Ruang Sadar Pendidikan: Dari Ruang Kelas ke Medan Gagasan

Tempo hari, di lantai tiga Perpustakaan Daerah Bantaeng, Ustaz Kamaruddin menyodorkan saya sebuah buku. Sampulnya hitam kebiruan, dengan siluet kepala manusia yang diisi dengan gambar rak buku. Kombinasi keduanya seolah menekankan pentingnya pendidikan dalam membentuk kesadaran dan identitas, senafas dengan tajuk bukunya, Ruang Sadar Pendidikan.

Menerima sebuah buku sejak dulu selalu membahagiakan, apatahlagi lagi jika diserahkan oleh penulisnya langsung, rasanya seperti mendapat ucapan terima kasih, dari murid paling pendiam di kelas. Sayangnya, karena terlalu senang, saya lupa meminta tanda tangan. 

Kamaruddin adalah seorang guru di SMA Negeri 1 Bantaeng, juga ayah bagi tiga orang anaknya. Buku pertamanya ini, merangkum pengalamannya di ruang kelas, juga menyuguhkan gagasan yang lahir dari perenungan, pembacaan, dan kepekaan terhadap kondisi pendidikan kita hari ini. 

Bermula dari tantangan menulis di pelatihan Book Writing Camp (BWC) yang diselenggarakan Tinta Langit. Buku ini ditulis dalam jangka waktu dua puluh hari saja, tentu di sela cengkraman kuku rutinitas dan tugasnya mengajar. Artinya, buku ini bukan hasil dari waktu luang, melainkan waktu yang diluangkan, hingga menjadi atribut kesungguhan dan kedisiplinan. Kalau kata AS Laksana, jika tidak ada waktu untuk menulis, kurangi saja jam tidurmu. Tidak ada alasan.

Ia menulis bukan sekadar apa yang dilihat dan dialami, tapi juga tentang apa yang diyakini dan diperjuangkan.  Itulah yang membuatnya terasa seperti suara guru yang lama tertahan, hingga pada akhirnya menemukan bentuk paling tulus untuk bersaksi, bahwa menjadi pendidik bukan cuma profesi, tapi jalan sepi dan terjal yang mesti dijalani dengan kesadaran—penuh luka, cinta, dan pilihan-pilihan yang tidak selalu terlihat.

Buku ini bukan karya yang hendak mengajari ini itu, hanya catatan dari jalan panjang seseorang yang menjadi guru, menjadi orang tua, dan menjadi manusia yang ingin tetap waras, dalam sistem yang terlalu sering membikin orang kalah sebelum bertarung.

Mengawali bagian pertama bukunya, Kamaruddin memulai dengan pertanyaan paling purba dan sedikit klise dalam dunia pendidikan: apa itu manusia? Apa sejatinya yang sedang kita didik? Ia meminjam pendapat Plato, Descartes, Hobbes, hingga Darwin, merekonstruksi cara berpikir Barat yang materialistik tentang manusia sebagai makhluk rasional, sosial, bahkan biologis. 

Tidak berhenti di situ. Sebagai guru Pendidikan Agama Islam (PAI), ia tak lupa menjelajahi khazanah Timur yang spiritualistik, menengok Ibnul Jauzi, Fahruddin Ar-Razi, hingga Quraish Shihab. Ia membela keyakinan bahwa manusia bukan hanya akal yang bebal dan tubuh yang rapuh, tetapi juga roh yang kudus. Bagi Kamaruddin, pendidikan harus memberi ruang pada fitrah manusia: potensi yang bukan hanya intelektual, tetapi juga sosial dan spiritual.

Pendidikan, kata Kamaruddin, yang hanya menekankan pada pengoptimalan kognisi (IQ) akan mencetak manusia cerdas dan pintar, tapi berkepribadian buruk. Apabila pendidikan hanya berorientasi pada pengembangan rasa atau afeksi (EQ), akan menghasilkan manusia berbudi pekerti, namun cenderung pasif seperti robot, dan menerima kondisi apa adanya (fatalistik). Sedangkan pendidikan yang hanya memfokuskan pada perbaikan nurani atau spiritualitas (SQ), akan menghasilkan hamba yang saleh, tapi tidak tanggap terhadap realitas dan kesenjangan sosial. Guru harus mengembangkan ketiganya secara integratif, guna mengantar manusia pada fitrahnya yang hakiki. 

Bagian kedua buku ini menyentuh lanskap yang lebih konkret: tentang wali kelas sebagai pemimpin kecil dengan peran besar. Di sini, Kamaruddin menuliskan ulang tugas wali kelas dengan nada yang hangat, seolah mengingatkan. Perihal wali kelas sebagai fasilitator, mediator, dan motivator—saya menambah satu lagi, provokator. 

Kerja-kerja itu tidak tercatat dalam SK Pembagian Tugas, tapi hadir dalam bentuk perhatian yang tak bisa dihitung: menenangkan anak yang patah semangat, menghubungi orangtua yang menjauh, atau membujuk anak yang enggan lagi ke sekolah. Baginya, semua tugas itu adalah amanah. Sebuah kata yang dalam, penuh makna, tapi sering hanya jadi buah di bibir, bukan gerak yang nyata.

Seraya mengutip Munif Chatib, Kamaruddin menyadarkan kita, bahwa wali kelas bukan sekadar administrator atau pengawas, tetapi harus berperan sebagai orangtua kedua yang mengasuh dengan asih. Bertanggung jawab untuk memahami kebutuhan emosional, sosial, dan akademik anak didiknya. Wali kelas diharapkan dapat mengenali potensi setiap anak, memberikan dukungan, serta menjadi tali yang menghubungkan sekolah dan orangtua.

Pada bagian ketiga bukunya, Kamaruddin menjelaskan urgensi orangtua dalam membentuk karakter anak. Perubahan bukan hujan yang tetiba turun dari langit. Ia merupakan hasil dari ikhtiar orangtua dalam membentuk karakter anak.

Kamaruddin membagikan metode ACB: Ajari, Contohkan, Biasakan. Juga metode DEF: Dialog, Edukasi, Fasilitasi, sebagai panduan. Di rumah, orangtua harus aktif membersamai anak, sebab kepribadian tak bisa tumbuh di tanah kering apatisme, jika masih enggan, siap-siap saja anggotanya dikirim ke barak militer. Dididik dengan teriakan dan perintah.

Di bagian ini, Kamaruddin juga membeberkan tantangan yang kini membayang di hampir semua rumah dan sekolah: teknologi yang menjauhkan, gawai yang membius, dan “strawberry generation”—meminjam istilah Rhenald Kasali, terlihat menawan, tapi lembek dan mudah tergores ketika diberi tekanan. 

Di sini, Kamaruddin tidak menulis dengan nada sinis, tapi dengan kegelisahan yang jujur. Pendidikan kita, katanya, terlalu sibuk mengejar angka-angka, lupa mengasah ketangguhan jiwa. Ia mengajak kita belajar dari keluarga Imran, berguru sabar dari Maryam, dan mencintai proses sebagaimana para petani menanam padi, tahu bahwa buahnya tidak mungkin langsung bisa dipetik besok pagi.

Inilah yang dimaksud Rhenald dengan growth mindset, para penerobos kemustahilan, penantang hambatan, dan pejuang harapan. Bukan fixed mindset, generasi yang manja, yang mudah hancur digerus kompetisi dan ketidakpastian.

Bagian terakhir menjadi semacam simpulan panjang: pendidikan yang menguatkan. Harus menguatkan. Catatan ini mungkin kepingan dari refleksinya setelah mengikuti Pendidikan Guru Penggerak (PGP). Kamaruddin menulis tentang restitusi, mindfulness, dan KSE—konsep-konsep yang pernah ramai dan menarik perhatian, yang sayangnya seringkali hanya menjadi hiasan presentasi.

Di tangan Kamaruddin, istilah-istilah ini dibumikan di ruang-ruang kelas dengan penuh kesadaran. Ia mengajak kita percaya bahwa sekolah harus kembali menjadi tempat yang aman secara emosi, tempat di mana siswa tidak hanya ditanya “berapa nilaimu?” tapi juga “bagaimana perasaanmu?”

Bagi sebagian orang, buku ini mungkin agak berat dan kaku, karena kontennya yang padat dan referensinya yang melimpah, gaya yang memang sudah menjadi khasnya Kamaruddin dalam menulis.

Melampaui itu, caranya menyampaikan ide dan gagasan yang menggabungkan teori dan pengalaman, membuatnya dekat dengan kehidupan. Ia tidak menawarkan revolusi, tidak berteriak dan memaki, melainkan mengundang kita merenung ulang: apakah cara kita mendidik selama ini sungguh-sungguh dilandasi kesadaran? Atau mungkin hanya sekadar rutinitas harian sembari menunggu gajian?

Buku ini mengingatkan saya pada gagasan Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas, ihwal pendidikan harus menjadi tindakan pembebasan—bukan menjinakkan. Menyambung spirit John Dewey yang melihat sekolah sebagai ruang demokrasi yang hidup, tempat anak-anak bukan cuma mengangguk, tetapi juga belajar menggeleng agar menjadi warga yang utuh.

Selamat kepada Ustaz Kamaruddin atas lahirnya buku ini, anggap saja catatan ini sebagai bentuk terima kasih saya atas hadiahnya yang istimewa.

Akhirnya, Ruang Sadar Pendidikan lebih dari sekadar buku, ia adalah cermin bagi kita. Refleksi bagi guru yang mulai lupa kenapa dulu memilih profesi yang katanya mulia ini. Jika menjadi guru adalah pilihan sadar, maka mari melangkah ke dalam kelas dengan penuh kesadaran.

Saya yakin, masa depan negeri ini tidak terletak pada kurikulum terbaru, apalagi menteri baru dan jargon baru, melainkan pada kemauan untuk tetap sadar, di tengah sistem yang rajin menampar. Mendidik adalah kerja sunyi, bagi dunia, guru mungkin bukan siapa-siapa, tapi bagi anak-anak di sekolah, gurunya adalah dunianya. 


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *