Hari Pertama Sekolah: Di Balik Tas Baru, Ada Anak yang Ingin Dipahami

Bagi saya, hari pertama sekolah bukan sekadar rutinitas tahunan. Bukan cuma perkara presensi, perkenalan wali kelas, atau pembagian jadwal pelajaran. Lebih dari itu. Hari pertama sekolah adalah peristiwa kecil yang menyimpan gema besar.

Di hari itu, sesuatu yang belum terlihat mulai tumbuh: keberanian, rasa ingin tahu, harapan yang pelan-pelan mekar seperti bunga liar di musim hujan yang tumbuh di halaman belakang rumah.

Bukan pula soal barisan yang rapi atau upacara bendera pertama. Tapi karena di hari itu, ada harapan yang mengambang di mata anak-anak, yang kadang tak bisa mereka ucapkan, hanya bisa kita tangkap dari sorot matanya yang bersinar, dari langkah kakinya yang sedikit lebih ringan dari biasanya. Ada antusias yang tak bisa ditahan. Ada rasa penasaran yang meletup-letup seperti kembang api di malam tahun baru, membuat pagi terasa seperti perayaan yang ditunggu-tunggu sejak lama.

Begini ceritanya.
Jauh sebelum lonceng sekolah berbunyi pagi ini, Nana, putri bungsuku, sudah mencicil semangatnya, diam-diam tapi sungguh-sungguh. Ia mulai dari hal-hal kecil yang baginya besar: mencoba seragam barunya berkali-kali di depan cermin, memastikan dasinya tidak miring, mengancingkan kemejanya sampai ke kerah meski gerah. Memastikan dasi dan rompinya terpasang rapi. Sepatunya disusun di dekat pintu seminggu sebelumnya, seperti pasukan yang sedang antre menunggu giliran berangkat perang. Tasnya dibuka dan ditutup entah berapa kali, sekadar memeriksa pensil warna, rautan, penghapus, dan penggaris dan kotak serba ada. Setiap kali selesai, dia akan tersenyum, seolah memastikan bahwa ia sudah cukup siap untuk petualangan baru bernama Sekolah Dasar.

Semua dilakukan dengan riang, tanpa keluhan, tanpa perlu disuruh. Atas nama sekolah. Atas nama keingintahuan. Atas nama harapan kecil dalam hati anak-anak yang, kadang, jauh lebih besar dari apa yang kita duga.

Ia rajin bertanya kepada kedua kakaknya, seolah mereka adalah narasumber paling kredibel tentang kehidupan pasca-TK. “Sekolah SD itu kayak apa, sih?” tanyanya berulang-ulang, bahkan ketika jawabannya tak banyak berubah. Tapi begitulah anak-anak: bertanya bukan semata untuk tahu, tapi untuk merasa aman. Setiap jawaban kakaknya ia dengarkan dengan penuh perhatian, dengan wajah serius yang kadang menggelitik kami yang menyimak dari jauh. Ia seperti hendak berangkat dalam ekspedisi penting, lengkap dengan peta, kompas, dan harapan yang dikemas rapi di ranselnya.

Belum juga duduk di kelas, imajinasi Nana sudah berkelana jauh. Tentang kelas menari, tentang guru baru yang konon tegas tapi baik, tentang teman-teman baru yang akan menertawakan leluconnya, atau mendengarkan kisah anak ayam peliharaannya yang dia mandikan sampai menggigil. Kemudian menghilang. Setiap bayangan itu dibumbui dengan kenangan manis tentang Bu Guru Ajo, guru tari kesayangannya di TK. Sosok yang menurut Nana, memberinya keberanian tampil menari di hadapan ibu Bupati, Ibu Kapolres dan Ibunya sendiri. Ia berharap, ada guru lain yang bisa melakukan hal serupa di sekolah barunya, membaca tanpa dihakimi, mengerti tanpa banyak bertanya.

Tapi seperti cuaca yang tak selalu cerah, di tengah semangat yang bergemuruh, terselip juga awan kekhawatiran. Suatu malam, Nana memeluk saya dan bertanya pelan, “Ayah, kalau di sekolah baru, aku bakal di-bully nggak?” Pertanyaannya seperti angin yang berhenti tiba-tiba. Sunyi. Saya menatap matanya, berusaha mencari apa yang sebenarnya ia ingin dengar. Rasa cemasnya bukan sekadar kekhawatiran bocah kelas satu SD, tapi seperti ada sisa cerita yang belum ia tuturkan. Namun saya tahu, pertanyaan itu lahir dari kesadaran yang dibentuk sejak di TK. Di sekolah sebelumnya, anti perundungan bukan cuma selebaran di papan mading. Itu dibicarakan, dipahami, dan ditumbuhkan sebagai sikap. Maka saya tahu, pertanyaan itu bukan karena ia takut semata, tapi karena ia tahu hal-hal seperti itu memang bisa terjadi. Ia hanya sedang mencari jaminan bahwa ia akan baik-baik saja.

Beberapa hari menjelang hari sekolah, Nana seperti panitia kecil yang bertugas memastikan semua sesuai rencana. Alat gambarnya disusun di meja kerja di ruang tengah, kertas-kertasnya dipastikan tidak terlipat, pensil warnanya diasah satu-satu dengan penuh perhatian. Baginya, menggambar adalah cara paling jujur untuk menjelaskan isi kepala. Maka ia ingin siap. Apa pun yang nanti terjadi di sekolah, setidaknya ia tahu bahwa dirinya bisa mengekspresikannya dengan warna.

Rentetan pertanyaan tak berhenti sampai di situ. Dua kakaknya kembali jadi sasaran. “Kak, waktu kelas satu, punya bestie tidak?” tanyanya sambil duduk selonjoran di sofa. Sebab di TK, Nana punya Rere dan Vero. Dua sahabat yang kini bersekolah di tempat berbeda. Ia tampak kehilangan, tapi tidak menangis. Hanya menggumam pelan, “Sedih rasanya, Ayah.” Lalu menatap langit-langit kamar. “Apa aku bisa punya teman seperti mereka lagi?”

Saya tidak buru-buru menjawab. Karena tidak semua pertanyaan anak butuh jawaban hari itu juga. Kadang cukup dengan pelukan. Kadang cukup dengan duduk di sebelahnya, diam-diam menyimak gelisahnya. Harapan Nana bukan harapan yang besar, tapi ia jujur dan rapuh. Maka saya hanya ingin meyakinkannya bahwa ia tidak sendiri. Di sekolah nanti, akan ada ruang kelas. Akan ada guru-guru. Akan ada sahabat-sahabat baru yang entah siapa. Akan ada tangan yang menggandeng dan suara yang menyambut.

Saya hanya berharap, tempat yang ia datangi setiap pagi itu bisa menjadi tempat yang menjaga harapan kecilnya tetap utuh: rasa ingin tahunya, hobinya bercerita, dan kepercayaannya bahwa sekolah adalah tempat yang aman untuk tumbuh.

Maka bagi kami, hari pertama sekolah adalah hari yang penting. Ia bukan sekadar permulaan tahun ajaran, tapi momen krusial di mana benih-benih karakter mulai tumbuh dalam tanah baru. Di hari pertama, yang tampak hanyalah raut wajah ceria, seragam baru, dan tas yang masih kaku. Tapi di balik itu, ada potensi yang sudah mulai menyala, menunggu disentuh oleh ketulusan. Ada rasa percaya yang belum utuh, tapi siap disambut. Maka yang telah terlihat, perlu dirawat. Dan yang masih tersembunyi, perlu dijemput dengan sabar, dengan cara yang sederhana tapi sungguh-sungguh.

Bapak-Ibu guru yang baik.
Hari ini, Nana dan teman-temannya datang bukan hanya membawa buku pelajaran dan bekal makan siang. Mereka datang membawa dunia kecil di dalam kepala dan hati mereka. Dunia yang penuh warna, penuh tanya, dan penuh keyakinan bahwa sekolah adalah tempat yang aman untuk menjadi diri sendiri. Mereka belum pandai menjelaskan itu semua, bahkan mungkin tak tahu kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya. Tapi mereka datang, dan itu sudah luar biasa.

Maka izinkan kami menitipkan Nana, juga anak-anak lainnya, di tangan Anda. Tangan yang kami yakin, penuh kesabaran, penuh pengalaman, dan masih menyisakan ruang untuk belajar kembali, meski sudah lama mengajar. Tak perlu selalu sempurna, tak perlu selalu tahu segalanya. Karena kadang, bagi anak-anak, yang paling mereka ingat bukan seberapa banyak pengetahuan yang diberikan, tapi seberapa aman mereka merasa saat belajar.

Jika boleh kami berharap, semoga semangat Nana dan teman-temannya tak pernah dianggap biasa. Rasa ingin tahu mereka yang melimpah ruah, pertanyaan mereka yang belum rapi, tawa yang kadang meledak di waktu yang salah, bahkan diam mereka yang tampak tanpa arti. Semoga semuanya dilihat sebagai bagian dari tumbuh. Sebab dari sanalah pembelajaran yang sesungguhnya dimulai. Bukan dari hafalan, tapi dari hubungan.

Terima kasih telah menyambut mereka pagi ini. Terima kasih telah menjadi bagian dari cerita pertama yang semoga mereka kenang sampai tua nanti. Semoga berkenan. Semoga berkah.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *