Belakangan ini kabar buruk berembus dari Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). Kabar ini hampir sama dengan buruknya kualitas udara di kawasan tersebut, lantaran asap yang dihasilkan oleh beberapa tungku smelter nikel di kawasan tersebut.
KIBA merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, di mana pada saat itu Menteri Perindustrian atas perintah Presiden Jokowi diperintahkan untuk membangun kawasan industri di luar pulau Jawa, salah satunya bertempat di Bantaeng.
Namun, pada tulisan kali ini yang menjadi sorotan utama penulis adalah demonstrasi yang dilakukan oleh buruh yang dirumahkan oleh dua perusahaan yang ada di KIBA. Lebih tepatnya, PT Yatai dan PT Wuzhou. Setidaknya, terdapat 350 orang buruh dari PT. Wuzhou, telah dirumahkan oleh pihak perusaan per 1 Juli 2025. Selanjutnya tersiar kabar, bahwa PT. Yatai juga akan merumahkan setidaknya 600 orang buruhnya, setelah bahan baku habis.
Dilansir oleh beberapa media seperti Dialektika massa.com dan Radarselatan.co.id bahwa terdapat kurang lebih 150 massa-demonstran hadir pada saat itu. Dari beberapa foto yang tersiar, tampak amarah, rasa kecewa dari para demonstran, mengharap kebijakan yang bijaksana dari pihak perusahaan. Dan, tentu saja, pihak pemerintah yang juga memiliki tanggung jawab, atas tersedianya lapangan kerja di Kabupaten Bantaeng.
Dari fenomena di atas, penulis coba untuk mengulik demonstrasi buruh tersebut dan hubungannya dengan konsep Dialektika ala Karl Heindrich Marx yang diinspirasi oleh Dialektika Idea dari George Wilhelm Friedrich Hegel.
Kita akan menguliknya pelan-pelan dan jauh-jauh menyelami pemikiran orang Jerman, untuk melihat bagaimana hal tersebut bisa terjadi, tak usah buru-buru. Bukankah kata Jauzli Imam, “Dalam ketergesah-gesahan, banyak hal–hal indah yang terlewatkan.”
Hegel dan Marx adaah filsuf jerman yang banyak memberikan pengaruh pemikiran pada abad 19. Pemikiran kedua tokoh ini sengaja saya angkat dalam tulisan ini, lantaran keduanya memiliki hubungan intelektual yang sangat dekat. Namun, memiliki perbedaan khususnya mengenai konsep dialektika yang mereka anggap sebagai dasar perjalanan sejarah manusia.
Dalam konteks filosofis, dialektika merupakan metode yang digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami kontrdiksi atau pertentangan dalam konsep atau ide. Hegel menganggap dialektika sebagai metode spekulatif atau proses yang logis. Dengan skema abstrak negatif-kongkrit. Dalam pandangan ini, Hegel mengungkapkan, bahwa setiap tesis memiliki kelemahan, sehingga terlalu abstrak, sehingga harus mengalami penolakan atau kegagalan. Hal ini yang disebut proses negatif (antitesis), melalui tahap ini akan tercapai pemahaman lengkap yang kongkrit atau dapat disebut sebagai sintesis.
Pahaman Hegel soal Dialektika inilah, dianggap oleh Marx terlalu terjebak pada tataran kontradiksi ideolgis saja. Marx memandang bahwa konsep Dialektika ini, harus diarahkan pada realitas material manusia yang lebih substantif.
Konsep Dialektika Marx ini terlihat dalam pandangannya mengenai materialisme sejarah, bahwa sebagian besar kehidupan manusia dibentuk oleh struktur ekonomi (basic structure). Menurut Marx, masyarakat akan tiba pada suatu titik perubahan struktur ekonomi yang dipicu oleh kontradiksi antar kelas sosial.
Meskipun terdapat perbedaan signifikan dalam memandang konsep dialektika, Marx dan Hegel sama-sama sepakat bahwa antitesis berpotensi muncul dari tesis itu sendiri. Mungkin akan muncul pertanyaan, “Bagaimana mungkin sesuatu melahirkan sesuatu lain yang justru menjadi lawan dari sesuatu itu sendiri?” Yah seperti yang diungkapkan Hegel sebelumnya, bahwa penolakan atau kegagalan akan lahir karena adanya kelemahan atau kekurangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa antitesis merupakan sesuatu yang lahir dari tesis itu sendiri.
Demonstrasi yang dilakukan oleh para buruh KIBA yang dirumahkan adalah potret konsep Dialektika yang dimaksud oleh Marx. Secara sederhana, kita dapat membayangkan KIBA sebagai suatu tesis, lewat kebijakannya yang kurang bijaksana, karena merumahkan beberapa buruh secara sepihak, dan aksi demonstrasi para buruh tersebut sebagai antitesis. Lalu seperti apa sintesis dari demonstrasi ini?
Saya yakin hingga detik ini saudara-saudari kita yang dirumahkan, masih menunggu sintesis yang bijaksana, baik dari pihak perusahaan maupun dari pihak pemerintah. Sebagaimana janji-janji politik yang akan menjamin ketersediaan lapangan kerja, agar kondisi tidak jadi terbalik, seperti Marx yang membalikkan konsep dialektika Hegel.
Kredit gambar: Fajar

Ketua Bidang Politik dan Demokrasi Badko HMI Sulsel
Leave a Reply