Guru: Pahlawan atau Penonton dalam Gerakan Bantaeng Bangkit?

“Bangkit” bukan sekadar kata. Ia adalah seruan, semangat, dan tindakan. Tagline “Bantaeng Bangkit” yang diusung oleh Bupati dan Wakil Bupati baru kita adalah sebuah janji, sekaligus tantangan. Janji untuk membawa perubahan, dan tantangan untuk mewujudkannya. Sebagai insan pendidikan, kita punya tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kebangkitan ini tidak hanya terjadi di atas kertas, tetapi juga di ruang-ruang kelas, di hati setiap guru, dan di benak setiap murid.

Tapi, dari mana kita mulai? Bagaimana memastikan bahwa kebangkitan pendidikan di Bantaeng bukan sekadar retorika, melainkan aksi nyata yang membawa dampak? Jawabannya mungkin ada dalam konsep deep learning (pembelajaran mendalam) yang juga adalah strategi nasional yang diusung oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk kualitas pembelajaran. Konsep ini mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekadar tentang nilai tinggi, tetapi tentang kemampuan murid untuk berpikir kritis, bertindak kreatif, dan berkontribusi pada lingkungannya. Kawan-kawan, mohon dicatat: Ini adalah esensi sejati dari kebangkitan pendidikan.

Deep Learning: Bukan Sekadar Nilai, tapi Aksi Nyata

Deep learning adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pemahaman mendalam, keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata. Ini sejalan dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, yang menekankan “pendidikan yang memerdekakan”, dan Kiyai Ahmad Dahlan, yang mengajarkan pentingnya “teologi Al Maun”—sebuah pemahaman bahwa pendidikan harus membawa manfaat nyata bagi masyarakat.

Dalam konteks Bantaeng, deep learning bisa menjadi kunci untuk membangkitkan pendidikan. Murid-murid tidak hanya diajarkan untuk menghapal rumus atau teori, tetapi juga untuk memahami bagaimana ilmu itu bisa digunakan untuk memecahkan masalah di sekitar mereka. Misalnya, murid bisa diajak untuk mempelajari ekosistem lokal, menganalisis masalah sampah di lingkungannya, dan merancang solusi sederhana yang bisa diterapkan. Ini adalah bentuk pembelajaran yang mendalam, yang tidak hanya mengasah otak, tetapi juga hati dan tangan.

Guru sebagai Agen Transformasi

Sayangnya, kebangkitan ini tak semudah menyebut katanya: Bantaeng Bangkit. Dalam konteks pendidikan maka banyak hal yang mesti dipertegas. Bangkit dari mana? Bangkit dari lima indikator hasil asesmen rapor pendidikan? Jika ini yang dimaksudkan, maka tantangannya adalah guru dan seluruh tenaga kependidikan, pemerintah daerah dan tentu saja pemerintah pusat sendiri.

Mari kita bahas dalam perspektif guru. Deep learning tidak akan terwujud tanpa peran aktif guru. Di sinilah letak tantangan terbesar kita. Mungkin banyak guru dan tenaga kependidikan yang urusannya hanya soal dukung mendukung slogan. Bantaeng Bangkit, misalnya, tanpa memahami esensi utamanya. Mereka mengeluh tentang kurangnya fasilitas, masih rendahnya gaji, atau beratnya beban kerja, administrasi yang masih dianggap bertele-tele, tetapi lupa bahwa perubahan selalu dimulai dari diri sendiri.

Jika kita benar-benar mendukung program ini, maka sudah saatnya kita berhenti mengeluh dan mulai beraksi. Guru harus menjadi agen transformasi, yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi. Mulailah dengan inovasi kecil di ruang kelas: gunakan metode pembelajaran yang lebih interaktif, ajak murid untuk terlibat dalam proyek-proyek nyata, dan ciptakan lingkungan belajar yang memicu rasa ingin tahu. Ingat, seperti kata Kiyai Ahmad Dahlan, “Jangan hanya mengajar, tetapi juga menggerakkan.”

Belajar dari Sejarah: Transformasi Zaman ke Zaman

Sejarah mengajarkan kita bahwa kebangkitan selalu dimulai dari kesadaran, dan kesadaran itu lahir dari pembelajaran. Dalam buku Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926, yang ditulis oleh Shiraishi Takashi menggambarkan bagaimana tokoh-tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, Agus Salim, Semaun, dan Ki Hajar Dewantara menggunakan pendidikan sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran rakyat. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga membentuk karakter dan visi murid-muridnya.

Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan semangat teologi Al Maun, yang menekankan pentingnya pendidikan yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Sementara Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa dengan prinsip “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, yang menekankan peran guru sebagai teladan, motivator, dan pendukung. Kedua tokoh ini berhasil menciptakan transformasi besar-besaran di zamannya, karena mereka tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak.

Belajar dari sejarah, maka semestinya sekolah adalah lahan subur kebangkitan? Bukan hanya soal pertanian, infrastruktur, kebahagiaan warga. Percayalah hanya dengan pendidikan yang berkualitas dan mendalam yang bisa menghasilkan ketiga sektor tersebut. Karena itu, pilihannya adalah sekolah harus kembali menjadi lahan subur untuk menumbuhkan kritisisme, kreativitas, kemandirian, dan rasa kebangsaan. Ini bukan tugas mudah, tapi bukan pula mustahil. Kita bisa mulai dengan menciptakan ruang-ruang dialog di sekolah, mendorong murid untuk berpikir kritis, dan mengajarkan mereka bahwa belajar bukan sekadar untuk ujian, tetapi untuk kehidupan. Murid bisa diajak untuk mempelajari sejarah lokal Bantaeng, menganalisis masalah sosial di lingkungannya, dan merancang proyek-proyek kecil yang bisa memberi dampak positif. Ini adalah bentuk deep learning sejati, di mana murid tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu menerapkannya dalam konteks nyata.

Jangan Hanya Slogan, tapi Aksi Nyata

Namun, semua ini tidak akan terwujud jika guru dan tenaga kependidikan hanya mendukung slogan tanpa memahami esensinya. “Bantaeng Bangkit” tidak akan berarti apa-apa jika kita hanya mengulang-ulang kata itu tanpa tindakan nyata. Sudah saatnya kita berhenti menggerutu tentang kekurangan dan mulai bergerak memperbaiki ekosistem pendidikan kita. Guru harus menjadi teladan, yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi. Tenaga kependidikan harus menjadi pendukung, yang tidak hanya mengelola administrasi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Dan murid harus menjadi pusat dari semua ini, karena mereka adalah generasi yang akan membawa Bantaeng ke masa depan.

Lalu kita bisa mulai dari mana? Mulai dari membaca, bergerak dengan tindakan. Mari kita mulai dari hal kecil: membaca. Please deh, buku Zaman Bergerak adalah langkah pertama yang tepat untuk dibaca bagi siapa saja yang merasa bahwa Bantaeng Bangkit adalah pilihan yang tepat untuk perubahan. Dari sana, kita akan menemukan semangat dan strategi untuk membangkitkan pendidikan di Bantaeng. Ingat, kebangkitan bukan sekadar tagline. Ia adalah aksi, tindakan, dan komitmen. Ayo, guru-guru Bantaeng, mari kita bergerak. Untuk anak-anak kita, untuk masa depan Bantaeng, dan untuk Indonesia yang lebih baik.

Dengan semangat deep learning, mari kita ciptakan pendidikan yang tidak hanya menghasilkan nilai tinggi, tetapi juga generasi yang berani berpikir, bertindak, dan berkontribusi. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tumbuh kembang anak.”  Mari kita wujudkan itu, dimulai dari ruang kelas kita sendiri.

Kredit gambar: JurnalPost


Comments

2 responses to “Guru: Pahlawan atau Penonton dalam Gerakan Bantaeng Bangkit?”

  1. Ikbal H Avatar

    Jauh sebelum slogan “Bantaeng Bangkit”, sebagian guru sudah melakukan langkah-langkah kecil guna “membangkitkan” pendidikan Bantaeng. Sekiranya, untuk memassifkan gerakan, agar spektrumnya makin luas, dibutuhkan dukungan struktural, berupa kebijakan yang benar-benar mendorong guru agar makin berdaya dalam mewujudkan ekosistem pembelajaran yang bermutu. Guru menantikan gebrakan pemerintahan baru.

  2. SYARIFUDDIN Avatar
    SYARIFUDDIN

    Salah satu tantangan mendasar pada sektor pendidikan di Bantaeng adalah belum diberinya kewenangan penuh kepada kepala Sekolah untuk menilai dan memeneg gurunya sssuai potensi yg dimiliki kepala sekolak tersebut. Kemudian guru masih mengandalkan kemampuan atau kedekatan dengan penentu kebijakan di daerah, apalagi jika guru dikawal dengan legislatif selesai kepseknya. Hal penting yang jarang dilakukan oleh Dinas Pendidikan adalah Reshuffle guru minimal 5 di sekolah A. Direshuffle ke sekolah B, bukan menunggu guru punya masalah apa sifat internal sekolah atau ketika ada pergolakan politik baru ada riak reshuffle sdh pasti tdk maksimal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *