Di penghujung bulan suci, ketika takbir mulai merayap ke sanubari, para perantau berbondong-bondong pulang. Ada kerinduan yang tak tertahankan, rindu akan rumah, rindu akan keluarga, dan rindu akan tanah kelahiran yang selalu menanti dengan pelukan hangat. Jalanan berdenyut dengan roda-roda kendaraan yang melaju, seolah membawa hati yang bergejolak oleh harapan dan kebahagiaan.
Mendengar kata “perantau”, keterangan apa yang lahir di benak kita? Bukankah di negeri ini, sering kita jumpai seseorang bersafar di tanah rantau. Apa makna “mudik” di alam pikir kita? Apakah rutinitas itu sekadar parade tahunan? Lalu, apa makna “kampung halaman” bagi setiap orang? Apakah kampung halaman sekadar persemayaman yang memeluk, usai diri ini diremukkan oleh kenyataan di luar sana? Atau justru tempat yang sedapat mungkin dihindari, sebab anggapan bahwa kampung halaman hanya menyajikan kesemrawutan. Sudah sering kita saksikan, seseorang melarikan diri dari kampung halamannya agar tidak terus-menerus tenggelam dalam situasi keseharian bersifat statis yang mungkin berpotensi menghilangkan kewarasannya.
Lebaran kali ini, sebagaimana diumumkan oleh Kementerian Agama melalui sidang Isbat, akan jatuh pada 31 Maret 2025. Jauh sebelum hari kemenangan itu tiba, arus mudik telah mengalir seperti sungai yang mencari muaranya. Namun, perjalanan panjang bukan sekadar urusan fisik, melainkan juga ruhani. Di tengah hiruk-pikuk jalanan, di antara kendaraan yang menderu dan tubuh yang letih, ada satu ruang teduh yang siap menyambut para musafir perjalanan ini: Masjid Ramah.
Sebanyak 6.291 masjid di jalur mudik telah disiapkan sebagai posko bagi para pemudik. Masjid bukan hanya tempat bersujud dan berdoa, tetapi juga menjadi rumah persinggahan yang menghapus lelah dan menghangatkan hati. Di sana, pemudik bisa merebahkan diri sejenak, menyeka peluh, dan meluruskan kaki yang letih. Ada air untuk membasuh wajah, ada lantunan ayat suci yang meredakan gelisah, ada senyum hangat para relawan yang menyambut dengan kkeikhlasan
***
Tiga tahun silam, Puang Lolong bersiap meninggalkan kampung halaman. Namun, raut wajahnya tak tampak seperti biasanya yang sehangat musim semi. Ia mencatat tanggal perpisahan dari kolega dan sejawatnya. Barangkali ia berpikir bahwa ekspedisi ini akan terasa lama, bahkan bisa bertahun-tahun.
Malam sebelum keberangkatan, ia bergelut dengan nelangsa sembari mencomot beberapa lembar pakaian dari lemarinya. Berbeda dengan diriku, sekadar menukar rasa sunyi dengan mengidungkan irama-irama kurdi yang kupelajari dari beberapa kanal YouTube yang kuotak-atik.
Aku dan Puang Lolong melakukan perjalanan panjang, dari Bulukumba, Sulawesi Selatan bertandang ke kota penghasil terasi, Cirebon, Jawa Barat. Tak seperti biasanya, entakan kaki Puang Lolong beringsut ketika berjalan. Langkahnya agak sempoyongan, matanya berkaca-kaca, ia berusaha menahan laju air mata kesedihan di balik kelopak matanya, sebab ia fardhu ‘ain berjeda jarak dari keluarga dan kampung halamannya.
Tempo hari, aku mengatakan kepadanya, “dik, maaf telah mengambilmu dari keluargamu, engkau saat ini menjadi tanggung jawabku. Maka, aku akan berusaha memenuhi kebutuhan lahir batinmu, sebagaimana keluargamu melakukan hal itu, kelak beberapa tahun ke depan, kita tetap balik ke Sulawesi”. Aku berlagak pangeran menenangkan hati dan pikiran sang permaisuri.
Sepanjang perjalanan, sesekali ia menundukkan kepala menatap ponsel di genggamannya. Sesekali ia melihat wajah keluarganya. Sesekali juga ia melihat pemandangan di sekelilingnya. Kami mengarungi ribuan detik yang tak mudah, melewati gunung-gunung, hiruk-pikuk kota tiap kabupaten, melintasi jalan berlubang, guyuran hujan, suara petir, serasa melengkapi kesedihan yang menyambar.
Aku juga melihat bola mata Puang Lolong tampak menjadi cuaca mendung, mendadak mengucurkan air mata deras mengalir di pipi tembamnya. Sepatah kata pun tak terucap dari lisannya, aku menghormati kesedihannya.
Tiba-tiba ia berujar, “kak, apakah engkau tahu rasanya berpisah dari keluarga? Berapa tahun lagi aku harus berjarak dari mereka? Kapan engkau membawaku kembali?”. Jemarinya kugenggam erat, tubuhnya bersandar di dadaku, aku tak menjawab sama sekali pertanyaannya. Sebab, aku sudah memahami lukanya. Dalam pelukanku, ia tak kuasa menahan derasnya air mata kesedihan. Aku biarkan ia membanjiri kemeja pemberian ibunya dari hadiah pernikahanku. Ia mulai menyeka air matanya, mencoba berdamai dengan situasi yang teramat sulit diajak kompromi. Tak terasa Pelabuhan Makassar tampak di depan mata.
Tiba di pelabuhan Makassar, kami berdua pun melepas lelah. Kami bersapar di aspal hanya beratapkan langit serupa tuna wisma, beralaskan tikar sewa sepuluh ribu rupiah layaknya gelandangan, sembari menunggu laut dibelah oleh bahtera penjelajah samudera di pagi buta, tepat pukul 05.00 WITA, Makassar (20/9/2024). Kami pun naik kapal KM DOROLONDA, menjelajah lautan dan akan berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta.
Di tengah petualangan ini, kami merumpi banyak hal tentang kondisi budaya Cirebon. Hangat-hangatnya pembicaraan, dalam hati aku bergumam, “tenang dik, kamu akan menghabiskan waktumu di Cirebon dengan riang gembira. Aku akan membawamu ke Yogyakarta sebagaimana yang telah engkau ceritakan kepadaku. Impianmu segera terwujud. Selepas itu kita balik ke kampung halaman membangun masa depan kita di tanah Sulawesi”.
Yah, begitulah predisposisi manusia, sejauh mana ia melangkah, dan di mana pun ia berlabuh, pada akhirnya kampung halaman tetap menjadi tempat ternyaman memupuk bahagia dan membunuh nelangsa yang sulit dijinakkan. Penduduk negeri ini mengagendakan mudik tiap tahunnya. Tak heran jika setiap momen hari raya, kendaraan berlalu-lalang membanjiri jalan dari kota hingga ke pelosok desa.
Mudik tak sekadar membawa oleh-oleh dari tanah rantau. Tak sekadar menceritakan budaya orang nun jauh di sana. Tak sekadar mengenalkan hal baru dari kawasan mengais banda, lalu, dipaksakan masuk mengoyak kearifan kampung halaman. Di sinilah kecerdasan kita teruji, apakah kita berkelana “membunuh kampung halaman” atau “mengubah kampung halaman?”
Aku sendiri menyaksikan teramat banyak manusia merantau hanya untuk memamerkan intelektualitas, kekayaan, budaya, gaya hidup glamor, dan cara berbahasa. Mereka mereken kampung halaman semata-mata menawarkan kekunoan, kemiskinan, dan kebodohan. Padahal, tubuh mereka menyata dari sebuah kearifan yang dilahirkan kampung halaman.
Kampung halaman bak ruang “bertapa”, mendeteksi kearifan dalam kesunyian. Kearifan itu menyata di kedalaman makna tubuh pemudik. Kita menemukan diplomasi rasa, tubuh, dan pikiran menuju satu titik dalam dimensi kesakralan kampung halaman yang tak pernah lelah, setia menunggu kita dalam kondisi apa pun dan di mana pun.
Kearifan kampung halaman menjadi tempat reflektif untuk mengetahui siapa kita dalam bingkai kehidupan masyarakat. Penawar bagi jiwa-jiwa yang sakit sebab rindu. Bukankah kota itu lahir dari kampung-kampung yang dihancurkan oleh proyek para kapitalis. Walakin, kota tetaplah kampung. Kampung jua adalah kota.
Kampung dan kota seperti sisi mata uang yang saling membutuhkan dalam satu-kesatuan. Meskipun secara desain memang jauh berbeda, mulai pola tidur, pola makan, sampai pola pikir. Namun, ini tak harus menjadi jurang pemisah, ada baiknya menjadikan kota dan kampung sebagai arketipe menatap dinamika gaya hidup dan alterasi budaya.
Abi Muhammadun pernah meyampaikan kaidah dalam pergaulan di kota dan kampung kepada santrinya, “jika bergaul di kampung halaman, lihatlah semua orang sebagai orang baik, meskipun terdapat beberapa orang buruk, agar engkau tak berburuk sangka. Jika bergaul di kota, lihatlah semua orang sebagai orang buruk, walaupun terdapat beberapa orang baik, agar engkau mawas diri”.
Kembali ke kampung halaman, memberi kita kesempatan mengeja nama kampung, memaknai ulang nilai-nilai yang terkandung, hingga melahirkan makna mendalam bahwa “rindu kampung”, menyata sebagai kebutuhan yang disegerakan. Maka, perantau, mudik, dan kampung halaman berkoalisi untuk menegaskan bahwa “karsa rasa” tak bisa ditukar dengan “jebah harta”.
Kredit ggambar: Detikcom

Lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 02 September 1995. Ia menyelesaikan studi S1 di Institut Agama Islam As’adiyah (IAI) Sengkang Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah Filsafat Islam tahun 2019. Tahun 2021, ia juga berstatus sebagai mahasiswa penerima program beasiswa PBSB Kemenag di Universitas Islam Bunga Bangsa Cirebon (UI BBC) Fakultas Manajemen Pendidikan Islam Jurusan Manajemen Pendidikan Islam dan menyelesaikan studi S2 tahun 2023. Sebelumnya, ia pernah mondok di PP Syekh Muhammad Ja’far Banyorang Kabupaten Bantaeng, Sulsel. Selanjutnya, di PP Nurul Falah Borongganjeng Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Lalu, di PP As’adiyah Sengkang Kabupaten Wajo, Sulsel. Terakhir, di PP Darul Ulum Ad-Diniyah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ia juga aktif sebagai relawan PMI di Kabupaten Wajo, serta, menjabat sebagai Wakil Ketua BSO Moragister Kemenag Periode 2021-2023. Pernah ikut Kelas Menulis Esai Rumah Baca Panrita Nurung dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.
Leave a Reply