Saya menunujukkan pada seorang kawan gambar demonstran yang berdiri di atas meja Ruang Paripurna DPRD Bantaeng. Kawan itu bilang “tindakan tersebut tidak bisa dibenarkan, pesan bisa disampaikan dengan cara yang lebih sopan, lebih beradab”.
Pernyataan kawan itu membuat saya sadar, menilai memang jauh lebih mudah ketimbang berpikir. Maka dari itu reaksi kebanyakan orang adalah langsung memberikan penilaian, bukan berpikir, mengapa hal itu (berdiri di atas meja) bisa terjadi.
Pada momentum 100 hari pemerintahan M. Fathul Fauzy Nurdin & H. Sahabuddin sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bantaeng, sekelompok mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di Gedung DPRD. Aksi ini untuk menagih janji program prioritas 100 hari kerja. Namun, yang kemudian viral di jagat media sosial bukanlah pesan utama dari demonstrasi tersebut, melainkan tindakan salah satu mahasiswa yang berdiri di atas meja Ruang Paripurna DPRD Bantaeng.
Foto demonstran yang berdiri di atas meja segera menyebar. Berbagai komentar mengecam tindakan tersebut sebagai perbuatan tidak sopan, tidak menghormati lembaga legislatif, bahkan dianggap merendahkan martabat institusi demokrasi. Dalam sekejap, fokus perbincangan di media sosial ramai mempersoalkan etika sang demonstran.
Demonstrasi mahasiswa adalah bagian dari ekspresi politik sebagai warga negara yang memiliki hak untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Ketika demonstrasi dilakukan di Gedung DPRD, maknanya jelas: mahasiswa tidak hanya ingin mengkritik eksekutif, tetapi juga menyoroti fungsi pengawasan legislatif yang mandek.
Setiap mahasiwa yang melakukan demonstrasi selalu disertai risiko; terluka, ditangkap, dan dicaci. Dan bagi saya, mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi, naik di atas meja sekalipun, tetap jauh lebih mulia ketimbang legislator yang setiap bulan menerima gaji dan tunjangan, tetapi lalai menjalankan tugasnya mengawal kepentingan rakyat. Menurut Kantor Berita Antara, gaji dan tunjangan yang diterima setiap anggota DPRD Kabupaten/Kota per bulan dapat mencapai antara Rp36 juta hingga Rp45 juta. Jumlah ini sudah termasuk potongan pajak penghasilan (PPh 21) sebesar 15 persen.
Tapi mengapa harus berdiri di atas meja? Barangkali untuk menarik perhatian, agar media melirik, agar elit yang nyaman di kursinya tersadar bahwa ada suara rakyat yang selama ini diabaikan. Sayangnya, reaksi publik lebih banyak terjebak pada tindakan personal sang demonstran.
Gambar seseorang berdiri di atas meja jauh memang lebih “menjual” di media sosial daripada teks panjang tentang kegagalan pemerintahan. Di era klik dan share, peristiwa yang mencolok secara visual lebih mudah viral, sementara substansi kebijakan yang kompleks sulit mendapat perhatian. Juga ada kecenderungan kuat dalam masyarakat untuk menilai perilaku dalam konteks etika, termasuk di ruang seperti gedung DPRD yang dianggap “terhormat”. Pelanggaran norma kesopanan memicu reaksi emosional yang lebih cepat ketimbang perbincangan rasional tentang kinerja politik.
Membahas capaian atau kegagalan 100 hari pemerintahan memerlukan waktu, data, dan pemahaman. Sebagian publik cenderung menghindari diskusi yang dianggap “berat”, dan lebih nyaman memperdebatkan hal-hal yang bisa dinilai secara moral. Lebih senang menilai daripada berpikir.
Untuk benar-benar menilai apakah program prioritas 100 hari pemerintahan Bupati Bantaeng berjalan sukses, kita perlu menggunakan pendekatan yang konkrit, transparan, dan berbasis indikator yang terukur. Evaluasi tidak cukup dilakukan lewat pernyataan sepihak atau klaim tanpa data. Harus ada ukuran yang jelas dan dapat diuji publik.
Sekarang mari kita berpikir, tidak usah ikut menilai tindakan berdiri di atas meja, sudah banyak yang melakukannya. Kita bahas 3 sektor utama yang jadi janji program prioritas 100 hari; infrastruktur, kelangkaan pupuk, dan kebersihan.
Infrastruktur
Di bidang ini, indikator keberhasilan bisa dilihat dari jumlah kilometer jalan kabupaten yang telah diperbaiki atau ditambal, baik yang rusak ringan, sedang, maupun berat. Selain itu, penting untuk mengetahui di mana saja lokasi perbaikan dilakukan, terutama apakah sudah menyasar jalan-jalan yang paling banyak dikeluhkan warga. Salah satu tolok ukur penting adalah berapa persen dari total 49 persen jalan rusak yang kini sudah membaik. Selain itu, seberapa besar serapan anggaran Dinas Pekerjaan Umum (PU) dalam 100 hari ini juga menjadi indikator yang tak kalah penting.
Cara untuk mengukurnya, tentu saja dimulai dengan membandingkan data awal (baseline) sebelum 100 hari kerja dengan kondisi setelah program berjalan. Ini bisa dilakukan melalui laporan teknis maupun audit visual. Untuk menjamin transparansi, verifikasi lapangan sebaiknya juga dilakukan oleh pihak independen atau masyarakat sipil. Publikasi peta perbaikan jalan pun bisa menjadi alat bantu yang efektif untuk memperlihatkan ke publik sejauh mana kemajuan yang telah dicapai.
Pertanian; ketersediaan pupuk
Keberhasilan di sektor ini bisa diukur dari jumlah tambahan kuota pupuk bersubsidi yang berhasil diperoleh Bantaeng. Indikator lain yang perlu dilihat adalah berapa banyak kelompok tani atau petani perorangan yang telah menerima pupuk, serta volume pupuk yang mereka terima. Waktu tunggu distribusi pupuk, apakah kini lebih singkat dibanding sebelumnya.
Untuk mengukur capaian ini, data distribusi pupuk dari Dinas Pertanian maupun dari pengecer resmi harus dibuka untuk publik. Survei cepat ke kelompok tani atau gapoktan bisa menjadi cara efektif untuk mengetahui apakah petani memang merasa pasokan pupuk lebih lancar.
Kebersihan
Di sektor ini, indikator yang bisa digunakan antara lain jumlah titik pengangkutan sampah yang ditambah atau dioptimalkan selama 100 hari kerja. Selain itu, volume sampah harian yang berhasil diangkut oleh petugas kebersihan dapat menunjukkan efektivitas pengelolaan sampah. Bila ada penambahan armada pengangkut atau inisiatif pengelolaan sampah berbasis masyarakat juga patut dicatat sebagai indikator keberhasilan.
Evaluasi di sektor ini bisa dilakukan dengan melihat laporan dari Dinas Lingkungan Hidup mengenai frekuensi pengangkutan sampah, termasuk di titik-titik rawan sampah. Perbandingan dokumentasi foto kondisi kebersihan sebelum dan sesudah program berjalan juga bisa menjadi bukti yang cukup kuat. Selain itu, survei kepuasan masyarakat terhadap kondisi kebersihan lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka dapat memberikan gambaran lebih utuh tentang hasil kerja pemerintah daerah.
Lalu bagaimana dengan DPRD?
Dalam konteks 100 hari kerja Bupati Bantaeng, DPRD memegang peran penting sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan daerah. Sebagai representasi rakyat, tugas DPRD selain merumuskan kebijakan bersama eksekutif, juga memastikan bahwa program-program prioritas yang dijanjikan Bupati Bantaeng benar-benar dijalankan secara transparan, efektif, dan berpihak pada kebutuhan masyarakat.
DPRD bertugas mengawasi pelaksanaan program 100 hari. Memantau sejauh mana program prioritas, seperti perbaikan infrastruktur jalan, distribusi pupuk untuk petani, dan penanganan kebersihan lingkungan, benar-benar dijalankan sesuai rencana. Apakah program tersebut tepat sasaran? Apakah pelaksanaannya sesuai dengan janji yang pernah diumumkan kepada publik?
Selain itu, DPRD wajib menuntut transparansi dan akuntabilitas dari Bupati Bantaeng dan jajaran eksekutif. Setelah 100 hari berlalu, sudah seharusnya ada laporan terbuka kepada masyarakat terkait apa saja capaian yang telah diraih, kendala yang dihadapi, serta langkah-langkah perbaikan ke depan. DPRD harus mendorong agar laporan tersebut benar-benar tersedia dan mudah diakses publik.
Sebagai wakil rakyat, DPRD juga berperan dalam menyerap aspirasi masyarakat. Sepanjang 100 hari kerja pemerintahan baru, apa keluhan, kritik, maupun harapan yang muncul dari warga. Tugas DPRD adalah menampung semua suara tersebut dan menyampaikannya secara formal kepada pemerintah daerah, serta mengawal agar aspirasi tersebut hingga ditindaklanjuti.
DPRD juga perlu aktif mengkritisi jika terdapat ketidaksesuaian antara janji politik dan pelaksanaan di lapangan. Bila ada pelanggaran prosedur, penyimpangan anggaran, atau program yang tidak sesuai kebutuhan rakyat, DPRD wajib bersikap kritis dan memberikan masukan yang konstruktif.
Fungsi lain yang tak kalah penting adalah mengawal serapan anggaran daerah. Program 100 hari tentu menggunakan APBD, dan di sini DPRD harus memastikan bahwa pengeluaran dilakukan secara efisien, tanpa pemborosan, dan benar-benar mendukung upaya perbaikan pelayanan publik.
Dengan kata lain, DPRD seharusnya menjadi garda depan dalam memastikan bahwa janji 100 hari kerja Bupati Bantaeng bukan sekadar retorika politik. Melalui fungsi pengawasan, DPRD harus menjaga agar pemerintahan berjalan sesuai prinsip akuntabilitas dan kepentingan rakyat. Jika DPRD pasif atau memilih diam, maka wajar jika publik mempertanyakan keberadaan dan kinerja mereka sebagai wakil rakyat.
Kita butuh lebih banyak demonstran
Saya membuat tulisan ini di tengah keresahan kembalinya masa-masa suram. Revisi UU TNI telah disahkan Maret lalu. Itu artinya kita sedang membuka pintu lebar-lebar bagi kembalinya praktik dwifungsi militer yang dulu menjadi tulang punggung rezim otoriter Orde Baru. Dan jika rezim otoriter telah mengembalikan kekuasaannya secara utuh, maka kita tidak bisa lagi memilih sendiri bupati dan anggota dewan yang kita sukai.
Selain kembalinya militer, investasi yang ugal-ugalan juga menjadi santapan kita sehari-hari. Di berbagai media kita melihat bagaimana pulau-pulau kecil di Raja Ampat ditambang. Mereka mengabaikan larangan penambangan di pulau kecil. Di Halmahera pencemaran logam berat merkuri dan arsenik pada sampel ikan di area penambangan dan pengolahan nikel Teluk Weda ditemukan oleh exus3 Foundation dan Universitas Tadulako. Bahkan 47 persen sampel darah warga sekitar yang diteliti juga mengandung merkuri dan 32 persen memiliki kadar arsenik melebihi batas aman.
Apa kabar smelter KIBA, bau menyengat yang tercium hingga jauh, atap rumah yang lapuk oleh debu, sumur-sumur mengering, sawah dan rumput laut gagal panen. Ribuan buruh yang gaji lemburnya dicuri, hingga Nuru Saali yang mati dipukili, tetapi polisi hanya berhenti pada status tersangka.
Beralih pada persoalan yang lebih fundemantal, Bank Dunia baru saja merilis data sekitar 60% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan global. Artinya lebih dari separuh penduduk negeri ini miskin. Mungkin termasuk saya dan kamu. Sementara elite politik sibuk berebut panggung dan proyek.
Di tengah ketimpangan yang makin menganga, militerisasi ruang sipil, pengerdilan supremasi hukum, pembungkaman suara kritis, dan hegemoni oligarki, semuanya sedang menggerus fondasi negara demokratis.
Pertanyaan paling mendesak mampukah gerakan sipil mempertahankan ruang demokrasi yang tersisa? Atau justru kita sedang menyaksikan demokrasi Indonesia perlahan-lahan mati, tanpa perlawanan yang berarti?

Penggiat lingkungan asal Bantaeng, tinggal di Jakarta. Buku favorit Kepulauan Nusantara. Film favorit “Naga Bonar”


Leave a Reply to Ahmad Makmur Cancel reply