Na apajia ana’. Punna nia’mi russaka, nanu anre angkatutui sikuntu niaka rikau battu kabattuangna barang-barangnu surang kaniakkangna. Tiada guna semuanya, hanya membuat menjadi petaka kelak jika tidak sesuai hak sesungguhnya.
Masih terngiang masa kecil, remaja sampai dewasa para orangtua kami, dan hampir semua sepupu mengalami buah kisah tentang konon katanya, bagaimana situasi nakaluki kanyamangngang surang sebuah kekuasaan yang nyaris tidak diakui oleh zamannya.
Yang tadinya menurut saya hanya khayalan. Namun, benar adanya beberapa peninggalan walau kini tersisa kenangan.
Kisahnya ibarat sebatang kara. Seperti pabrik kopi katanya di masa kolonial Belanda atau pada era Nippon. Hingga julukan nama Pa’bumbungang tersemat bukan sekadar nama begitu saja. Namun, menjadi lumbung kesejahteraan pada daerah dan untuk anak-anak, serta masyarakat walau masih sebagai kerabat keluarganya. Dan itu konon adalah milik seorang bernama Pama’ bin Ma’dunda bin Serang.
Terkait asal mula penamaan. Seperti dilansir sebuah laman, bahwa asal mula nama tempat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti alam, budaya, sejarah, dan kebiasaan.
Faktor alam, keadaan topografi dan vegetasi, nama sungai, lautan, dan pegunungan. Terlebih Faktor budaya dan sejarah. Nama tokoh masyarakat atau jawara yang hidup di sana, tempat yang berasal dari bahasa daerah tertentu dan dari legenda.
Ada juga faktor kebiasaan. Nama tempat yang berasal dari kebiasaan penduduk setempat.
Faktor sejarah. Nama tempat yang berasal dari sejarah suatu daerah dipengaruhi dialek dan peristiwa setempat, sebagai sebuah kearifan.
Pa’bumbungang, suatu masa dalam sejarahnya dengan sosok bernama Pama’. Sebagaimana sematan Pa’bumbungang terhubung dengan nilai-nilai luhur dari leluhur. Jejaknya di antara buyut mungkin hanya segelintir. Tapi pada penelusuran terkait “pakkalumanynyanganna“.
Konon kekuasaan di masa kejayaannya pada harta bendanya semua data kami tampung tentang pakkalumanynyanganna memang dikenal bagi mereka yang pernah menjadi bagian adat sampulo anrua. Menyebut nama tempat, Era kekuasaan katanya pernah jannang (Mappilawing/pada hubungannya kare‘ lawi-lawi). Tapi kami masih mencari sumber/data lagi.
Ada beberapa yang membuat kami terdiam, tercengang mendengarkan beberapa sumber. Sisi misteri yang unik pada sosok Pama’ hingga akhir hayatnya. Di antara nakalukinna nyamang. Bagai disulap seketika raib oleh sebuah dinamika konflik pasca kemerdekaan.
Dan masih kami temukan sendiri dari salah satu cucunya yang sampai sekarang masih hidup. Sebagai salah satu sumber. Bukan semata satu, dua, tiga dan lima. Kalau perlu ada jejak (artefak) selain biji kopi dan pabrik kopinya.
Belum dari sosok yang juga membuat kami dibuat kalang kabut mencari tahu jejaknya. Kalau Pama’ nakaluki nyamang seperti itu. Bagaimana dengan Ma’dunda? Tak lain adalah ayah dari seorang Pama’ itu sendiri. Betapa kuasa itu bada dengan mereka dari tanah, kebun kopi dan pabrik kopi di zamannya, menyuplai mendistribusikan ke beberapa daerah.
Semi penelitian, menembus dinding zaman dan pusara dari sejuta prahara. Laiknya akademisi kami masih butuh metode lain. Ibarat seribu sampel, bukan semata nempel di memori, kemudian menjadikannya sebagai rujukan referensi. Agar guyup tidak gugup, dan harus bangga dengan buyutnya sendiri.
Sejenak kami jeda merenungi! Apalah arti pakkalumanynyangang (kekayaan). Jika hanya sengketa antar saudara tak berujung. Membuat semua terlena dunia? Laju kendaraan saat tanjakan, kemudian mengendalikan rem, bersiap kembali untuk di ujung tanjakan, belokan kiri melewati jembatan dan rimbunnya rumpun bambu berjejer, bagai menyambut kehadiran kami siang menjelang sore. Suasana alam Pa’bumbungang memberi suasana tersendiri.
Betapa “sanna nakalukinna kanyamangngang“. Begitu kuasa, tapi apa hendak dikata manusia tak punya hak milik seutuhnya. Dia sadar bahwa dan ending-anya semua belo-belonaji lino.
Penelusuran berlanjut, sesuatu yang misteri. Dari wajahnya serta nama sesungguhnya masih kami mencari nama “Pama’ atau punya nama lain”? Kemudian kami menggali beberapa sumber. Karena dalam hal ini butuh ekstra hati-hati. Butuh pembanding lain. Tidak hanya satu titik sumber informasi.
Dengan cara wawancara dan menemui langsung sumber beberapa sanak keluarga lainnya. Tanpa menafikan sumber awal di mana di sanalah rumah sosok tetua kami: Tata’ Saleng, saya memulai sampai saat ini. Hingga bannang pangjai keluarga silaturahmi itu berjalan.
Menurutnya, kekuasaan dan kekayaan Pama’, dari ujung bukit sampai ke bukit seberang kampung adalah miliknya. Saat saya setiap saat menemuinya di lego-lego mukimnya.
Sumber lain juga sama. Kali waktu menanyakan kemudian perangainya. Pama’ itu “tau puriti (telaten), karakternya tegas. Sifatnya terbagi kepada seluruh anak-anaknya. Hingga pada sebuah tragedi memisahkan mereka (pemberontakan/gerombolan).
Ada hamparan sabana pada jiwa dan kemerasaannya, “Teako erokki nikua. Bajikangngangi taua angakuiko. Tapi to’do pulinu paenteng.” Begitulah makna nilai yang dia titipkan kepada anak cucu dan cicitnya. Agar semua terjaga dan terangkum dalam sebuah titipan bernama “kearifan leluhur”.
Raibnya ketika fase anynyingkiri (menyingkir) pada masa kolonial atau masa bernama sebuah gerakan “gerombolan”? Titik semua punah seketika. Atau memang Pama’ telah megusaikan diri dari duniawinya.
Semua menjadi sisa puing sejarah, pada arah jarum jam waktu ditimpuki sejarah baru. Dengan menyemai diri. Hingga masa wafatnya di sebuah kampung Paranga, berdekatan dengan isteri keduanya bernama Kati dan salah satu bernama Addulu.
Dan sebuah harapan hadir dari cucunya bernama Hj. Kamaria binti Jumada yang tidak lain dari isteri Bapak Jannang Ma’ne bin Piluru. Ketika menziarahi, kemudian memperbaiki, hingga masih terlihat sebagai penanda, serta salah satu rujukan dan petunjuk sampai sekarang.
Babad berikutnya terhadap Kajannanganganna. Hingga fase kejayaan kepada kami hanya diselipkan puing-puing cerita, pada saat nakalukinna kanyamangngang. Sebatas hanya menatap nisan dan mengirimkan doa. Pama taunakakuki nyamang tersisa kenangan terbaring kepangkuan kekuasan-Nya.
Apa hikma di balik semuanya? Para cucu, dan cicit hanya terdiam menengadahkan doa semata. Tentang nilai, seraya karakter dia bentuk hingga pada cara telaten menanam, memetik, mengolah buah dan biji kopi Pa’bumbungang. Agar hidup lebih sejahtera sebagai “pammono bokoang” (harapan terakhir) anak cucunya.
Bahwa hidup sementara saja. Tetapi manusia bertikai hanya hal sepele. Semua akan raib. Musnah seketika sesuai episodenya di dunia.
Tentang pakkulumanynyangngang. Dalam pelajaran sufi, bahwa harta, jabatan, dan kefakiran adalah ujian hidup. Harta yang ideal adalah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dan kekayaan ruhaniah.
Seperti filosofi para sufi tentang kekayaan, mengingatkan bahwa harta berlimpah, jabatan, dan kefakiran adalah ujian hidup. Harta yang ideal adalah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup. Bukan identitas kehidupan sesungguhnya. Kekayaan di mana-mana sering menjauhkan diri dari-Nya dan melenakan.
Maka apalah arti nakaluki nyamang jika kelak sisa kenangan. Bahwa orang-orang akan pergi, teman, sahabat, kerabat bahkan keluarga tersisa pengakuan saja?
Yang luar biasa adalah mereka yang turun sepenuhnya dari sisi finansial ke dalam pertempuran diri sesungguhnya. Agar segera turun menunduk, meredakan, dan kembali menempa diri dalam menempuh seluruh hasrat, keinginan yang sejatinya tidak dipaksakan.
Lamat-lamat di tengah percakapan dengan diri sendiri, sambil mengirimkan doa kepadanya atas nama Pama’ bin Ma’dunda. Berharap inkarnasi kembali hadir. Justru yang hadir adalah bertaruh membuang sauh di bukit gersang. Menanam tembaga, berharap tumbuhlah kesejahteraan, kebahagiaan. Semua hanya kenangan.
Apakah periodesasinya seorang Jannah Mappilawing sekitar tahun 1950-1952 masa gerilyia bernama “gerombolan” sebuah kelompok kala itu menerapkan sebuah kedok awal dengan ideologi Pancasila?
Kemudian Pada tahun 1953-1965? Seorang Kahar Muzakkar mengumpulkan massa untuk melakukan pemberontakan tahap kedua, yang beralih menggunakan ideologi Islam. Dan sangat berdampak pada suasana kekacauan kala itu. Semua habis, dengan miris.
Dua kekuatan dengan kelompok gerombolan dinamakan. Dengan pasukan khusus di kirim untuk melawan pemberontakan. Berdampak pada mereka buyut kami. Ironis bin miris. Saya berusaha menahan kelopak mata dan jatuh di tubir sejarah buyut Pama’ dibabat dan disuaikan.
Saat bedil-bedil para gerilya yang hendak menyatakan berdiri sendiri di Indonesia. Surut semua, karena diusir dari tanah leluhurnya sendiri saat di mana usianya sudah uzur dan tidak bisa apa-apa lagi. Hingga rumahnya nyaris tanpa jejak.
Antara perampasan dan penyelamatan atas nama rakyat. Tapi kemudian naluri kesadaranku mencari analisis lain. Kenapa juga yang katanya menurut cerita punya kesaktian. Dengan anak-anak yang hebat. Toh juga tidak ada yang bisa memvalidkan semua. Atau Pama’ mulai sadar dan menanggalkan semuanya. Bersembunyi dan sampai sekarang tak mau dikenali?
Dia dalam sepi, sunyi mendermakan akhir hidupnya. Tanpa upacara, tanpa karangan bunga, atas nama kalompoang. Surang saat nakalukinna kanyamangngang seorang Pama’ menerima dengan lapang dada.
Seperti petuah tuturnya dia berucap:
“Laku baungmi tubuku laku ronrong sumangaku laku soweang singara tangkalapakkang tubuku anrokoki tallasakku tallasakku anrokoki rahasiaku rahasiaku anrokoki nabi Muhammad tu para tu tujuanta karaeng“.
Ada sirat tersemat, bagai maklumat yang keramat kami terjemahkan juga tak bisa apa-apa. Seorang Pama’ yang konon pernah Jannang Mappilawing di masa kerajaan Bantaeng, serta rahasia dan misterinya dikenal dengan “nakalukinna kanyamangngang“. Pada akhirnya sepi menyelimuti hingga akhir hayatnya.

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply