatakan seorang  Ma’dunda bin Serang, sosok buyut kami bernama Serang, berada pada masa itu.  Itu menurut versi rumpun dan sanad serta nasab kami.  Semua masih multitafsir. Tidak juga menjadi pembenaran mutlak. 

‎Pertanyaan yang cukup menggelitik rasionalitas saya,  kata Puspita di sela bincang lepas kami. Bagaimana dengan sejarah lokal yang selama ini didengungkan? Apakah betul ada telikung sejarah yang membabat habis histori kakek buyut kami? Puspita dengan rasa miris di hatinya,  bahkan hingga nilai dan prinsipnya ikut terhempas, terdera dan tak dikenang, tak dikenal. Tersisa pusara, cerita, sengketa, dan sejuta peristiwa yang  diiringi tangis, serta sebuah hal tragis. 

‎Miris, air matanya ingin jatuh mengalir di tengah harapan akrappung akrapang-rapang saat itu, tertahan di tenggorokan, rasa sakit yang luar biasa menembus palung terdalam perasaan cicit cicitnya.

‎Terbukti dengan beberapa peninggalan artefak yang di miliki cucu-cicitnya, melambangkan keluarga seorang Pama’ bin Madunda bin Serang berada dalam puncak peradaban terbaik pada masa itu.

‎Begitu juga dengan keberadaan sebuah pabrik kopi belanda yang kini digunakan sebagai batas masuk Desa Pa’bumbungan.

‎Sebagaimana jejak dia tinggalkan, sebuah bekas pabrik bernama Lolisi. Tetiba  Daeng Poko bin Cangku yang lahir di masa kolonial Belanda kala itu, masih  menyaksikan, bahwa pabrik tersebut sudah ada di zamannya dan sudah tidak digunakan lagi. Itu artinya periodisasi usia pabrik kopi tersebut sudah ada dan berfungsi jauh ke belakang sejak zaman kolonial Belanda.

‎Dan konon pabrik tersebut dibawa langsung oleh Tun Van Bello (jika di cari arti harfiahnya dalam bahasa Belanda, artinya tuan pemilik gunung/taman) dan beberapa sumber mengatakan bahwa Tun Van Bello membawa pabrik kopi ke Pa’bumbungan untuk saudaranya, Ma’dunda.

‎Nah, ini butuh penelusuran berlanjut, ucap Puspita penuh antusias selama proses pencarian nasab.  Yah, beberapa sumber menyebut nama tersebut, namun kami  hanya menampung segala sumber, mencocokkan mencarikan korelasi yang sesuai, lalu menjadi sebuah narasi, agar kami tidak sekadar mengurai atau menuliskannya pada rentetan mitos.  Berbuah dongeng yang kami harus sangat ekstra hati-hati dalam menyusunnya.

‎Entah dalam artian saudara sekandung atau saudara kekerabatan/persahabatan. Atau karena Pama’ terlibat dalam pemerintahan seorang jannang, maka ada kekuatan  yang mumpuni dari ayahnya Ma’dunda bin Serang. Begitu juga dengan kepemilikan bernama “Tamanga”, Sebagai tempat pammeccokang kopi (proses pengelupasan kulit ari). Juga tempat di mana dia bermukim awal. 

‎Semakin mengalir akrappung akrapang-rapang, hingga seorang cicit dari Kasau bin Pama’ bin Madunda, juga menjadi cucu menantu dari Kasia bin Pama’ bin Ma’dunda yang bernama Abu Bakar. Menyambungkan, atau melengkapi, agar lebih dapat konfirmasi dari informasi sebelumnya, menyampaikan, bahwa hingga kini masih ada kopi dengan varietas terlama di  Bantaeng dan tumbuh di Pa’bumbungan.

‎Terlepas dari asal nama Arabika ataupun Robusta. Bukan di sana perdebatannya, akan tetapi lebih pada filosofi sejarahnya bernama Kopi Bantaeng, dengan pohon kopi yang kokoh, menjulang  tinggi besar,  diperkirakan berusia ratusan/seribuan tahun. Ini juga butuh dilanjutkan observasi dan penelitian lebih mendalam.  Menurut peneliti kala itu, yang didampingi langsung oleh Abu Bakar.

‎Jadi jelas komoditi kopi pertama di Bantaeng ada di Pa’bumbungan dengan bukti artefak sebuah pabrik kopi, beberapa wilayah perkebunan kopi terhampar menjadi komoditi menghiasi proses hidup bersosialisasi dan survive. 

‎Bahkan taman atau pammeccokang kopi yang kesemuanya dikelola oleh keluarga rumpun Pa’bumbungan.

‎Para tetua juga menceritakan terkait emas-emas Pama’ yang ditanam di beberapa titik, sebelum era penyingkiran (menyingkir).

‎Sore merambat pelan, angin mendesau seakan memberi syarat pelan ke kaki bukit Pa’bumbungang, semakin terpencar dan terkuak perlahan, di mana selain kopi di Pa’bumbungan, setelah dipertanyakan kenapa dikatakan dusun Bonto Jonga?

‎Dengan populasi rusa atau jonga kala itu, menjadi perburuan dan makanan kesukaan leluhur/buyut kami.  Maka  wilayah tersebut lalu dinamakan  Bonto Jonga.

‎Sepertinya inilah yang menarik bagi Belanda, untuk berada di tanah leluhur kami.  Karena  ri Pa’bumbungang, bulaenga ni pakioro ji (di Pa’bumbungan, emas itu di hamburkan) Sumber: Kepala Desa Pa’bumbungang saat  penelusuran penyambung bannang silaturrahmi di tempat terpisah,  sebelum agenda rappung na akrapang rapang yang merupakan juga cicit dari Ma’dunda bin Serang.

‎Mungkin secara tersirat bahwa Pa’bumbungan kaya akan sumber daya alam, hanya saja tata pengolahannya butuh proses jauh lebih inovatif, menjaga kearifan para leluhur, bil khusus kopi,  di mana dulu cukup menarik minat niaga di zaman kolonial Belanda, bahkan sebelumnya.

‎Kepala Desa Pa’bumbungan yang juga bagian dari rumpun keluarga,  dari Jannang Borong  I Mape’ (menjabat 1946-2006 dengan usia 111 tahun) juga mengatakan,  di rumpun kita ini, selain makam-makam tua yang berundak (makam buyut buyut rumpun Pa’bumbungan), kaya dengan keindahan alamnya, tanah subur sebagai bagian dari setitik surga yang tersembunyi.

‎Petang bersemi di kaki Bukit Pa’bumbungang. Dingin mulai terasa, suasana batin di antara para tetua yang hadir, ada haru, bangga di matanya seakan menjadi penanda mengembalikan suasana masa kakek buyut, yang pernah mereka rasakan. Meski kali ini berbeda zaman, peradaban dan generasi.

Angreja nakuerok nikua, iareka akboya pusaka, hanya butuh suaka. Anre tongja naki erok lakbi caradde’. Mingka apaji pale, anre tongja najule punna kuboya assalakna boeku, apa pasang naparampe angjari papikatu ri erang tallasakna. Ini  kesepekatan kami saat sejak awal menyusuri, sebagai generasi yang bukan hanya tersuguhi ilusi dan halusinasi. Agar imajinasi kami, denga menggunakan nalar dan kadar logika secara sains. Bukan hanya disuguhi dan dipaksa meyakini hal  mistis.

‎Peninggalan-peninggalan sejarah seperti benteng peperangan yang masih tersisa hingga sekarang.

‎Diperkuat dengan pinang ibu dari pak desa yang juga berdarah M’adunda bin Serang, saat ditemui oleh Ummi Hasma sebelum agenda rappung na akrapang rapang bahwa makam yang ditumbuhi pohon besar merupakan makam dari Ma’dunda bin Serang.

‎Selain itu keluarga yang lain turut membahas terkait  alat penenun buyut-buyut kami yang terbuat dari kuningan.

‎Petang dengan dingin seakan menerjang, sebuah harapan dikemas dengar wicara para tetua yang dipandu Daeng Hasmawati (cucu dari Jumada bin Pama’). Dilengkapi catatan khusus sebagai notulen: Daeng  Marwati (cucu dari Jumada bin Pama bin Ma’dunda bin Serang). 

‎Kemuning harapan berpucuk pada hal yang tidak mudah dia tumbuh, meski terkadang mengalami secara psikis dan mental. Puspita, saya, dan Daeng Ahmad mencoba merancang sesuatu yang kami namakan “Akrappung Na Akrapang-Rapang” di kediaman om Rahman yang merelakan waktu dan rumahnya kami tempati untuk guyub bersama, bukan sekadar numpang dan nampang aktualisasi, semata, duduk bersama berbincang mendengar dan menampung segala cerita dari para tetua, dan ungkapan dari semua rumpun uang hadir.

‎Dengan penuh harapan,  dan mencari solusi untuk sebuah penyusuran selanjutnya  bahkan penulisan sejarah kakek buyut kami. Semua khidmat mendengar, dengan kehadiran perwakilan dari semua jalur keluarga rumpun Pa’bumbungan. Tidakkah itu lebih elok? Untuk jauh lebih menjawab tantangan sejarah ke depan. Agar generasi tidak lagi tersesat dan terjebak saat ditanya asal muasal mereka.

‎Tujuannya sederhana, agar sanak bisa terjejaki, saling mengenal, mulai dari sepupu satu kali, dua kali, kemanakan, om, yang dulunya berjarak hampir enam puluh tahun tak saling tegur sapa, bahkan ada pula yang baku bombe, lalu dengan akrappung akrapang-rapang yang sederhana ini, semua terhapus, luka, dendam, sirna menjadi kekuatan cinta, menyatu menjadi kekuatan.

‎Magrib merangkaikan alur waktu dan perjalanan sejak siang dan petang, saat pagi kita masih sibuk dengan urusan masing-masing. Kini kita telah berada di suasana tempat para leluhur menikmati aroma alam, bermukim dengan menjaga alam semesta Pa’bumbungang. Berharap ini bukanbhanya klise, tapi sebuah etalase dan oase dalam sebuah rapang-rapang (mimpi) kekeluargaan itu kembali utuh menyata, dan menyatu di dunia yang penuh dinamika serta konsekuensi.

‎Tanpa basa-basi. Bukan mencari sensasi, apatahlagi reinkarnasi. Namun, kami ingin sebuah narasi melengkapi literasi jejak leluhur yang sepertinya terisolasi. 


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *