Wangi kopi Pa’bumbungang masa kejayaannya, sekarang menentramkan sejenak pikiran saya. Meletakkan satu sesaji untuk menguatkan hati menerima segala konsekuensi dari segala kondisi dan dimensi.
Berapa cerita, mulai dari zaman Belanda sampai ke mata-mata Belanda. Hehe. Sampai pada dinamai gerombolan (pasukan). Hingga pada telikungan sejarah “kalompoangna” kemudian dikucilkan.
Bahwa pernah jaya tetapi seribu tipu daya. Membantai kebenaran sejarah, membuahi peristiwanya sendiri dari sekian banyak peristiwa jauh dari kemutlakan kebenaran sesungguhnya.
Mengapa juga dulu semua diam? Atau benarkah dulu seorang jannang pernah jengah lalu memberontak kepada karaeng? Karena adanya ketidakadilan hukum sosial, yang kemudian membuat seorang jannang memilih meninggalkan kedaulatannya?
Beberapa jannang duduk termangu di kalompoangna, hanya separuh pusara tanpa upacara dan nisan, serta namanya diselipkan di tengah para pendekar kesiangan. Maaf, ini hanya celoteh seorang cicit di tengah tangis sejarah yang legit.
Seakan tak punya nyali lagi, karena semua telah musnah, di hamparan sabana jiwanya dia sembunyikan keresahannya “nacokkomani dinging-dingingna, surang simpung narapang-rapangmami. Na apajia salla’ se’re wattu nia’ pasinga’ri sassangna sunggua riolo ri kalompoangna“.
Seorang jannang tanpa nama dan cerita. Hanya memungut serpihan sejarahnya dengan tersungut. Para dewa menanggung resiko telah membuat dongeng tumanurung yang cukup ekstrim. Kekuasaan seorang batara guru terselip manuskrip pada naskahnya yang panjang. Tergantikan oleh seorang pencatut dan pengakuan penjelajah padahal bersekongkol dengan penjajah.
Nakummuriang, lanri galesaku Runtu annawa-nawai. Apa saba, nanampa kuboya, kuosala assala’ku.
Berapa puluh tahun. Selisih waktu saat para kakek kita masih segar ingatannya kala itu, tidak sedari dulu menanyakan tentang buyut serta kalompoangna. Konon sebagai Jannang dan memerintah tanpa pamrih, atau buyut dulu terlalu arogan, atau idealis. Hingga tahtanya tak tercatat dalam sejarah di tanah bertuah leluhurnya sendiri?
Butuh satu hal yang lebih menguatkan tentang sejarah. Ada masa perhitungan yang bisa menemukan dan menentukan tahun. Karena mereka di antara kalompoangna mampu membuat bersanding silsilahnya terlepas benar atau salah.
dr. Rian dan Puspita semakin terbawa suasana, pada misteri buyutnya yang mereka sendiri yakin bahwa kalompoangna bukan sekadar cerita. Sebab era megalitik dan tradisi berkelanjutan di tahun 1.200-an. Sumber-sumber ditemukan semakin jauh ke zaman dan sebuah babad. Puspita mereka-reka sambil a’rapang-rapang dengan dituntun dr. Ryan yang cukup valid dengan data sekunder dan primernya. Lamat-lamat kita di tengah maklumat yang sebagian di antara kita masih terjebak hal keramat. Tetapi semakin kuat pula mereka berkhidmat.
Teringat pola seorang Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya berjudul Arok Dedes. Di sana Pram mengungkap sebuah misteri yang sekian lama kita terjebak lakon, kisah bahkan dalam film. Dengan menyusuri sisi lain di balik kekuasaan Tungguk Ametung, ada reaksi dan rekayasa dan cara jitu kebesaran (kalompoang) sebuah sejarah memang kadang butuh kesadaran dan kebesaran jiwa dalam menelusuri.
Bagaimana perebutan tahta, bagaimana strategi dan taktik. Mengapa juga kalompoangna hanya sekelompok tertentu saja merasa, atau saling menyandera satu dengan lainnya. Sementara benang merahnya ada tertulis dan tercerita dengan apik. Toh juga akhirnya “tappu bannang panjai“.
Seribu teka teki kata Puspita dan dr. Rian tentang kelopaknya saja kita nyaris hanya merasakan miris untuk lebih mengakui dan jujur pada sejarah yang tertimbun dan dilupakan, lalu kalompoang baru dimunculkan.
Mengutip seorang aktivis sejarah bernama Rafli, bahwa taktik perang dalam penguatan kekuasaan internal Kaka. Ada 3 kurikulum orng dulu untuk duduk di kursi tahta selain dari darah murni dan akhlak:
1. Menguasai sejarah daerah dan luar daerah. Guna untuk memahami bibit bobot lawan dan sekutu.
2. Menguasai bahasa asing. Digunakan dalam negosiasi kerja sama dll.
3. Menguasai tatik perang.
Ketika poin ke-2 tidak tercapai mufakat, barulah yang poin 3 maju. Kekacauan di mana-mana terjadi tentang pengkajian sejarah. Sebagaimana sejarah adalah dibentuk oleh para jawara dan penukil yang terdoktrin oleh rancangan idea yang juga dekil kala itu. Ada banyak cocoklogi. Tidak mencoba pada epimotlohi dan pandangan antropologi, sosiologi manusia.
Tentang bagaimana dulu hukum sosial kemanusiaan, berdasarkan kepatuhan, budak dan paling tidak kerjasama (sekongkol). Cara jitu meraih sesuatu dan menduduki kalompoang itu. Bukan sesaji, lalu mendermakan imajinasi menjadi halusinasi. Sementara sumber dan data itu banyak , serta cara ilmu pengetahuan bekerja. Toh juga mentok pada sesi wawancara dan penempatan data atau narasi yang dibangun sebagai pelengkap. Bukan memvalidkan kebudayaan yang sesungguhnya adalah kejujuran murni pada situasi yang palsu.
Merekalah Kelopak Bunga Biraengna Pa’bumbungang, seraya masih merebak semerbak wangi sejarah kopinya. Sebagai penanda identitas kalompoangna.
Terasa move on itu belum sembuh juga pada Ahad 23-02-2025 kala itu. Atas segala kerendahan hati ini. Sebelum dan sesudah menghaturkan banyak terima kasih tak terhingga dari ujung rambut dan ujung kaki.
Pamopporanga punna nia‘ hal bisa menjadi ketidaknyamanan. Biar membuat serumpun kita terhimpun dengan khidmat kemarin dengan segala antusias ta semua menyisipkan waktu, untuk berkumpul berbuka puasa.
Ada kerindangan yang menguatkan. Untuk betah dan selalu ingin bersua. Entah kenapa? Apakah karena misi menerjemahkan teka-teki/misterinya buyut kita? Dengan segala khidmat tanpa ada rekayasa serta tendensi lain. Semata atas nama besar kalompoangna buyut kita yang dikucilkan. Ini semua bukan karena satu dua dan tiga orang.
Semua karena lanri nia’ttangaseng ara’pung sibumbung a’rapang-rapang. Sicidongan siadakkang, massing appakarau, sipakatau langjari tanra bunganna ilangkebo pammateinna simpung boheta.
Semoga agenda demi agenda. Pertemuan ke pertemuan lainnya tetap terjaga. Rindu biarlah menjaga ritme kita. Agar tidak sikalajjui. Massing skatutui. Massing sipakainga’ sikajallai sierang rapangta aasiama Lino akhera‘.
Percakapan dari setiap yang kami anggap sebagai tetua, orang-orang yang juga bagian dari peristiwa sejarah Jannang Mappilawing. Dan beberapa telah kami temui, mengatakan bahwa benar nama “Pama” dengan kalompoangna.
Seorang pak Hamzah Makkasau salah satu tokoh budaya dan sejarah, secara beruntung di sebuah undangan yang sama kami bersua. Sebuah agenda terkait tema yang juga erat kaitannya dengan sejarah dan kebudayaan “Moderasi Beragama Berbasis Komunitas Budaya”. Di sana cukup memberi saya pertanda bahwa betapa serunai hidup seorang bernama Pama membuat kami semakin bergeliat menyusuri, meski seribu teka-teki.
Rasa bangga haru bercampur cemas itu kembali hadir menyelimuti, ketika Hamzah mengakui juga ada pernah nama itu dengan segala sepengetahuan dan ingatan waktu dan periode. Ada nama Pama terucap sebagai pengakuan. Membuat saya lega, bagai menemukan telaga pada dahaga tentang kisah, cerita sejarah yang menghiasi setiap cucu, dan cicitnya, bukan hanya cerita legenda dari dongeng yang sekadar membuat kami tercengang saja.
Ibaratnya, dalam menenun kami tidak harus tinggal semata termenung mendengar cerita dari legenda yang kini melanda cucu, cicitnya terbawa suasana. Bercampur aduk, hendak remuk namun masih betah dan kuat bertaruh dalam amuk rasa penasaran, berharap ada hamparan harapan titik keberadaannya memang ada.
Pencarian berlanjut menyusuri kembali jejaknya. Dengan narasumber secara pemetaan di tingkat internal kembali (keluarga terdekat), yang bisa memberi petunjuk dalam hal ini mukim tempat dulu kakek buyut “Pama” menjadi saksi sejarah kalompoangna. Yang kemudian melengkapi beberapa informasi dari unsur eksternal pula. Ada realitas, terkelupas di balik dinding waktu dan cerita. Ada beberapa yang bertirai agar jalur informasi tidak secara barbar.
Mengingat beberapa hal yang sepertinya dijaga atau sebuah misteri dari kalompoangna. Maka agar tidak menjadi penghalang pencarian kami penelusuran kami selanjutnya.
Cara lain ditempuh Puspita mengajak saya dan dr. Rian kembali pada suatu siang. Beberapa keterhubungan kalompoangna buyut Pama’. Menembus sore hingga menuju senja. Dan memenuhi undangan Risna untuk berbuka puasa. Seakan membacakan kami mantra sebagai alamat lewat hujan di Pa’bumbungang menuju ke referensi sumber baru selanjutnya. Jejak tahun masih tersimpan rapih di masanya.
Sari percakapan serambi ruang tamu hingga tibalah malam menyeret kami lebur mendalami satu penyusuran kembali malam itu. Ya, sebuah peti tua yang kami temui di sebuah rumah seorang buyut saudara Pama’ bernama Jamada. Terlihat masih memberi kesan nuansa yang cukup membuat saya terbawa suasana masa dulu dengan rumah panggung yang cukup besar mengisyaratkan dalam sirat, walau tanpa surat wasiat. Menambah penasaran dan semakin kuat membawa kami ke titik selanjutnya.
Seakan direstui, tidak pernah usai dan membuat khazanah menuangkan narasi ini membuat saya terbawa suasana. Haruskah inkarnasi?

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply