Langkah Kecil Nana, Pelajaran Besar untuk Ayahnya

Di hari pertama sekolah kemarin, saya cuma dapat kiriman foto. Wajah Nana tersenyum malu-malu, diapit ibunya. Ransel baru menggantung di punggungnya seperti sayap kecil yang siap mengepak. Kakaknya yang sulung menjemput di siang hari, dengan bangga dan sedikit gaya.

Saya? Absen. Bukan karena tak peduli, bukan pula sibuk luar biasa. Hanya saja, kadang peran ayah tak selalu hadir utuh. Ada kalanya kita kebagian peran yang cuma separuh. Separuh hadir, separuh menyimak dari jauh. Dan tetap saja, ada rasa janggal yang tak bisa disangkal. Mungkin karena pada dasarnya, setiap ayah ingin menyaksikan langkah pertama anaknya di panggung dunia, walau hanya dari pinggir pentas.

Tapi begitulah hidup. Tak semua momen bisa kita rebut. Dan tak semua kehilangan mesti dilawan. Maka saya simpan keganjilan itu baik-baik, seperti menyelipkan surat tak terkirim ke dalam buku harian. Sambil menunggu hari lain yang memberi saya ruang untuk menjadi bagian utuh dari cerita Nana.

Begini.
Di hari kedua sekolah, Nana bersikeras: “Hari ini, Ayah yang antar.” Katanya pelan, nyaris tanpa nada. Tak ada marah, tak ada air mata, hanya kalimat pendek yang terdengar seperti titah raja kecil. Ia menyampaikannya seperti menyodorkan cek kosong: silakan Ayah isi dengan kehadiran yang kemarin tertinggal. Saya tak sanggup menolak. Maka saya buru-buru menghabiskan kopi yang masih mengepul. Mengirim sebaris pesan di grup whatsapp kantor: izin, telat masuk kantor. menemani anak di sekolah baru.

Di atas motor, berkali-kali saya menatap kepala Nana. Pagi ini langkahnya lebih tegap, dan wajahnya penuh percaya diri. Seolah ia tahu, hari ini bukan hanya tentang sekolah. Ini tentang bagaimana seorang anak mengajari ayahnya menjadi hadir, sekali lagi. Dan betapa sederhana permintaannya: cukup sampai di gerbang.

Lalu, apa yang saya pelajari di hari kedua?

Pertama, saya belajar tentang kekuatan instruksional guru. Pagi-pagi benar, bahkan sebelum saya selesai di meja makan, Nana sudah mengingatkan: “Ayah cuma sampai gerbang, ya.”  Bukan permintaan, tapi pernyataan resmi sebelum naik ke motor. Suaranya tenang, tak butuh alasan. Saya mengangguk, meski belum tahu kelasnya ada di mana. Katanya di lantai satu, dekat kantor, tapi saya belum pernah melihatnya. “Ayah tak perlu ikut masuk, yah,” katanya. “Nanti saya bisa sendiri.” Dan saya, seperti banyak ayah lain yang anaknya mulai berani jalan sendiri, hanya bisa mengiyakan sambil menelan pelan rasa haru yang muncul tanpa aba-aba.

Saya patuh. Bukan karena tak ingin ikut, tapi karena saya belajar, percaya adalah bentuk paling halus dari kasih sayang. Lalu saat kami tiba di gerbang, seorang guru menyambut dengan senyum penuh empati. Ia jongkok, menyesuaikan tinggi badannya agar sejajar dengan anak-anak. Tidak ada kata-kata yang meledak-ledak, tak ada nada otoriter. Hanya sapa lembut dan gestur tubuh yang hangat. Saya melihat Nana berhenti sejenak, menoleh ke saya, lalu melangkah pasti, mengulurkan tangan kecilnya pada guru itu. Saya langsung tahu, dia berada di tangan yang tepat. Seketika hati saya tenang. Bahkan nyaris berterima kasih tanpa suara.

Barangkali inilah mengapa anak-anak lebih patuh kepada guru. Bukan karena takut, tapi karena percaya. Karena di balik setiap instruksi, mereka menangkap ketulusan. Dan dari kepercayaan itulah, instruksi menjadi bermakna. Menjadi penanda bahwa guru bukan sekadar pemberi tugas, tapi penjaga irama belajar. Maka jangan heran jika nama-nama guru akan tinggal lama di kepala anak-anak, lebih lama dari rumus matematika atau jenis-jenis simbiosis. Karena yang diingat bukan hanya pelajaran, tapi cara mereka hadir, cara mereka menyapa, cara mereka menemani langkah pertama di hari-hari baru.

Hari ini, dari jarak satu gerbang, saya melihat itu cara guru Nana menyambut tanpa banyak basa-basi. Guru yang hadir bukan hanya untuk mengajar, tapi untuk membuat anak-anak merasa aman. Guru yang hadir bukan hanya untuk menyampaikan materi, tapi untuk membuat anak-anak percaya bahwa dunia bisa dimulai dengan senyuman. Dan itu cukup.

Kedua, saya belajar tentang semangat dan antusias murid. Subuh-subuh, sebelum alarm rumah sempat berteriak, Nana sudah bangun lebih dulu. Tanpa dibangunkan, tanpa bujukan. Ia mandi sendiri, memilih baju seragamnya sendiri, menyusun alat tulisnya sendiri. Masih ada drama, tentu saja. Tapi nadanya sudah lain. Tak lagi butuh suara ibunya yang naik dua oktaf. Tak ada lagi rengekan panjang soal air yang dingin atau pasta gigi yang terlalu pedas. Seolah-olah, hari ini ia sedang dalam misi penting dan tak ingin terlambat sedetik pun. Saya tahu benar: antusias seperti itu tidak bisa dibeli. Tidak bisa dipaksa. Ia tumbuh dari pengalaman yang menyenangkan, dari sambutan yang hangat, dari ruang kelas yang terasa seperti rumah kedua.

Saya percaya, semangat anak-anak bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Ia lahir dari pertemuan yang menyenangkan kemarin, dari rasa nyaman yang muncul tanpa diminta. Guru yang menyapa dengan senyum tulus, kelas yang menerima tanpa prasangka, teman-teman baru yang membuka ruang untuk saling mengenal. Maka saat diajak sarapan sebelum berangkat, Nana menjawab pelan, “dua suap saja saja, Yah. Aku takut telat masuk kelas Pak Muslimin.” Kalimat itu menghentikan saya sejenak. Ada kesungguhan di sana. Saya ingin memotret wajahnya saat itu dan menyimpannya dalam dompet, agar bisa saya buka lagi jika suatu hari ia kehilangan semangat yang sama.

Ada sesuatu yang berubah dari matanya. Seperti ada nyala kecil yang tak ingin padam. Ia seperti punya agenda sendiri, rencana-rencana kecil yang tidak butuh persetujuan orang tuanya. Menurutku, semangat itu, api kecil itu, jika disambut dan dipelihara dengan baik oleh sekolah, akan menjadi cahaya yang tak mudah padam. Dan saya pikir, di sinilah peran sekolah dimulai: bukan sekadar mengisi kepala, tapi juga menjaga nyala.

Ketiga, saya belajar bahwa sekolah adalah ruang cerita yang tak pernah habis. Sepulang sekolah, cerita Nana mengalir seperti sungai kecil yang jernih dan riang. Menggulung segala hal yang baru ia temui hari itu: tentang guru laki-laki pertamanya yang katanya lucu dan tidak banyak marah. Tentang makanan bergizi yang dibagikan di jam istirahat. Tentang bangkunya yang ada di samping, bukan di belakang. Tentang teman-teman baru yang namanya belum ia hafal semua, tapi sudah mulai saling sapa dan saling tanya. Cerita itu datang deras, sepotong demi sepotong, dengan urutan yang tak selalu logis, tapi selalu tulus. Kadang seperti lagu pop yang ceria, kadang meledak seperti rap, kadang berubah mellow seperti balada lawas. Tapi selalu ada energi yang hidup di dalamnya.

Yang saya sadari kemudian, cerita Nana bukan sekadar laporan. Ia sedang menyusun ingatannya sendiri. Merangkai pengalaman menjadi kenangan yang kelak akan dia simpan di dalam kotak kecil bernama masa kecil. Maka ketika anak-anak bercerita, sebenarnya mereka sedang mengatur ulang cara mereka memandang dunia. Dan kita para ayah yang perlu duduk mendengarkan dengan secangkir teh sore di tangan, mendapatkan kehormatan menjadi saksi lahirnya cara berpikir baru dalam diri mereka. Jika itu didengarkan dengan benar, kalau kita tak memotong, tak menyela, maka cerita itu bisa tumbuh menjadi kepercayaan diri yang tidak bisa dibeli di toko buku mana pun.

Mendengarkan anak bercerita, ternyata bukan pekerjaan sepele. Ia tak butuh jawaban, tapi kehadiran. Tak butuh solusi, tapi sambutan. Dan betapa banyak hal di dunia ini yang bisa ditunda, tapi antusiasme anak yang ingin bercerita bukan salah satunya. Maka jika satu hari nanti Nana bercerita dengan semangat yang berbeda, mungkin agak murung atau bahkan kehilangan kata, saya ingin percaya: semua cerita ada fasenya. Tapi tugas saya tetap sama, menjadi pendengar yang baik, dengan telinga yang tidak menghakimi, dan hati yang tidak buru-buru membalas.

Keempat, saya belajar tentang adaptasi. Meskipun Nana melarang saya ikut masuk ke halaman sekolah, pandangan saya tetap menempelnya dari balik pagar. Saya menonton langkah-langkah kecilnya menyusuri halaman sekolah. Tidak ragu, tidak tergesa. Seolah-olah sekolah ini sudah ia hafal betul, padahal baru kemarin ia datang pertama kali. Beberapa meter setelah gerbang, seorang anak menghampirinya. Mereka tertawa pelan, bercakap sebentar, lalu berjalan berdampingan menuju kelas. Saya hanya bisa tersenyum dari kejauhan. Rasanya seperti menonton adegan manis dalam film yang tak pernah saya perankan, tapi tetap saya banggakan.

Padahal malam sebelumnya, Nana sempat berbisik sebelum tidur, “Yah, aku takut nggak punya bestie kayak Rere dan Vero.” Kalimat yang muncul lirih tapi cukup membuat saya berpikir lama. Ternyata, kekhawatirannya itu tidak bertahan lama. Anak-anak memang punya cara yang tidak bisa dijelaskan dengan teori komunikasi orang dewasa. Mereka tak butuh basa-basi panjang. Cukup tawa, cukup duduk bersebelahan, lalu dunia baru pun dibuka. Koneksi bisa terjadi dalam waktu yang lebih cepat dari membuka kotak bekal. Dan saya, dengan segala kompleksitas sebagai orang tua, hanya bisa mengagumi keistimewaan itu, kemampuan untuk merasa cocok tanpa banyak syarat, yang sejujurnya makin langka di usia seperti saya.

Saya pun membatin, mungkin memang itulah makna sekolah yang kerap terlewat. Bahwa sekolah bukan hanya urusan bangunan dan kurikulum. Tapi tentang suasana yang membuat anak-anak merasa cukup. Lingkungan yang membuat mereka merasa diterima, tanpa harus menjadi versi lain dari dirinya sendiri. Tempat di mana ketakutan dan harapan bisa ditampung dengan wajar. Guru yang hadir bukan hanya untuk mengajarkan angka dan huruf, tapi juga untuk menjadi ruang aman yang bisa mereka datangi, meski hanya dengan pelan-pelan. Dan jika itu ada, maka adaptasi bukan lagi hal yang sulit. Ia akan tumbuh, pelan-pelan, seperti langkah kaki anak kita yang berjalan tenang menuju kelasnya sendiri.

Menurutku, empat hal itu yakni kepercayaan, semangat, cerita, dan adaptasi adalah potensi. Saya percaya, semua anak memilikinya. Tapi seperti benih, potensi itu perlu tanah yang baik, cahaya yang cukup, air yang mengalir. Bisa tumbuh tinggi, tapi juga bisa layu bila tak dijaga.

Maka hari kedua ini bukan sekadar lanjutan dari hari pertama. Sebentuk konfirmasi: bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar membaca dan berhitung, tapi juga tempat anak-anak kita merasa aman, diterima, dan bertumbuh.

Selamat pagi. Semoga catatan ini bermanfaat. Bukan sebagai petuah. Hanya sebagai pengingat, bahwa dari gerbang sekolah pun, banyak yang bisa kita pelajari.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *