Orang-orang memanggilnya Lantang, padahal suaranya pelan dan tubuhnya ramping jarang berbicara. Ia buruh biasa, tinggal di lorong belakang mess karyawan, makan di kantin penuh lalat, dan di bawah tanah tempat ia bekerja, semua orang jadi sama, hitam oleh debu, diam oleh tekanan, lupa oleh waktu.
Tapi anaknya memanggilnya Ayah. Dan itulah satu-satunya suara yang membuatnya merasa masih punya nama.
Di pabrik itu, Lantang bekerja sejak Oktober 2021. Di bagian sintering, tempat mesin-mesin berputar di ruang sempit, panas, dan pekat debu. Ia duduk di depan conveyor, 10 meter di bawah permukaan tanah. Ia datang sebelum pukul tujuh, pulang saat anaknya telah tidur. Istrinya berhenti bertanya pukul berapa ia pulang.
Tiga tahun sudah berlalu seperti bayangan tanpa bentuk. Setiap pagi, nasehat keselamatan dihafalkan di luar kepala, ledakan debu yang kadang menyembur ke wajah, dan jam lembur yang tak pernah diberi rincian pada slip gajinya.
“Kalau kami dirumahkan, apakah upah tetap dibayar?” begitu Lantang pernah bertanya pada Pak Gun, mandor yang sejak pabrik ini berdiri telah menjelma lebih sebagai alat daripada manusia.
Pak Gun tertawa, pendek dan pahit. “Kalau mau makan, jangan banyak tanya.”
Beberapa pekerja juga sudah hafal petuah Pak Gun yang selalu diulang seperti mantra, “Pintu perusahaan terbuka lebar bagi yang mau keluar” atau “Yang antri di luar masih lebih banyak.”
Di ruang kerja, ada empat pekerja yang dekat dengan Lantang. Waris, lelaki besar dari Bulukumba yang selalu membawa sambal tomat buatan istrinya. Jumak, lajang tua dari Jeneponto yang kini mengeluh angsuran motor yang dipakainya tiap hari ke pabrik. Hasan, yang suka tidur sambil duduk, saat kantuk mengalahkan lelahnya, dan Dian, satu-satunya perempuan di bagian logistik, yang bekerja dua kali lebih keras dan dua kali lebih diam.
Mereka bukan kawan dalam arti moderen. Mereka bukan teman minum kopi yang selalu selfie bersama. Tapi mereka tahu isi kotak makan satu sama lain. Mereka saling menguatkan. Dalam diam, mereka berbagi kelelahan.
Hari itu, Jumat siang yang biasa. Cuaca panas, kantin menghidangkan ikan yang baunya mengundang muntah, dan kantung debu di mesin utama nyaris jebol.
Lantang duduk sambil menyeka keringat. Tiba-tiba suara speaker berbunyi “Diharapkan pekerja bernama Lantang, Waris, dan Dian menghadap HRD setelah jam kerja.”
“Kenapa?” tanya Waris, wajahnya pucat.
“Entahlah,” jawab Lantang. Ia tetap tenang, tapi tangannya gemetar saat menyandarkan sekop pada tiang besi.
Di ruang HRD, mereka diberi amplop. Surat pemberitahuan pemutusan hubungan kerja. Perusahaan berdalih efisiensi. Tak ada evaluasi. Tak ada SP. Tak ada perundingan.
“Apa dasar kalian memecat saya?” tanya Lantang.
“Daftar nama dari atas,” jawab pegawai HRD, tanpa menoleh.
“Bagaimana dengan lembur yang belum dibayar?”
“Itu… akan kami proses. Tapi belum prioritas.”
“Jadi, semua ini kami terima begitu saja?”
Pegawai itu hanya mengangkat bahu. “Itu urusan belakang.”
Malam itu, Lantang pulang lebih cepat dari biasanya. Anaknya berlari dari ruang tengah.
“Ayah!” serunya.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bisa menggendong anaknya sambil menahan air mata. Tapi tangis itu tak jadi tumpah. Ia hanya menatap langit-langit rumah, diam-diam merasa seperti langit pabrik, tanpa fajar.
Istrinya duduk di sisinya. Ia hanya berkata, “Sudah. Aku lebih lega begini.”
Beberapa hari kemudian, Waris mengajak mereka bertemu di rumah Jumak. “Kita mesti bersuara,” katanya. “Kalau kita diam, upah kita hilang. Harga diri kita habis.”
“Apa kau pikir mereka akan dengar?” tanya Hasan, nada pesimis. “Mereka pasti punya pengacara. Kita punya apa?”
“Punya rasa benar,” jawab Lantang. “Dan itu cukup untuk mulai.”
Maka mereka menulis surat. Pernyataan sikap. Tuntutan pembayaran hak. Surat itu dibawa ke kantor HRD, ditemani puluhan buruh lain yang mulai ikut bersuara. Lantang berdiri paling depan, wajahnya teduh, tangannya menggenggam surat yang berisi kehormatan mereka sebagai manusia.
Tiga minggu kemudian, belum ada jawaban. Tapi kabar tentang pemecatan diam-diam mulai terdengar di bagian lain. Ratusan pekerja cemas. Tapi kini, ada yang berani bertanya. Ada yang mulai melawan.
“Lantang, kalau ini gagal?” tanya Waris.
Lantang tersenyum. “Kalau ini gagal, kita tetap tahu kita tidak diam. Dan mungkin… itu sudah cukup untuk membuat yang lain tidak takut.”
Pabrik masih berdiri. Mesin masih bekerja. Tapi di lorong-lorong pabrik itu, suara baru mulai terdengar. Bukan suara mesin. Tapi suara manusia yang mulai menyebut namanya sendiri.
Kredit gambar: Media Indonesia

Lahir di Bantaeng, 7 Juli 1992, bekerja di Balang Institute sejak 2019. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar Angkatan 2009. Beralamat di Kampung Sarroanging, Desa Mappilawing—Eremerasa—Bantaeng.


Leave a Reply to Irfan tawakkal Cancel reply