Menunda Ritual Jumat?

Menunda ritual Jumat. Apakah terpaksa? ‎Iya! Begitu diperhadapkan pilihan dilematis yang sangat dramatis.

‎‎Atau saya berdosa dalan dua dimensi perintah antara Tuhan dan ammak (ibu)? Linglung mencari letak ukuran dosa di mana? Saya mulai terlibat dalam dua situasi yang sakral.

‎‎Berusaha tidak gegabah pada keputusan saat ritual Jumat sudah memanggil. Di mana orang-orang bergegas, lengkap dengan gamis serta wangi parfum sebagai sunah, katanya. ‎‎

Wets. Atau terlalu membuat alasan saja? Tergantung tafsir dan interpretasi. Sebab saya mengakui diri ini pendosa yang masih menekuni tambal-tambal dengan taubat. Padahal sedikit muslihat. Hehe.‎‎

Saya mulai merasa kacau memutuskan. Betapa konyol dan tololnya saya. Gerutu hendak, tetapi sementara ammak dipenuhi kecemasan ketika saya tinggalkan saat itu juga.

‎‎Mencari penguatan sebagai dasar. Sembari menghubungi seorang teman via WhatsApp. Sekadar mencari referensi, agar saya tidak mengada-ada membuat alasan.

‎‎Menurutnya pada uraian dan penguatan landasan salat Jumat, pada sebuah laman, tertera pemahaman tafsir bahwa “fas’aw” artinya bersegeralah, bukan hanya anjuran tapi bentuk perintah.‎‎ “wadzarū al-bay’” artinya tinggalkan kesibukan duniawi.‎‎

Terjelas bahwa betapa menunjukkan wajibnya salat Jumat bagi laki-laki muslim, baligh, berakal, dan tidak punya uzur syar’i.‎ ‎Kemudian di laman tersebut ditambahkan hadis Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan Muslim no. 865:‎‎ “Orang yang meninggalkan salat Jumat tiga kali berturut-turut karena meremehkannya, maka Allah akan mengunci hatinya.”

‎‎Saya kembali tercekat. Beberapa kali saya menunda dan memilih di rumah atas perintah ammak. ‎‎Dan dalam riwayat lain di sana terjelaskan: “Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at tanpa uzur, maka dia telah dicatat sebagai orang munafik.”‎‎ (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).

Sesiapa yang dibolehkan tidak Jum’atan? ‎Para ulama menyebut unsur syar’i yang membolehkan tidak Jum’atan: ‎‎Sakit yang membuat sulit pergi dan ketika dalam keadaan musafir. Ditambah Kondisi darurat: hujan deras, bencana, atau mengurus orang yang butuh bantuan langsung dan tidak ada pengganti.

‎‎Ibn Qudamah (ulama mazhab Hambali) menulis dalam Al-Mughni: ‎‎“Jika seseorang sibuk menjaga orang yang sedang sakaratul maut dan tidak ada yang menggantikannya, maka boleh baginya meninggalkan Jum’at dan salat berjamaah.” ‎‎Namun, paranoid atau ketakutan psikologis ringan dari orang tua, belum tentu masuk kategori uzur, kecuali sudah dikonsultasikan secara medis atau ada potensi bahaya nyata yang membuat itu mendesak.

Nah, di sini saya mulai terpantik, saya belum masuk kategori darurat situasinya. ‎‎Saya mengindahkan pinta ammak selain dalam kondisi tidak stabil, tetapi ada ketakutan ketika saya tinggalkan mereka berdua saja cukup rawan, ketika seorang Tata’ memaksakan diri hendak keluar rumah seperti biasa. ‎‎

Pikiran itu sering ada dan hadir takut terjadi sesuatu, yang tak mampu dilerai dan cukup fatal baginya. ‎‎Saya mengalah agar jiwa dan pikirannya tenang, dan menunda  salat Jumat. Meski  pikiran saya tidak karuan bin kacau. Jika toh juga saya memilih ritual jumat, maka titik fokus untuk ibadah kacau balau, dihantui suasana di rumah dengan segala pikiran, meski Tuhan Maha Menjaga sebagaimana saya yakini. ‎‎

‎Apakah kewajiban tidak gugur karena pilihan emosional memilih “berbakti dengan cara tidak Jum’atan” harus diuji. Apakah itu bentuk darurat atau bentuk kompromi emosional? Saat berusaha mencari solusi dan tafsir dengan seseorang di ruang chat. ‎‎D membalas dan menyematkan nama Imam Syafi’i berkata: ‎‎“Tidaklah gugur kewajiban karena keraguan, dan tidak gugur perintah karena takut kehilangan dunia.” ‎‎

Refleksi untuk penutup‎ menunda Jum’at bukan hanya soal hukum, tapi soal–‎‎dia menambahkan lagi–bahwa: siapa yang kita prioritaskan saat ada dua kebaikan?‎‎Apakah ini kondisi darurat atau hanya rasa tidak enak hati?‎‎Apakah saya menenangkan hati orang tua, tapi sekaligus mengabaikan panggilan Tuhan? Saya menenangkan dan merenungi kembali. ‎‎Sebuah dilema antara Tuhan dan ammak di waktu bersamaan pada sebuah ritual Jumatan antara sunah dan wajib.

Saya merasakan kecamuk. ‎‎Dosa mana lagi yang saya tidak lakukan, dan butuh persetujuan Tuhan mengampuni kapan saja. Bukankah Tuhan Maha Pemaaf pula? Situasi pada rangkai tanya jawab dengan diri sendiri.

‎‎Wajah ammak tampak sayu, tubuhnya lunglai dan matanya tak secerah dulu. Ada kekuatan dia mencoba membantah sakitnya. Agar terlihat tegar dan kuat di mata kami. ‎‎Haruskah saya  tinggalkan karena waktu Jumat sudah separuh menit akan dimulai. Sementara dia mengubah ibarat, ketika memintaku untuk menunda kali ini salat Jumat.  ‎‎Beberapa alasan saya coba untuk tidak khawatir ketika saya tinggalkan sejenak. Dan ini sering terjadi sekian lama paranoidnya ketika saya tinggalkan rumah berlama-lama di luar.  ‎‎Traumanya semakin memengaruhi psikisnya, pada akhirnya sering drop. Karena tidak mampu mengimbangi kekuatan pikiran dan fisiknya yang sudah tak lagi seperti sediakala. ‎‎

Apakah saya berdosa? Jawabnya ada di atas sana, katanya. Di antara selera ritual Jumat dengan terpaksa, atau beberapa faktor untuk melengkapi hari, sebelum dan sesudahnya? Pertanyaan ini muncul dengan rasa konyolnya saya. ‎‎Kepada siapa mengadu, dari dadu-dadu dunia dan wasiat manusia yang kadang tersekat dinding atas nama agama dan ketuhanan. 

‎‎Bagaimana pula sebuah haru sakral Jumat dimulai? Seseorang menempatkan pertanyaan saya ini dengan bijak, tanpa menuduhku piti-piti. ‎‎Menghantarku sambil menuntun ke sebuah titimasa bagaimana musabab dilaksanakannya salat Jumat pada tujuh pemberian hari dan nama yang bergabung dua ritual seminggu, yaitu Jumat dan Minggu dua agama besar melepaskan duniawinya untuk menyatukan ruhaninya. ‎

‎Tanpa basa-basi apatahlagi pengantar kata, dia membuka satu percakapan dalam halaman sejarah bagaimana ritual salat Jumat dimulai. ‎‎Umat Islam memiliki hari istimewa, yakni Jumat. Karena di hari tersebut diwajibkan melaksanakan salat Jumat berjamaah. Akan tetapi, tidak semua umat Islam mengetahui sejarah dan dalil disyariatkannya salat Jumat tersebut.‎‎

Salat Jumat merupakan satu dari beberapa tuntunan syariat yang dikhususkan untuk umat Nabi Muhammad saw. ‎‎Tidak pernah ada dalam sejarah nabi sebelum Rasulullah saw dituntut melakukan salat Jumat. Kewajiban Jumat dimulai saat Rasulullah saw masih berada di Mekah.‎‎Tepatnya pada waktu malam Isra’ Mi’raj. Namun, belum pernah dilaksanakan di sana karena belum terpenuhinya standar jumlah orang yang merupakan salah satu syarat wajibnya Jumat. ‎‎

Di sisi lain, pada waktu itu, dakwah Nabi saw., masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga belum memungkinkan untuk dilakukan.

‎D melanjutkan, sambil menatap warna muka saya yang mulai serius mendaras dan menikmati laman-laman sejarah lainnya.

Menurut Ibnu Hajar Al-‘Asqalani ditegaskan bahwa beberapa hadis sahih menunjukkan salat Jumat difardukan di Madinah.

‎Pendapat yang satu ini yang katanya sang maha guru para ulama ahli hadits ini tidak bertentangan dengan keterangan di atas.

‎Pendapatnya diarahkan bahwa kewajiban Jumat baru tercapai secara sempurna di Madinah karena telah terpenuhinya syarat-syarat kewajiban menjalankannya.

‎Tidak menutup kemungkinan sebelum di Madinah, salat Jumat sudah diwajibkan namun masih terdapat uzur yang menggugurkan kewajiban menjalankannya.

‎Rasanya saya terlampau jauh rupanya memahat Jumat di narasi ini. Semoga tidak teledor dan keluar jalur.

‎Kendati demikian, ketika saya diperhadapkan setiap kali peristiwa di ritual Jumat. Maka saya bercakap kepada-Nya. Menyerahkannya, tanpa harus saya beranikan diri bermain di tatanan logika yang kadang berhamburan tidak karuan.

‎Mengubah ketauhidan dengan rekayasa dalil yang serampangan. Lalu saya memutuskan untuk Jumat kesekian ini saya memilih ammak.

‎Kembali saya menemui ammak yang masih berbaring, memastikannya untuk sekadar melihat cerianya, yang tadinya pasrah dan hendak mengalah.

‎Ada hamparan sabana kembali ketika saya memutuskan untuk menunda menuju ritual Jumat. Meski saya meyakinkannya akan mencari masjid paling tercepat menunaikan dan melaksanakan.

‎Masjid tanpa banyak serimoni, menghantar Jumat di mimbar dengan pengumuman sederet catatan.

‎Sementara jamaah resah gelisah hendak menyesuaikan waktu dan kesempatannya menunaikan tanpa beban dan gerutu. Ini sering terjadi di fenomena Jumat di setiap masjid yang kadang molor bin lama. Hehe.

‎Apakah saya terpaksa? Ya, atau merasa terbebani. Bisa juga! Tanpa harus munafik mengakui. Agar rasa lega pada kejujuran murni di situasi yang palsu setiap saat manusia sebagian memilih bersikap seperti itu.

‎Dari pada saya harus berbohong seolah rasa sayang sama ammak, atau seolah perhatian, menjaga, dan tidak harus membantah.

‎Padahal saya pendosa dan pembantah yang cukup produktif. Hem.

‎Siang kemudian merambat, di atas kepala, matahari membantai bumi dengan gerah sekian derajat. Mendung di selaksa ammak, menenun dirinya dengan penuh khidmat, dari sekian Jumat kadang saya harus segera tunda atas pintanya. Tatkala di mukim kami sepi tersisa kami bertiga.

‎Keputusan dramatis saya ambil. Dan saya memilih menjaga suasana batinnya. Menunda ritual Jumat kesekian kalinya.

Sumber gambar: Tribun Jabar


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *