Memasuki commuter line trayek Haneda ke pusat Kota Tokyo, benak saya membayangkan padatnya lalu lintas kota besar itu. Ternyata tidak! Jalanan lengang. Pameran mobil mewah di negeri jalan raya tak terlihat seperti di Jakarta.
Padahal, negeri ini adalah produsen kendaraan bermotor ternama di dunia. Siapa yang tak mengenal Toyota, Honda, Yamaha, Suzuki, dan merk ternama lainnya? Bahkan, di daerah tertentu semua kendaraan bermotor roda dua dinamakan honda; tergantung nanti akan disebut honda Yamaha, Honda Suzuki, atau lainnya.
Areal parkir kompleks apartemen tempat saya menginap juga tak disesaki dengan kendaraan yang berhimpit satu sama lain. Longgar saja dan memudahkan pengendara menggerakkan kendaraannya. Jumlah kendaraan bermotor mencapai 5 juta unit di Tokyo (2024) yang dimiliki oleh 7,5 juta rumah tangga (Tokyo Metropolitan Government, 2023). Luas wilayah Tokyo adalah 2.194 km persegi. Jakarta memiliki luas 6.400 km persegi dengan 12,5 juta rumah tangga, memiliki 19 juta unit sepeda motor dan 4 juta unit mobil, atau 23 juta kendaraan bermotor. Tampaknya bajaj sudah termasuk. Kendaraan inilah yang mengisi cerita kemacetan dalam konektivitas ruang di semua kota. Pengelolaannyalah yang perlu didesain dan ditata secara tepat.
Sebagai warga Indonesia, seringkali saya merasa kemacetan adalah takdir yang mesti diterima, sebuah “keniscayaan” yang menakutkan sekaligus menjemukan. Jalan raya kita sering menjadi ruang tersandera — di mana kendaraan tak bergerak, orang terkurung, dan waktu terbuang tanpa belas kasihan. Di sinilah rasa kagum saya mekar ketika menyaksikan bagaimana Jepang menata konektivitas dan aksesibilitas publik. Jepang memperlihatkan betapa ruang bisa mengalir, bagaimana manusia dihargai haknya untuk bergerak, dan bagaimana teknologi serta kebijakan bisa bersinergi agar transportasi menjadi hak bersama, bukan sekadar arena kompetisi liar.
Jepang tidak hanya membangun infrastruktur fisik — jaringan kereta berkecepatan tinggi, subway presisi, hingga jalur pedestrian dan jalur sepeda — tetapi juga merawat budaya disiplin dan rasa saling menghormati di jalan. Budaya antri, ketepatan waktu, serta semangat kolektif dalam menghargai ruang bersama menciptakan ekosistem transportasi yang efisien. Ini bukan sekadar hasil teknologi maju, melainkan ekspresi nilai-nilai sosial yang sudah berurat-berakar, seperti prinsip wa (harmoni) yang menuntun masyarakat Jepang untuk mendahulukan keteraturan di atas kepentingan pribadi.
Jika meniliknya melalui kaca mata para pemikir sosial, Karl Marx misalnya, kita menemukan inspirasi dari gagasannya tentang pentingnya menghapus alienasi manusia akibat keterasingan di ruang produksi — dapat kita analogikan dalam konteks modern sebagai keterasingan di ruang transportasi publik. Ketika jalan raya macet parah, manusia kehilangan kebebasan bergerak dan menjadi “terasing” di tengah lalu lintas yang beku.
Jepang justru berhasil memutus rantai alienasi itu: konektivitas yang terjamin memungkinkan manusia mengekspresikan produktivitas, relasi sosial, dan kebebasan mobilitas secara utuh. Marx menekankan bahwa sarana produksi (dalam konteks sekarang: sarana transportasi) semestinya dikelola demi kepentingan kolektif, bukan menindas kebutuhan manusia atas ruang dan waktu. Jepang mempraktikkan semangat ini dengan menempatkan transportasi publik sebagai hak sosial yang diurus negara secara serius, bukan sebagai beban individual.
Lebih lanjut, Antonio Gramsci, pemikir Italia yang juga menyoroti hegemoni budaya, bisa dijadikan rujukan di sini. Gramsci (1999) mengajarkan bahwa perubahan sosial menuntut kesadaran budaya baru, bukan hanya infrastruktur teknis. Jepang sukses menciptakan hegemoni budaya disiplin dan saling hormat, yang berkelindan dengan kebijakan transportasi publik. Dengan begitu, jalur-jalur kereta, stasiun, hingga jaringan bus bukan sekadar sarana, tetapi cermin budaya kolektif yang tertanam dan berkesinambungan.
Bandingkan dengan Indonesia, di mana jalan raya kerap menjadi panggung individualisme sempit—setiap pengendara merasa berhak merebut ruang sesukanya, menyeberang sembarangan, berhenti seenaknya, sementara kebijakan publik tidak cukup tegas menata perilaku kolektif. Contoh ekstrem bisa kita lihat di Jakarta dengan kemacetan di pintu tol, di mana antrian panjang terkadang dipecah oleh kendaraan yang menerobos bahu jalan, menciptakan ketidakadilan ruang dan memicu kemacetan berlapis. Di Jepang, perilaku seperti ini nyaris tak terjadi, karena budaya tertib telah diinternalisasi, dan penegakan aturan berjalan konsisten.
Filosofi inti yang bisa kita petik ialah bahwa transportasi publik merupakan bentuk pelayanan hak dasar manusia, bukan sekadar proyek pembangunan. Negara mesti memosisikan kebebasan bergerak sebagai wujud penghargaan atas martabat warga. Jepang berhasil memadukan semangat budaya harmoni (wa), kesadaran kolektif, serta kebijakan politik yang berpihak pada kepentingan publik, sehingga tercipta konektivitas yang manusiawi.
Barangkali inilah pesan paling penting dari tanah Jepang, yakni ruang harus mengalir, bukan disumbat dan akses publik harus diutamakan, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar semata. Jepang membuktikan bahwa dengan budaya kolektif yang terawat, kebijakan transportasi publik yang progresif, dan keberanian negara hadir sebagai pengatur ruang bersama, kemacetan bukan takdir—tetapi persoalan teknis dan sosial yang bisa diurai, dirancang, dan dilayani demi manusia itu sendiri. Wallahu a’lam.
Kredit gambar: Tribunnews.com

Lahir di Kasambang, Sulbar, 19 April 1973. Doktor Interdisipliner Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Bekerja sebagai dosen, peneliti, dan penulis. Mengajar di Universitas Cokroaminoto Makassar, Universitas Paramadina Jakarta, Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta. Anggota Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) dan Indonesia Environmental Scientists Association (IESA). Koordinator Riset ICC Jakarta. Terakhir, Dosen Universitas Nasional, Direktur Eksekutif Poros Pemikiran dan Partisipasi Publik Indonesia (P4I).
Leave a Reply