Singkamma bunga biraeng, kereppi jammeng lananbossarang kalengna. Apa itu mitos? Atau sebagai simbolisasi seperti sejarah penamaan dan temuan istilah bunga mawar, anggrek, serta melati? Seperti itulah prahara Kajannangnganga di sebuah daerah dijuluki katanya Butta Toa.
Kehadirannya tidak detail dengan struktur periodik. Antara versi gallarrang dan kajannangang se’re bannang panjai (satu haluan dan keterhubungan). Kemudian diputus di periode dengan perihal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain. Lalu bagaimana istilah kare’ yang biasa kita dengar katanya ada 7 kare’. Sementara versi lain hanya terdiri enam kare’.
Ada persemedian “a’dinging-dinging” tetiba mendapatkan wangsit katanya, segera menemui seseorang di sebuah telaga? Dan itulah menjadi tonggak kakaraenga ri Bantaeng bernama Manurung? Saya menerima saja, lalu menepis ubun-ubun logikaku. Betapa butuh telaah lebih jauh dan dalam. Dari setiap versi sejarah.
Kita memang hanya suka dibuai-buai, lalu di-ghosting.
Di sanalah awal dongeng dibangun dan menjadi dogma sampai hari ini, detik dari portal dinding zaman yang tertera jelas keberadaannya. Tetapi kemampuan jelajah pada masa itu hanya sampai pada titik nadir dan membuatkan satu alur dan konsep mitos.
Saya makin tersesat rasanya, saat simbol dan mitologi yang jauh dari jangkauan analogi saya. Sebagai pencari, penelusur yang bukan sekadar dibusur tutur yang minim dan berseberangan kekuatan pembuktian, artefak, altar, dalam bentuk literatur yang tidak ngawur.
Lalu bagaimana Jannang itu hadir? Apakah dari tujuh kare’ atau yang enam kare’ menunjuk atas keturunan masing-masing? Atau ketujuh atau versi hanya enam kare’ ini adalah kerabat, sanak dan satu keluarga? Karena sampai sekarang belum ditemukan tentang kehadiran, kedatangan, karakter kare’, dan utama asal mula kata kare’ itu muncul. Nah, semakin tersesatlah kita dikibuli kisah yang dipenuhi alibi bin anomali.
Tetiba saya di ajak Puspita terpental jauh ke sebuah portal di tahun pertama kali di Bantaeng sekitar tahun 1800-an. Ada hamparan dan telaga di sana. Saat nama buyut kami bertemu di antara tercekat, atau memang dulu belum ada yang enggan menulis. Saya bergumam saja. Dan tidak harus meluap-luap apalagi kalap.
dr. Rian kemudian melengkapi lebih jauh lagi, tentang bagaimana Belanda dan beberapa hal yang mencungkil, dan menodai sejarah itu sendiri. Dengan beberapa naskah yang basah oleh konflik berdarah dan air mata. Lalu kemudian dipaksanya kami untuk mengakui itu sah.
Kakek buyut kami ada di dalamnya, menanti adaka appiada, tidak lantas tidur oleh rayuan maut tutur dan sejarah baru, lalu tertidur di dada zaman baru menjadi budak.
Sumber selanjutnya memberi ruang temu untuk lebih menyusuri sebagaimana jannang pertama kali di Mappilawing. Sebelumnya yang melantik adalah Kare’ lawi lawi atau kare sala leppa. Selanjutnya di lantik oleh dampang lalu kemudian jannang mappilawing. Ini sekilas perburuan Puspita dari sumber (Tetta Gassa) pada sesi wawancara langsung diantaranya :Jannag samma, jannang Addulu, jannang taddo Kaulu, Jannang jongki, Jannag jari,Aji paturung, Mappilawing
Jannag Pama (Buyut Kami)
Sumber masih perlu pengkajian ulang secara mendalam. Tetapi ini salah satu jalan untuk membuka portal dan tabir, dari tubir sejarah yang disamarkan.
Hingga pada struktur Jannang Mappilawing, salah satu nama tidak tertera dalam beberapa tulisan hasil penelusuran dr. Ryan. Namun, ada hamparan harapan dari beberapa sumber yang menyebut nama tersebut. Serta beberapa jejaknya, yaitu beberapa catatan dan beberapa sepupu cucu dari Kakek Pama masih menyaksikannya di masa senjanya. Ada tutur, beberapa benda (pusaka) menurut sebagian keluarga adalah pemberian dari Kakek Pama.
Pembuktian paling konkrit adalah, makamnya di area tanah lapang dan luas yang di sampingnya dimakamkan istrinya bernama Nenek Kati (konon itu adalah istri keduanya). Di sebuah desa bernama Pa’bentengang, tepatnya Kampung Paranga, yang kemarin kami sempat ziarahi.
Penelusuran keduanya belum usai. Akhirnya ada jalur/alur yang zig-zag, kayaknya antara penamaan Jannang dan Dampang. Meski keduanya punya fungsi dan kekuasaan yang sama.
Tertelusur seiring arah busur zaman (periode) Nama Jannang entah alasan apa tidak disebutkan nama sesungguhnya. Maka pada saat pencarian nama buyut kami “Pama” kami tidak temukan. Tetapi ada penanda awal serta jejak kekuasaannya sebagai Jannang pertama di Mappilawing. Dengan panggilan diabad sekitar seribu enam ratusan, atau seribu delapan ratusan. Dengan disebut dan dikenal hanya “Jannang Pama”.
Gayung bersambut, seakan memberi kami jalan di antara lumut-lumut dan selaput zaman, di antara sejarah dengan praharanya. Ketika kemenangan ditahtakan, lalu merasa paling berjasa. Ternyata sejuta rekayasa.
Tetiba di ruang chat, dr. Rian mengabari perihal nama Mappilawing, sebuah progres yang mengakses sumber informasi menemukan kajanngnganga dari buyut kami.
Selama bertahun-tahun kemudian, berakhir pulalah situasi yang masih ada pada
tahun 1880, ketika mayoritas penduduk Dusun Bontosapiri tunduk kepada Jannang TangaTanga, dan sisanya kepada Jannang Onto, sedangkan penduduk Dusun Têko sebagian mengikuti Jannang Mapilawing. Bontosapiri sekarang menjadi milik eksklusif Onto, Têko milik Mapilawing.
Lesung waktu, seakan mengusung kami untuk bergerak pada dimensi yang berbeda dengan kebiasaan. Ya, Antara mitos dan logos (logika). Memecah bebatuan cadas butuh waktu sekian tahun. Kendati demikian, setidaknya kami tetap menjaga hal yang menjadi kebiasaan buyut kami.
Percakapan berlanjut, dua cicit berusaha keluar dari pakem tentang Jannang: Menurut dr. Rian, yang ditangkap dengan nada khas jiwa mudanya “kayak kisah atau bahasa umumnya dongeng”, itu perlu pula dicocokkan dengan sejarah tertulis.
Sebagaimana pemimpin wilayah dulu di Bantaeng namanya kare’. Jadi mereka sebagai awal menjadikan adat yang melantik karaeng.
Kemudian, digantikan kare’ oleh Jannang. Jannang yang isi ada‘ sampulonrua, merekalah kemudian yang melantik karaeng. Wow. Masih berlanjut keduanya, berusaha menenangkan gejolak, segala rasa bercampur aduk. Antara penasaran seakan ingin kembali ke masa itu. Lalu mencatat/menuliskan dengan apik. Tanpa harus berusaha memaksakan diri untuk bertahan sebagai seolah pelaku sejarah.
Padahal kekahwatiran itu ada disekeliling kita, bagaimana kajannanganga antara dipelintir atau dicatat di atas pasir, hilang jejak mulus dari sekian akal bulus.
Kepada buyut keharibaan-Nya kami bermunajat meminta tuntunan, agar proses penyusuran berjalan lancar diridai dan direstui. Sebab kami tidak sekadar mencari, tapi ada hierarki buyut yang telah disematkan kepada kami. Meski kami generasi terjauh dari orangtua dan bahkan kelak kami sendiri.
Kenapa juga dulu begitu mudah menyerah, atau mengalah begitu saja. Atau minimal kau catat namamu selarik saja, di atas daun lontar, dibebatauan, sebagai jejak artefakmu, dedauanan kopi yang juga menjadi bagian pundi-pundi kekayaanmu, di mana jauh sebelum kopi menjadi trending topik dengan segala cocokloginya sekarang, ada Robusta, ada Arabika, ada kopi retorika. Hem.
Bukankah dari cerita dan kesaksian orangtua kami. Benarkah menjadi pemasok dengan istilah: tanam, petik olah jual. Jauh sebelum Robusta dan daerah di Bantaeng membuat branding-nya sendiri tapi minim kualitas? Dan sekarang masih ada jejak jenis kopimu yang bulat memikat para kolonial, para pengusaha luar. Dan namamulah “Pama” sebagai pemangku amanah Jannang Mappilawing, penyuplai terbesar masa itu?
Bahwa kau pernah memimpin sebagai Jannang dari seluruh kajannangnganga ri Bantaeng “kerepi jammeng lanubbossarang todo kalengku, ma’nasana le’ba Nia arengta anjari pammatei uru’-uru’na kajannagnganga“.
Kepada buyut kami guyup, atas semestakung dan izin Tuhan, kami dan dua cicit paling bontotmu kini penuh khidmat menyusurimu. Hingga pada kisah pertemuan cintamu dengan seorang bernama Kr. Sitti, anak dara dari Mangngayao Daeng Mabboko, Jannang Moro saat itu.
Pertanda bahwa memang kau pernah memimpin, bukan berkuasa, karena setahu dan sepengetahuan kami, kekuasaan (materi) hanya bisa mendengar kisah tanah, dan harta peninggalanmu menjadi bagian dari ketakutanmu kelak menjadi sengketa ke anak cucumu?
Seraya mengintip saja kala itu, dari beberapa cerita yang juga punya versi lain, terhadap perangai dan cara melestarikan hal baik. Yang kini mereka dan kami mulai melupakan tradisi, yang kemudian menjadi teori konspirasi untuk menutup akses bagi kami dalam menyusuri bagaimana bisa menduduki sebuah jabatan bernama “Jannang Mappilawing”?
Toh sejalur dan nasab apa dengan penguasa saat itu? Kami masih dibuai-buai cerita terindah dan iming-iming. Seperti tanahmu terhampar sejauh mata memandang, pusakamu.
Sebagaimana kisah masa kajannaganmu ketika itu membayar upeti demi menutupi kekurangan masa pemerintahan kala itu “Nani tongkioang siri’na (Karaenga). Demi kemaslahatan bersama “nasalewangang Tallasa surang ma’buttata (rakyat)”.
Tiada guna menepuk dada. Penelusuran dan rasa rindu kepada buyut, dengan cara mencari mu dari beberapa cerita, literatur, jejak yang kini mulai terinjak tapak kaki zaman cucu, cicitmu sendiri.
Ada rindu menghentak, ada ringkih yang tiada bernyali. Namun, masih ada temali keluarga serumpun yang ikut berkhidmat menjahit kembali luka sejarah. Yang dibungkam atas dalih dan kondisi politik yang kemudian memecah belah, dan ini sepertinya menjadi sengketa tak berujung.
Kecamuk itu remuk, terserabut hal sepele, mungkin sama saat awal hingga akhir menjadi jannang. Tetapi ada terurai benang merah. Sebagaimana meski ditutupi kabut sejarah. Bahwa Bukan menyerah apalagi pasrah bahkan kalah. Tapi berserah agar tidak menjadi Tabita kepada kami tidak serakah.

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply