Ada yang sedang bangkit di Bantaeng, tapi bukan ekonomi rakyat, bukan pula harga diri pejabat, melainkan amarah yang tak lagi bisa ditampung dalam spanduk, orasi, dan berita kampung. Kalau slogan Pemda hari ini “Bantaeng Bangkit”, maka sejujurnya: rakyatnya yang bangkit. Pemerintahnya? Masih sibuk selfie dengan mengandalkan upload di media sosial.
Mari kita buka satu per satu catatan kenaikan tensi sosial yang terjadi, sejak pemerintahan Bupati Fathul Fauzi Nurdin dan Wakilnya H. Sahabuddin mulai menjabat. Seperti anak sekolah yang habis libur panjang, rakyat datang ke halaman depan Kantor Bupati Bantaeng, tanggal 10 Juni 2025, untuk “mengecek PR” sang pemimpin dalam 100 hari pertama. Namun, alih-alih dapat jawaban, yang mereka dapat justru gaya komunikasi macam iklan mi instan: cepat saji, tapi kandungan gizinya nihil.
Para demonstran bukan warga kurang kerjaan. Mereka adalah mahasiswa dari HPMB-Raya, PMII, HMI, dan SEMMI, anak-anak muda yang dibesarkan dalam tradisi diskusi, bukan nyinyir di status WhatsApp. Tuntutannya sederhana:
• Program unggulan itu yang mana?
• Transparansi kerjanya di mana?
• Masyarakat sebagai agen kontrol, betulan dilibatkan atau cuma disebut pas pidato?
Namun, jawaban dari Pemda malah bikin bingung. Seolah-olah rakyat tidak perlu tahu karena “nanti juga akan merasakan dampaknya”, persis kayak rayuan dukun palsu.
Belum reda suara mahasiswa, ledakan amarah pindah ke sisi timur: Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). Pada 3 Juli 2025, buruh yang tergabung dalam SBIPE KIBA menggugat keras kebijakan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, yang seenaknya merumahkan 350 buruh sejak 1 Juni 2025, tanpa surat, tanpa dasar hukum, dan tentu saja tanpa gaji yang jelas. Perusahaan ini jelas bukan lagi sekadar tempat kerja, tapi telah menjelma jadi pabrik ketidakadilan dengan produksi utama: penderitaan kelas pekerja.
Buruh tidak tinggal diam. Mereka berarak ke gerbang utama kawasan industri. Mereka bukan hanya menuntut gaji, mereka menuntut martabat. Aksi ini bukan sekadar rebutan hak, tapi juga pengingat bahwa mereka bukan karyawan robot, tapi manusia hidup yang harus makan, bayar cicilan rumah, dan kadang juga untuk beli es pisang ijo.
Selanjutnya, pada 9 Juli 2025. Kali ini, SBIPE berkoalisi dengan FSPBI. Aksi mereka tak lagi sekadar berteriak di depan pabrik. Mereka langsung menuju Kantor DPRD Kabupaten Bantaeng, karena ternyata dewan yang terhormat itu selama ini lebih mirip penonton teater ketimbang wakil rakyat. Mereka hanya menatap, mencatat, lalu pulang rapat tanpa keputusan. Saat buruh meminta pembentukan Pansus, DPRD Bantaeng malah seperti sinyal HP di pelosok: hilang tanpa kabar.
Tuntutan buruh pada hari itu gamblang dan tak bisa ditawar:
• Tolak PHK sepihak!
• Kembalikan buruh yang dirumahkan!
• Terapkan UMP 2025!
• Bayar lembur sesuai aturan!
• Libatkan serikat buruh dalam semua perundingan!
Mereka bahkan menduduki kantor DPRD Bantaeng, bukan karena ingin foto-foto di dalam, tapi karena sudah terlalu lama suara mereka dipingpong, antara meja pejabat ke ruang tunggu.
Dan puncaknya, 14 sampai 16 Juli 2025, buruh tidak lagi menunggu surat balasan. Mereka memblokade pintu masuk PT Huadi, membuat aktivitas produksi lumpuh total. Bayangkan: perusahaan yang biasanya sibuk ekspor, kini justru ekspor malu ke seluruh penjuru negeri.
Inilah yang disebut rakyat sedang benar-benar bangkit. Bukan bangkit sambil ngopi di kafe, tapi bangkit dengan harga diri dan tekad: “Kalau hidup sudah tak adil, maka jalanan adalah ruang sidang terakhir.”
Nah, sementara rakyat sibuk memperjuangkan upah dan martabat, di sisi lain ada berita lucu-lucu menyedihkan: dugaan kasus korupsi yang menimpa salah satu camat di Bantaeng. Tapi sabar, untuk yang ini kita beri ruang sendiri di tulisan lain. Kita bahas lengkap dengan latar musik telenovela dan efek slow-motion.
Jadi, kalau pemerintah hari ini masih bersikukuh dengan jargon Bantaeng Bangkit, kami cuma ingin tahu:
Bangkitnya ke mana? Kalau rakyatnya marah, buruhnya demo, mahasiswa turun jalan, dan wakil rakyat jadi boneka etalase, yang bangkit itu siapa? Jangan-jangan yang bangkit hanya poster baliho dan nota perjalanan dinas.
Sudah saatnya pemerintah berhenti memoles slogan dan mulai merawat kepercayaan. Karena kalau tidak, rakyat akan terus bangkit, bukan untuk membangun bersama, tapi untuk menggugat bersama. Dan percayalah, kalau buruh dan mahasiswa sudah bersatu, maka meja kekuasaan bisa goyang, bahkan sebelum rapat paripurna dimulai.
Bantaeng Bangkit? Mungkin. Tapi sejauh ini, yang bangkit justru rasa muak.

Pemuda desa, yang bertani di bumi dan bermimpi menanam kebenaran di langit. Telah menjadi lelaki beranak satu, aktif bertani di kebun belakang rumah.
Leave a Reply to Anto salimink Cancel reply