Sebuah desa sebagaimana pemahaman suatu wilayah yang dijadikan tempat wisata, karena potensi daya tarik yang dimilikinya. Desa wisata menjadi suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung.
Desa wisata disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.
Sebuah objek wisata biasanya memenuhi semua unsur wisata yang memiliki potensi daya tarik, seperti wisata alam, wisata budaya, dan wisata hasil buatan manusia. Biasanya dibuat di satu kawasan tertentu, didukung oleh atraksi, akomodasi, dan fasilitas lainnya.
Nah, secara keseluruhan mengintegrasikan semua unsur tersebut di suatu desa, untuk mengangkat keunikan dan kearifan lokal setempat.
Tibalah kami di suatu tempat. Start menuju wisata alam tersebut. “Ambanimi dengan ambaniji“. Dua kata bagi mereka cukup dekat, sedang bagi kami itu jauh. Sembari mendekap hujan, pada musim yang cukup ekstrim kali ini.
Jarak tempuh mulai kota sekitar 15 km, kata seorang kerabat keluarga bernama Sabar. Kemudian terkonfirmasi lebih real oleh Pak Dusun, disapa Dudung. Katanya, dari kampung Sarrea menuju ke puncak wisata, sekitar 3 km.
Semakin penasaran, semangat empat lima menyala, gass total, meski dingin membuat kami kadang menggigil, tancap gas, di jalan berlubang mendaki yang sekian puluh tahun tidak diperbaiki, terlihat murung wajah petani, kebun sekilas harapannya dibuang.
Bagai terselip di celah zaman dan peradaban yang sarat akan story dan history bernama Pa’bumbungang. Yah, kata mereka saat agenda Akrapang-Rapang serumpun, pakbijang. Seakan kami menapak tilasi “jejak leluhur” yang hilang dari sejarah. Bantaeng, bumi bertuah. Tanah dan kultur yang memiliki potensi. Baik sejarah, budaya, dan politiknya. Meski di era setiap percakapan narasi politik, jauh lebih digandrungi, sementara potensi yang ada, seperti wisata alam yang bisa menjadi skala prioritas, jika dikelola dengan baik, telaten dan konsisten, maka akan berdampak lebih jauh pada tatanan sosial.
Bukan hanya menjadi pendebat dan sekadar kebanggaan semu merasa benar, tapi suka mangkir dan ngacir di tengah masalah. Budaya apalagi, bagai kehilangan ruh. Setiap saat hanya menjadi seru-seruan serta sekadar kedok saja.
Padahal budaya bisa menopang nilai perekonomian, cara mengemas dan menawarkannya dengan konsep yang matang, ide bukan hanya sekadar motivasi dan inovasi, tanpa mengawal, lalu terlantar begitu saja pada setiap episode politik dan sebuah periode kepemimpinan.
Saya kemudian menuangkan narasi bernama esai sederhana ini. Dengan judul menarik, saat awal cek lokasi di ujung Desa Pa’bumbungang, tetiba seorang Puspita nyeletuk bahwa ini bagai “setitik surga yang tersembunyi”.
Saya menyimak sambil menikmati aroma alam di desa wisata ini. Sambil mencari paragraf untuk melanjutkan judul yang cukup membantu dan membawaku berimajinasi.
Dusun Bonto Jonga, tepatnya di Desa Pa’bumbungang. Di ujung aspal, jalan yang mulai butuh perhatian. Pada akses jalan yang mengalami kerusakan parah, hingga menuju jalan berbatu, dihiasi ornamen dan aroma kabut, hanya sejarak pandang kekasih. Eh. Maksudnya teman sejalan menuju lokasi Desa Wisata.
Yah, desa yang menyimpan banyak sejarah masa di abad 18 hingga pada sebuah hamparan sabana, bukit dan hutan pinus, bagai berwasiat untuk tidak diabaikan, tanpa harus menjadi sengketa. Namun, menjadi presentase di setiap episode jejak leluhur menjaga alamnya yang bagai surga jatuh ke bumi, tepatnya Bonto Jonga, bersebelahan dengan sebuah dusun indah yang menawarkan sejuta harapan sebagai desa wisata yang patut untuk menjadi perhatian masyarakat, cucu, dan cicit para buyut Pama bin Ma’dunda Bin Serang. Bil khusus pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten.
Disuguhi hujan perjalanan kami, mendeteksi dingin dari suhu tubuh kami. Seketika kabut menyeka gabut dari kepalsuan manusia dan dunia, serta kebisingan kota yang mulai tak ramah.
Di serambi rumah penghuni dusun, senyum ramah, cakrawala kehidupan dengan aroma kopi khas Pa’bumbungang yang temurun, sarat sejarah dan filosofi hidup para leluhur. Seakan menjemput dengan suguhan sabana, yang asri, hutan lindung dengan dihiasi pohon pinus terjejer rapi.
Kami tiba di pintu gerbang bernama Babangeng. Area kawasan yang mengajak saya bertamasya menapaki jejak rusa, bahkan konon di sini pernah terlihat hewan endemik bernama Anoa.
Hujan reda, kabut menutupi hingga di kaki gunung Bakung-Bakung. Tibalah kami di ujung sebuah tapal yang menyimpan rindu tebal. Ingin selalu berkunjung. Sejak semalam dingin merayap, selimut hangat sembari menyelami sunyi. Imajinasi terbawa seberapa jauh malam itu. Hening, kali pertama bermalam di tanah leluhur.
Setelah berkunjung ke rumah sanak serumpun dalam sebuah hajatan. Hiasan sejarah dan peradaban yang samar, mulai perlahan kami menemukan konklusi yang bukan hanya halusinasi, tetapi ada narasi yang dilengkapi sebuah periode di sebuah titimasa.
Akrappung akrapang-rapang. Para tetua hadir melengkapi rindu pada leluhur, wajah bersahaja, masih tersimpan sejarah. Menukil satu peristiwa dari para tetua “accidong landang, surang akrappung akrapang-rapang” melengkapi sisi lain pada titik pencarian. Hingga sampai pada seputik surga yang tersembunyi, di sebuah dusun bernama Sapadillah, Desa Pa’bumbungang, Kec. Eremerasa Kab. Bantaeng.
Sepagi buta kabut merambati bukit, hingga ke rumah-rumah, seakan mendekap erat memburai musim, tahun bertepatan pada bulan Muharram, kebersamaan itu kembali menyemai di sebuah rumah keluarga Om Rahman, yang berkenan menjadikan rumahnya sebagai pusat pertemuan, berbincang dan menyemai rindu sesama keluarga yang berjarak jauh selama ini. Bagai menyulam kembali suasana masa Kakek buyut berharap bisa “assiama‘” menyatu.
Hingga pada titipan semesta alam pada hamparan kebun kol, kentang, dan ubi jalar. Seraya berharap pada setitik surga itulah menjadi sabana jiwa bagi kami.
Sapadilla, Bonto Jonga, Babangeng, hingga nama bebukitan bernama Bakung-Bakung. Melewati makam buyut hingga bernama Tamanga tempat awal bernama Pama’ Bin Ma’dunda bermukim awal.
Jalan terjal, kerikil dan licin. Area kebun cengkeh serta, kopi dan cokelat menambat sebuah anugerah dalam sebuah komoditi pilihan untuk bertahan hidup. Setitik Surga tersembunyi di tanah leluhur. Tidak juga berlebihan mengeksplor dan mem-branding-nya.
Bukan hanya setitik alamnya yang asri. Akan tetapi, sesungguhnya yang dimaksud wisata alam itulah sesungguhnya. Dibentuk secara alamiah oleh alam. Tanpa rekayasa buatan sebagaimana wisata lain dibuat.
Seribu dua ratus mdpl terdeteksi cukup tinggi dari permukaan laut. Ujung aspal menawarkan kami memilih turun dari kendaraan dengan berjalan sekitar satu atau dua km lebih. Lebat daun dan tubuh pohon yang kokoh menjanjikan fantasi alam tersendiri. Wangi buah dan bunga kopi Pa’bumbungang seakan hendak menyeduhkan serta menyeruput di atas puncak.
Gigil yang mulai meringsut, perlahan terobati seketika berjalan menuju sebuah tebing. Tampak sepuas mata dan batas pandang dari jauh, disuguhi pemandangan kota Bantaeng. Serta sebuah huma di atas bukit, sembari menyaksikan para petani ladang memandu kehidupan lebih teduh.
Esok panen tiba, harapan terhampar untuk anak cucu. Wisata yang menawarkan sejuta harapan. Menyertakan keindahan yang alami, tanpa harus merekayasa sebuah wisata itu sendiri.
Desau anginnya, rimbun pinusnya dari kejauhan, puncaknya dengan rerumputan serta ilalang, menjawab identitas sebuah desa bernama Pa’bumbungang. Terhadap titipan alam semesta ini, kudu dirawat dengan luhur, selain jejak leluhur, menjadi harapan kita bersama untuk menempatkan diri sebagai pewaris keasrian, kesejukan, minimal dengan setitik surga yang tersembunyi ini.
”Teako parearei surang pare’ bawang-bawangngi iya lekbaka napakkusiang surang rikaniakkangna pakrasangang kabuyu-buyu silangpang-langpangpanga, parakai, katutui iya Nika bapkjari patanna kuasa. “
Setitik surga yang tersembunyi, menaruh harapan untuk generasi, di setiap desau angin, tatapan senja para tetua penuh cemas. Akankah semua ini tersisa kenangan dari sejarah nun jauh dan cerita buyut mereka pula tentang hamparan ladang, pokok kayu kopi Pa’bumbungang tersisa kenangan?
Sebuah ungkapan menguatkan, dan mengikat nilai kearifan bahwa: “Kelopak akan tanggal, sebab ada pucuk lain akan kuncup melanjutkan peradaban yang hilang dari sejarah para pemenangnya.”
Sumber gambar: koleksi pribadi

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply