Hemat saya, filsafat sejak awal kelahirannya, bukanlah semata-mata tentang konsep-konsep abstrak yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang hidup di menara gading. Filsafat lahir dari kekaguman, dari rasa heran yang sangat manusiawi, dari keinginan untuk memahami hidup yang begitu dinamis, kompleks, dan tak jarang melelahkan.
Saya percaya bahwa filsafat, sebagaimana yang diimpikan oleh para filsuf awal, mestinya kembali ke akar kemanusiaannya, yaitu menjadi lentera yang menyinari hidup sehari-hari, dan bukan hanya perdebatan akademik yang terkurung dalam seminar dan jurnal ilmiah. Maka dari itu, saya lebih nyaman memposisikan filsafat sebagai sahabat yang diam-diam menuntun, dan bukan sebagai hakim yang sibuk menghakimi.
Pernah suatu pagi, ketika saya berjalan menyusuri lorong rumah menuju jemputan mobil, saya teringat pada kata-kata Hannah Arendt (1906-1975), bahwa berpikir bukanlah sebuah aktivitas mewah, melainkan tanggung jawab moral. Hari ini, di mana dunia semakin dipenuhi kebisingan dan kecemasan, berpikir menjadi tindakan yang nyaris radikal. Tidak mudah untuk benar-benar berpikir di tengah arus yang menuntut kita untuk segera mengambil sikap, membuat keputusan, lalu tampil meyakinkan. Filafat dalam hal ini mengajak kita untuk melambat, dan bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai cara untuk benar-benar hadir secara utuh.
Tak dimungkiri, bahwa kini kita hidup dalam dunia yang terobsesi pada kecepatan, efisiensi, dan hasil. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, hidup kita dipenuhi oleh daftar hal yang harus diselesaikan. Bahkan waktu senggang pun kini harus “produktif.” Tidak heran jika kita sering merasa terasing, bahkan dari diri kita sendiri. Hemat saya, pada momen inilah filsafat bisa masuk. Ia mengingatkan kita, seperti yang dikatakan oleh Simone Weil (1909-1943), bahwa perhatian adalah bentuk cinta tertinggi. Maka ketika misalnya saya duduk diam menatap hujan atau mendengarkan seseorang dengan sungguh-sungguh, sebenarnya saya sedang berlatih menjadi manusia.
Saya pernah terlibat dalam percakapan panjang dengan seorang teman yang merasa kehilangan arah dalam hidupnya. Ia telah mencoba banyak hal seperti membaca buku motivasi, mengikuti pelatihan, bahkan mengubah gaya hidupnya. Namun tetap saja ia merasa ada kekosongan yang tak terdefinisikan. Saya tidak berupaya memberinya nasihat, hanya mengajaknya berbincang.
Kami membicarakan banyak hal, hingga A. Camus (1913-1960) tentang absurditas hidup, dan tentang bagaimana menerima kenyataan bahwa dunia ini memang tidak selalu punya makna yang siap pakai. Tetapi anehnya, dari perbincangan itu, ia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena untuk pertama kalinya, ia tidak dituntut untuk segera “menemukan jawaban.” Namun ia hanya diminta untuk hadir dan menyelami absurditas itu secara bersama-sama.
Filsafat memang tidak memberikan kepastian. Juga tidak menjanjikan kebahagiaan instan atau jawaban hitam-putih. Tetapi bagi saya, justru disitulah kekuatannya. Seperti yang dikatakan Karl Jaspers (1883-1969), bahwa filsafat bukan tentang memberikan jawaban, melainkan menajamkan pertanyaan.
Hidup kita seringkali memang terlalu cepat menyimpulkan dan terlalu tergesa menyematkan label. Atau bahkan dalam relasi dengan orang lain, dalam menilai diri sendiri, kita seringkali terjebak pada dikotomi yang menyederhanakan hal-hal seperti, sukses-gagal, bahagia-sedih, ataupun benar-salah. Dalam hal ini, filsafat mengajak kita untuk melihat di antara itu semua, di ruang-ruang abu-abu yang justru lebih manusiawi.
Saya pribadi dalam menjalani sehari-hari, seringkali menemukan momen filsafat dalam hal-hal yang tampaknya remeh. Seorang ibu misalnya yang sabar mengantar anaknya sekolah setiap pagi, seorang pedagang yang tersenyum meski dagangannya belum laku, atau seorang teman yang tetap sabar mendengarkan meski sudah lelah.
Saya mengamati ada kebijaksanaan di sana, yang tidak selalu bisa dirumuskan dalam proposisi logis yang rumit, namun bisa dirasakan oleh hati yang peka. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Kierkegaard (1813-1855) ketika ia berbicara tentang kebenaran yang subjektif. Bahwa sebenarnya ada kebenaran yang hanya bisa dialami, dan bukan diajarkan.
Tentu saja, tidak semua orang harus menjadi filsuf. Tetapi saya percaya bahwa setiap orang bisa menjalani hidup secara filosofis. Artinya bahwa, hidup bisa dijalani dengan kesadaran, dengan keterbukaan, dan dengan keberanian untuk meragukan dan mengakui keterbatasan. Hidup yang filosofis bukan tentang tahu banyak teori, namun tentang mau mendengarkan kehidupan dengan lebih dalam. Ketika misalnya seseorang bertanya pada dirinya sendiri: “Apa yang sebenarnya membuatku bahagia?” atau “Mengapa aku melakukan ini dan bukan itu?” maka sebenarnya ia sedang melakukan permenungan filosofis.
Nietzsche (1844-1900) pernah mengatakan bahwa filsafat yang tidak bisa menari bukanlah filsafat yang sejati. Saya memahaminya sebagai ajakan untuk merayakan kehidupan, bahkan dalam paradoks dan penderitaannya. Kita seringkali menganggap filsafat sebagai sesuatu yang berat, gelap, abstrak, dan jauh dari kehidupan. Tetapi sebenarnya filsafat bisa sangat hidup, jenaka, dan membumi. Dalam diskusi santai di ruang keluarga, dalam cerita-cerita yang kita bagikan, dalam keheningan yang kita pelihara, sebenarnya filsafat bisa hadir sebagai teman seperjalanan.
Saya bahkan percaya bahwa filsafat bisa menjadi ruang penyembuhan. Dalam hidup yang penuh luka, terkadang kita tidak membutuhkan solusi cepat, tetapi seseorang yang sanggup berjalan bersama dalam pertanyaan-pertanyaan kita. Filsafat tidak menolak rasa sakit, namun justru mengajaknya duduk dan bertanya: “Apa makna dari semua ini?” Seperti kata Rainer Maria Rilke (1875-1926), bahwa kita harus belajar mencintai pertanyaan-pertanyaan itu, karena mungkin saja suatu saat nanti kita akan hidup ke dalam jawaban-jawabannya.
Sepanjang perjalanan hidup saya, filsafat bukan hanya alat berpikir, tetapi lebih sebagai jalan pulang. Filsafat tidak pernah menyelesaikan semua masalah saya, tetapi setidaknya memberi saya cara baru untuk memandangnya. Filsafat juga tidak membuat hidup saya lebih mudah, tetapi membuat saya lebih hadir dalam setiap kesulitan-kesulitannya. Ketika saya gagal misalnya, saya belajar bahwa kegagalan bukanlah akhir, namun bagian dari proses menjadi. Atau ketika saya kehilangan, saya mengetahui bahwa kehilangan adalah cara hidup mengajarkan keikhlasan.
Filsafat juga mengajarkan saya bahwa menjadi manusia adalah pekerjaan seumur hidup. Tidak ada versi final dari diri kita. Setiap hari adalah kesempatan untuk bertumbuh, untuk berubah, untuk menjadi sedikit demi sedikit lebih bijak. Dunia kita yang serba instan hari ini, filsafat bisa menjadi pengingat bahwa yang paling berharga seringkali datang lewat proses yang panjang dan penuh permenungan.
Pun saat ini, ketika saya menulis esai ini, saya tidak bermaksud untuk memberikan ceramah. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk duduk sejenak, menarik napas, dan memandang hidup dengan mata yang lebih lembut. Mungkin memang kita tidak akan menemukan jawaban pasti, tetapi setidaknya kita bisa menemukan ketenangan dalam keberanian untuk bertanya.
Filsafat untuk napas sehari-hari bukan tentang merumitkan hidup, tetapi tentang menjadi lebih utuh. Filsafat mengajak kita untuk tidak sekadar hidup, namun juga lebih memahami kehidupan. Filsafat tidak menjauhkan kita dari urusan keduniaan, tetapi justru mengantar kita kembali, dengan hati yang lebih sadar, pikiran yang lebih terbuka, dan jiwa yang lebih siap untuk mencintai, kehilangan, dan terus berjalan.
Terakhir, saya memilih bersetuju, sebagaimana yang diyakini oleh para filsuf besar awal dan para filsuf belakangan, bahwa sebenarnya hidup ini adalah pertanyaan yang terus-menerus kita jawab dengan cara kita masing-masing. Dan itu sudah cukup mulia.
Kredit gambar: Depublish Store

Lahir di Enrekang, 5 Juli 1991. Mukim di Jl. Karunrung Raya 1 Makassar. Punya hobi traveling dan menonton.
Sederet pengalaman organisasi: IPM, JIMM, ICMI, Rumah Kajian Filsafat, dan Komunitas Literasi Perempuan.
Aktivitas mutakhir selaku pegiat literasi dan filsafat. Berprofesi sebagai penulis dan dosen.
Leave a Reply