Mengajar Bukan Mendidik!

Tetiba Argan dengan wajah yang sendu, terjebak pada dirinya yang malas, diam saat ditanya, sebab dibeda-bedakan dalam kelas. Pulang dengan menutupi peristiwa perundugannya. ‎‎

Kecamuk itu saya redam, agar tidak membuat Argan lebih kena mental. Segala jurus membujuk. Sampai pada keputusan atas nama moral. Wets. Hajar jika perlu. Sebagai edukasi moral. Pasti pembaca saya salah dalam menerapkan dan saya adalah bukan tipikal pendidik. Hehehe. ‎‎

Sementara moral dipaksa-menerima perlakuan moral yang lain. Secara fisik bahkan oknum pengajar tanpa sadar secara psikis merundung jauh kebablasan.

‎‎Anak diajar beretika misalnya. Tetapi budaya appakatau tergerus sampai tumbuh dalam ingatan memasuki eranya. Mulai belajar berbohong, membuang sampah seenaknya, saat dia kritis dianggap kurang ajar dan mulai tidak bermoral.

‎‎Begitulah adanya, seiring perkembangan zaman dan pengetahuan. Pendidikan kita masih merangkak di tengah sistem/kurikulum yang diperdagangkan. Demi dan atas nama inovasi dan kreativitas, ide, kualitas yang pada akhirnya para guru juga pada umumnya menggerutu, mengeluh merasa terjajah dan didera. Hem.

‎‎Akhir-akhir ini, serasa pendidikan terkadang memberikan tuntutan yang berlebihan, seperti tuntutan untuk selalu mendapatkan nilai terbaik, mengikuti berbagai kursus, atau terlibat dalam kegiatan yang tidak sesuai dengan kemampuan atau minat siswa.

‎‎Sepertinya ada asimilasi budaya yang berlebihan dengan ketergantungan pada model pendidikan negara maju yang terlalu lama tanpa adanya pembaharuan di negara sendiri dapat menyebabkan asimilasi budaya yang kebablasan.

‎‎Bagaimana mewujudkan pendidikan yang relevan dan berkualitas tinggi, merata dan berkelanjutan, didukung oleh infrastruktur dan teknologi?

‎‎Katanya mewujudkan pelestarian dan pemajuan kebudayaan serta pengembangan bahasa dan sastra.

‎‎Mengoptimalkan peran serta seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung transformasi dan reformasi pengelolaan pendidikan dan kebudayaan. Sementara kalau hanya sebatas slogan dan cocoklogi saja beralaskan visi misi di sebuah kementerian yang juga menyuling dan menyalin program sebelumnya? ‎

‎Katanya merdeka belajar atau itu-itu saja dibolak-balik asal ada kegiatan, namun tidak memengaruhi indeks dan prestasi peserta didik. Sejauh manakah Pentingnya pendidikan yang memerdekakan? Saya mencoba menerobos dan mulai merasa percaya diri bertanya setelah sekian lama menyaksikan keganjalan.

‎‎Bukankah pendidikan yang memerdekakan menekankan pada kebebasan belajar sesuai minat dan potensi siswa? serta pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas. Lantas bagaimana peran guru?‎‎

“Guru dalam pendidikan yang memerdekakan bertindak sebagai penuntun, bukan penuntut, yang membantu siswa dalam proses belajar.” Sebuah ungkapan di laman dan halaman pengetahuan itu bagai menohok bagi saya. Entah yang berprofesi. ‎‎

Namun, saya meyakini pula bahwa tidak semuanya hanya menunggu jatah sertifikasi lalu berselera mengedukasi sebagai bentuk pilihan hidup dan profesi. ‎‎

Masih saya temukan walau hanya sekian persen para pendidik menekuni dengan dedikasi, bahkan juga mengeluhkan bagaimana sistim, atas nama kurikulum namun sifatnya sekadar dikulum saja. Agar target tercapai laporan selesai. “Demi memuaskan agenda Pusat dengan tepuk dada, di daerah mengelus dada.”

Setiba Argan merasa tenang, saya mendekati, sorot matanya tajam, tadinya sendu karena perundungan di sekolahnya. Bahkan tidak jarang guru sering juga kalap dan lupa bahwa beberapa tindakannya itu adalah sungguh amat menjatuhkan mental anak didik ketika menghardik di depan teman-temannya. Atau menghukumnya karena kedongkolan guru, menghakimi kesalahan yang tidak layak tanpa keadilan dan alasan yang konkrit.

‎‎Sepertinya Argan mulai merasakan titik nadir bermalasan hendak pergi sekolah lagi. Saya mulai panik, antara mengurus surat pindah ke tempat lebih aman, tidak sekadar kedok bergumul prestasi dan berjubelnya piala peraih juara ini dan itu, ke sekolah yang saya anggap lebih menyantuni anak didik dengan edukasi yang penuh kasih, bukan pilih kasih.

‎‎Tetapi setelah menganalisa. Hampir sama pula pada pola didik yang jauh lebih jatuh ke tubir cara berpikir, masih stagnan pada sistem kurikulum itu-itu saja. ‎‎

Saya harus pasrah pada akhirnya, dengan tidak harus gegabah menuntut sebagaimana keinginan pada UU Nomor 20 Tahun 2003 kalau tidak salah menelaah dan membaca, yang isinya mengatur terkait sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia.‎‎

Dalam regulasi tersebut, sistem penyelenggaraan pendidikan wajib menerapkan beberapa prinsip penting. Di antaranya yaitu pendidikan wajib diselenggarakan dengan cara demokratis, berkeadilan, serta tidak bersifat diskriminatif.‎‎

Akan tetapi ini hanya ketok palu saja, urusan pengembangan pada setiap ranah pendidikan kembali kepada potensi dan kompetensi guru. Sejauh mana bertaruh bukan hanya mengeluh, pada sistem yang kerap setiap kali berubah bentuk namanya, tapi penerapannya sama saja?

‎‎Kurikulum begitu semakin menghajar berkedok mengejar ketertinggalan, namun guru merasa dihajar dengan sejumlah agenda administrasi, laporan dan hanya bertindak memacu dirinya secara terpaksa atas nama laporan, dikejar dan diancam dengan undang-undang serta hukum.

‎‎Sementara anak didik terlantar dan serasa hendak pulang ke rumah bermain kelereng, main layangan, petak umpet atau main gadget. Walau kena damprat juga sama orang tua yang kemudian ikut menghajar dan menghardik! ‎‎

Pulang ke rumah adalah jalan terindah terlintas di benak mereka, sembari membayangkan bersama teman tetangga, lalu merasakan merdeka ketimbang ulah oknum guru, hanya karena secara psikis laporan tidak selesai atas nama kurikulum, maka tak jarang kadang berdampak anak didik adalah sasaran. ‎‎

Ini fenomena, tidak harus merasa terbawa suasana sensitivitas, tetapi setidaknya menjadi sebuah latih diri untuk peningkatan kualitas. Bukan sebagai pelengkap identitas sosial. Tetapi sang pengabdi yang tidak ingkar janji mencerdaskan diri baru mengajak peserta didik ikut menerjemahkan secara sederhana dalam penerapan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.

‎‎Tidak harus menyamakan semua potensi, kecerdasan peserta didik, di sanalah para pendidik mencermati secara seksama dalam tempo sedetail dan data di depan mata, bahwa sekian anak didik mengalami hal berbeda dalam menangkap dan mengembangkan dirinya.

Jeli dan “jelita” (jejaki, lihat dengan mata dan data). Agar tidak menjadi penghajar dan penghardik. ‎‎Tentunya kembali pada diri masing-masing-masing tugas guru di gerbang dan lingkup sekolah katanya. Selepas itu peran orang tua sangat penting dalam menuntun, bukan hanya tugas guru dalam meningkatkan mutu seorang anak. ‎‎Di rumah dan lingkungan adalah cara orang tua menjaga lebih intens.

Sebagaimana parenting yang di luar Tata’ kelola dan fungsi dan pengertiannya. Hanya berkumpul dan membentuk arisan, sambil mengaduk adonan dan memuji jenis pakaian dan lain-lain sebagainya. ‎‎Hari di mana para pelita hidup, penerangan dalan gelap dihelatkan dengan nama diperingati di lapang, di sudut kota di alun-alun.

‎‎Seharusnya bukan lagi pelita, ini terlalu redup jika hanya cahaya yang itu-itu saja. Menandakan kemajuan itu hanya imitasi dan halusinasi. Minimal gemintang yang lebih berkerlip dengan lantip, sembari mengeja diri dalam kualitas dan bagaimana merebak dunia pendidikan yang semakin terjebak.

‎‎Jasamu di antara ijazah. Sejarah pendidikan rentang dengan zaman yang tidak sesuai lagi penerapannya. Abad pendidikan dibabat begitu saja, demi kepentingan sesiapa bercokol dan menjadi penentu kebijakan. ‎‎Betapa mirisnya, saya seakan hidup di zaman belantara dan rimba.

Guru menyalahkan orang tua, orang tua ikut dipandu gejolak kemerasaannya menyalahkan guru! Anak-anak kencing berdiri tanpa cebok di dekat pagar tembok yang dulunya ada pohon rindang tempat mereka merasakan kesejukan saat sumpek di kelas.

‎‎Kecemasanku berlebihan yang tidak pantas pula. Apa pula kepentingan saya dalam menelaah dan mencoba menguak tabir palsu dunia pendidikan kita ini? Seolah saya ini pengamat baru lulus sarjana strata kesekian. Padahal hanya numpang nampang hendak merasa juga peduli tentang pendidikan yang katanya semakin jitu bin ambigu. ‎‎

Dipaksanya menghafal dan merapal angka-angka. Sementara otak berbeda menerima dan menerapkannya di setiap jiwa dan peserta didik. Imajinasi hilang oleh intimidasi yang dihiasi sebagai edukasi.

‎‎Negara lain telah selesai dengan literasi generasi, sementara di negeri yang masih dipenuhi semak-semak, baru menyusun narasi saja sudah terkapar di tengah tercederainya budaya dan sejarah. Walau kadang budaya seiring tipu daya sebuah sejarah. Menjadi dogma harus diikuti, kalau tidak kualat nantinya.

Intimidasi sebagai budaya edukasi bagi saya cukup konyol. ‎‎Terlalu rapuh dan mudah luruh atas nama budaya dan cerita sejarah yang disesuaikan pemeran dan pemenangnya. ‎‎Rasanya saya sudah terlalu jauh mengurusi profesi dan sistem. Sementara saya belum bisa menentukan sikap dan cara bereaksi menerapkan aplikasi dari sekuntum ilmu dan pengetahuan yang juga masih minim bin konyol. ‎‎

Tetapi apa salahnya, sebagai reaksi yang menjadi pemantik, setidaknya menggelitik agar para peminat dan sebagai profesi guru segera bangkit dalam peradabannya sendiri. Bukan saling mengungkit kesalahan kepala sekolah, para guru dan sekitarnya.

‎‎Belajar mengajar setiap detik, agar tidak terkesan menghajar. Bangun peradaban itu, dengan atas nama “sumpah dan arumu” saat menjadi pengabdi negara/tenaga pendidik yang di sokong negara (dijamin) hidup dan penghidupannya. Agar kemajuan pendidikan bukan di atas kertas.

‎‎Jadilah pemandu, menghantar. Genggam erat tangannya sampai ke gerbang impian. Bukan hanya menjemput di pintu gerbang, pada jam ting-tong pukul pagi yang juga semuanya terpaksa untuk disiplin.


Comments

2 responses to “Mengajar Bukan Mendidik!”

  1. Andira Avatar

    Di antara ulasan dari Artikel ini yaitu mengajar bukan mendidik ada paragraf terakhir yang saya like yaitu”Jadilah pemandu, menghantar. Genggam erat tangannya sampai ke gerbang impian. Bukan hanya menjemput di pintu gerbang, pada jam ting-tong pukul pagi yang juga semuanya terpaksa untuk disiplin” karena setelah itu ada pendidikan informal yang jauh lebih utama adalah softskill keluarga 🙏🙏

    1. Dion Syaif Saen Avatar
      Dion Syaif Saen

      Wow. Mantap ini kakak penerjemahannya. Makasih telah berkenan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *