Hasil wawancara dari sebuah penelusuran, terhadap suasana dan kondisi bagaimana Pama’ berusaha untuk meringankan beban sebuah dinamika pergolakan masa itu. Yang kemudian berusaha untuk meretas entitas bahkan identitasnya.
Konon di tahun seribu delapan ratusan. pemangku pemerintahan (raja). Ini cukup sensitif menguak tabir di balik tubir sejarah yang buram nan suram. Ada bentangan peristiwa di tengah periodesasi.
Lalu rasa-rasanya saya berusaha beradaptasi dan hendak rasanya reinkarnasi lagi suaka? Untuk apa? Kata seorang karib di tengah mendung siang itu di beranda mukim saya. Ada peristiwa, ada detak nadi dan dalam nadir keadilan yang alih-alih suaka berakhir petaka.
Bahkan kau tidak akan dapat pengakuan secara hukum dan suaka itu sendiri. Sebab hukum telah dipergoki dalam situasi sejak negeri ini yang katanya adalah hak segala bangsa. Mukkadimah yang yang bias sampai sekarang dirapal dan dihapalkan.
Di suatu masa, dititahkannya sesuatu dari ayahnya sendiri yaitu Dunda atau Ma’dunda. Dua nama bergabung menjadi satu dalam nuansa penamaan serta kemisteriannya hingga sekarang bernama Ma’dunda bin Serang.
Bahkan sampai saat ini, dalam menemukan dan proses penelusuran, kami butuh mental yang kuat, dan trik khusus untuk mendapatkan sumber. Dengan penuh harap, setidaknya ada titik terang yang menguatkan jauh lebih kongkrit tanpa berhenti hanya dimitos-mitoskan, Dengan sebuah jejak dan artefak yang lebih real dan logis.
Mengumpulkan data, informasi, cerita, sebagai penguat dan pelengkap referensi, sambil menggunakan beberapa analisis sains. Sebagaimana rencana selanjutnya mengatur jadwal, untuk menemui langsung sumber terkait keberadaan sosok selain Pama’ yaitu istrinya sendiri yang dikenal dengan nama Kr. Sitti.
Jejaknya telah terkonfirmasi, menjadi benang merah penyambung kisah dan cerita tentang perempuan yang dinikahi seorang Pama, yang juga makam dan peristiwanya masih dalam proses penyusuran jejak asal dan trah hingga pada tersematkan akhir hidupnya (makamnya).
Rasa itu berkecamuk, seakan menuju pintu gerbang menemuinya, sambil tersenyum menjemput kehadiran kami sebagai cucu dan cicitnya. Meski banyak dera dan tungkai-tungkai yang kami temui bagai ilalang dan semakin, namun belukarnya kami bisa menemukan sebuah akar.
Sembari mencari akal agar informasi dan jejak secara faktual tidak ditukar-tukar. Rasa penasaran, menambah gairah perburuan, meski beberapa kendala kami temui.
Seakan menantang kami, sampai seorang cicit bernama Puspita semakin optimis menyusuri dari penanda satu dan jejak-jejak sumber yang lain.
Apalah guna suaka kami minta atas nama Pama’? Dalam alam arwahnya tersenyum menyaksikan cucu dan cicitnya mencari kebenaran dan jejak keberadaannya?
Bukan mencari sensasi atau sekedar melengkapi identitas kami? Tidak! Sebagai cucu dan cicit, setidaknya berhak mencari tahu, meski kami berusaha dibungkam.
Sembari berandai-andai, berimajinasi tentang raut wajahnya serta perangai, dari sekian banyak sumber memberikan penanda, ciri-cirinya yang pernah melihat dari cucu langsungnya.
Saya tertegun bagai lara dan rindu yang tidak mungkin kami hanya mengabadikan nama dan kisahnya kepada generasi kami selanjutnya. Entah harus menceritakan dari mana, dalam sejarah kejayaan seorang Pama’.
Kemana hendak kami menambat, dalam kubangan sejarah tanpa suaka, tanpa catatan. Hanya semata cerita, serta dinamika yang tidak hendak kami hanya sekadar berandai-andai, apatahlagi dalam bentuk seperti karangan bernama dongeng?
Tidak juga berharap pengakuan di dalam trah-nya dalam atau sebuah sejarah yang dijarah. Butuh bukti kuat, selain berbentuk katanya dan “bede”. Sebentuk peran apa yang harus kami tempuh? Sementara perihal yang secara pusaran masih mengalami pergolakan.
Harapan kami bagai terbuang, namun tidak harus berhenti dalam terkuak di tengah gejala paranoid, yang berusaha meski resiko dan konsekeunsi kami harus terima dan hadapi.
Ketika jejak sejarahnya yang mulai terang. Kemudian ada kabut ketika kami mencari suaka sejarah seorang Pama’. Kami menerjemahkan pada suaka itu sendiri! Sebagaimana dalam pengertian bahwa: perlindungan ketika dulu bagi pengungsi, atau perlindungan untuk situs bersejarah.
Begitulah harapan kami untuk sebuah suaka. Bukan berburu pusaka!Sabagaimana suaka menjadi gagasan tentang hak individu. Dalam prosesnya berkembang seiring dengan konsep suaka yang lebih tradisional sebagai sesuatu yang berhak diberikan negara kepada individu.
Pada awal abad ke-20, pandangan alternatif tentang suaka ini mulai tercermin dalam instrumen internasional. Konvensi Liga Bangsa-Bangsa tahun 1933 tentang Status Internasional Pengungsi melarang negara-negara penandatangan untuk menolak masuknya pengungsi dari negara tetangga dan mengusir pengungsi di dalam perbatasan mereka.
Kini bagai rimbun dan rumpun sejarah. Menjadi “simpung” yang tiada berujung. Suaka menjelma petaka. Kebenaran yang mulai tercemari, terkapar.
Beberapa tahun silam sejak tahun 1800-an. Hingga pada tahun-tahun kelam suka itu hanya membantai secara berantai. Masa dimana semua sejarah dipreteli. Lalu yang DNA dan trahnya yang murni. Tersisa kenangan. Di tengah penjarahan tanpa ampun tanpa pertolongan suaka oleh negara dan adat. Kemanusiaan dikebiri, sesama sanak diadu saling telikung. Demi identitas baru. Justru menjadi ambigu sampai sekarang, kami merasakan “lingu” (kebingungan, kelimpungan) kemana hendak mencari suaka dan perangai sejati leluhur pada kisah dan sejarahnya dibegal.
Hal ini telah memicu politisasi konsep suaka dan menghasilkan tanggapan garis keras yang dirancang untuk membatasi akses terhadap pergerakan ilegal tersebut. Sementara Pama’ serta trahnya tanpa perlindungan, apatahlagi pengakuan di abad kedelapan belas, bahkan jauh sebelumnya diacak-acak, diobrak-abrik.
Atau memang mereka terlalu lugu dan teguh pada pendiriannya. Apalah arti sebuah trah dan ketenaran itu?
Pama’ dan kisah leluhurnya memang seakan ditamatkan. Namun seiring waktu sebuah darah mengalir pada generasi kelima dan ketujuh. Tanpa harus merasa lebih pintar. Bukan ingin bermanuver mencari sensasi, semata reaksi dan naluri sebagai cicitnya, memantik dengan cara kami yang sesuai aturan penelusuran, tidak semata ingin bertaruh seolah kami adalah sebuah keturunan berstatus trah yang kuat.
Tetapi apa salahnya sebagai generasi, meski suaka telah terlanjur berbuah petaka, di tengah prahara yang membuat semua disamarkan. Setidaknya kami punya dasar mengulik dan menjadikannya spirit dan menjadikan nilai dan pengetahuan bagaimana mereka begitu bertahan, berjuang dalam situasi dan kondisi.
”Anre naki erok nikua, passinagalinna sekre simpung surang pangngu’rangi,” dari sejarah buyut dan untuk generasi kami, agar tidak terjebak sejarah dan kisah orang lain. Sementara buyutnya (leluhur) punya kisah sejarah yang lebih menarik.
Dengan demikian, tidak harus patah semangat dan kembali melengkapi, dengan mencari referensi yang sesuai, menafsirkan, tanpa gegabah menjadikannya simpulan. Agar tidak abal-abal. Lebih pada faktual bukan pencarian dengan ritual. Kemana hendak mencari bentuk suaka dalam bentuk lain. Mencari perlindungan atas semesta yang selalu menata segala urusan manusia dalam kehendak-Nya semua satu persatu kebenaran terkuak. Di mana hukum sejarah telah dikebiri dan dihakimi tanpa peradilan oleh pemenang sejarah di masanya.
Lantas apakah Pama’ merasa kalah? Bukan di situ poinnya. Justru menjadi suaka terhadap semua hal yang akan berdampak buruk pada sebuah ranah, peristiwa sejarah di masanya menjadi petaka pustaka dan pusaka. Pama’ membuat suaka sendiri untuk anak cucunya. Tanpa pengakuan, tanpa harus memaksakan keinginannya sebagai pemangku sebuah “jannang”.
Hingga pada situasi dalam pustaka dan pusakanya. ”Bunga biraeng ri Tamanga” tempat dia mengawali kejayaannya. Sampai pada ritual dan situs sejarah ditumbalkan di tengah pecahnya pergolakan politik di masa itu.
Di tengah kalut dan debut pencarian, tetiba kabut seketika menyapa kami saat hendak menyusur jejak bekas rumahnya. Seribu tanya terhampar di benak kami. Sambil menyusuri di tengah pohon kopi, mengingatkan kami tentang bagaimana sejarah kopi dan kejayaannya yang menjadi komoditi utama masa itu.
Abad ke-18 adalah periode perubahan besar dalam sejarah dunia, dengan Revolusi Industri, perang, kolonisasi, dan penentangan sistem sosial dan kekuasaan menjadi peristiwa-peristiwa utama yang membentuk dunia modern. Di sanalah konspirasi itu terobsesi dengan mengacu pada koloni. Mengubah status sosial, menjadi kekuasaan dengan kekuatan propaganda sebagai agenda pemecah belah.
Peristiwa demi peristiwa sejarah, tunduk tanpa suaka, tanpa jejak pustaka yang ada hanya puing cerita, tanpa jejak tertulis yang memang nyaris sejarah kita dalam bentuk tertulis. Kita hanya membaca dari beberapa karya tulis penjajah tentang kesejarahan. Kita hanya penikmat, pendengar cerita dari mereka. Selembar dua lembar saja. Kita terhenti karena tidak terbiasa membaca tuntas.
Mereka asyik bermain pada cerita dan sejarah sebagai penakluk dan pemenangnya. Meski sebagian dari mereka juga mengarang-ngarang saja.
”Sikatutuimamako, sikapaccei, ri simpung jammanga sallang. Lanu anre nusiranggasela sipammanakang“. Atau dengan ini mungkin sebagai analisis kami, kenapa Pama’ tidak harus mempertahankan dan memaksakan kehendaknya?
Jangankan suaka, pengakuan saja semua sirna bagai siasat yang berafiliasi pada muslihat. Antara tersurat dan tersirat, dengan yang tersemat, lalu menjadi kesumat yang kadang-kadang kumat menanti lebih terang dan jelas sejarah dan maklumat.
Sebagai penguat untuk kami yang masih meradang jauh pada era dan zaman sebagai cucu dan cicitnya hanya mendengar kidung senja kala sejarah buyut kami kehilangan suaka dan pengakuan, hanya karena sebuah konspirasi secara eksternal dan bahkan internal.
Suaka tanpa kuasa dan daya menjadi petaka sejarah bagi dirinya sendiri (Pama’). Tertimpuk di antara lembaran-lembaran sejarah dengan sebuah pusaran konspirasi!
Seabad dan babak yang kemudian dia memilih untuk tidak gegabah untuk bertahan, pada sisi kendurinya yang telah menjadi duri-duri sejarah yang telah dikaburkan.

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply