Di Balik Kemeriahan Apel Bupati, Ada Cerita yang tak Terdengar

Subuh masih gelap ketika meninggalkan rumah. Udara dingin membungkus sela jaket, membangunkan tubuh yang masih enggan bergerak. 35 kilometer bukan jarak yang dekat untuk ditempuh setiap hari. Pergi dan pulang, berarti 70 kilometer sehari. Itu pun kalau tidak berhenti di sekolah-sekolah, berbincang dengan guru-guru yang punya cerita sendiri tentang kelas, kurikulum, atau sekadar mendengarkan kisah murid yang tidak hadir karena musim panen. Tapi soal perbincangan di sekolah, nanti saja saya ceritakan.

Hari ini, perjalanan terasa berbeda. Bukan sekadar menuju kantor, tapi menghadiri apel akbar—hari pertama Bupati terpilih masuk kantor. Saya langsung mengambil barisan paling depan. Berjejer bersama para pengawas dan kepala sekolah yang penuh semangat. Sebagai pekerja di sektor pendidikan, wajar jika saya ingin mendengar langsung program Bupati terpilih yang akan memimpin lima tahun ke depan. Ingin menyimak secara seksama di mana letak pendidikan dalam skema besar kepemimpinan di daerah.

Beberapa menit kemudian, lapangan kantor Bupati sudah ramai. Pimpinan OPD satu per satu mulai berdiri mengambil posisi penjemputan. Berdiri berjejer di gerbang masuk. Penanda bapak Bupati sedang dalam perjalanan. Lalu, irama gendang mulai bertalu.

Di pintu gerbang, puluhan murid menabuh alat musik bambu, menari ‘Jonga Bulaeng’, tarian khas Bantaeng. Tentang rusa emas yang hanya bisa hidup di Butta Toa. Begitulah yang terdengar dari narator. Sebuah penyambutan yang meriah. Saya memperhatikan wajah bapak Bupati. Posturnya tinggi, gagah, dengan lambang Garuda di dada kanan. Dari cara melangkahnya, saya bisa menangkap ketegangan yang coba disembunyikan. Wajar. Ini hari pertamanya memimpin apel akbar. Memimpin kabupaten yang akan ia bawa ke masa depan.

Kawan-kawan, saya memperhatikan, mencatat di kepala.

Dari tempat saya berdiri, saya bisa melihat dengan jelas bagaimana barisan pegawai memenuhi lapangan. Ada yang memasang wajah serius, ada yang santai. Satu dua terlibat dalam percakapan serius. Mungkin hanya menghilangkan rasa tegang. Sebagian lainnya hanya diam, menunggu proses berikutnya. Saya memilih berdiri tegak, mendengarkan dengan saksama.

Tiga Program Prioritas

Bupati menyebutkan tiga program utama. Pertama, kebangkitan para petani.  “Sebagian besar masyarakat Bantaeng adalah petani. Mereka harus bangkit dan berdaya. Hal ini sejalan dengan arahan bapak Presiden tentang ketahanan pangan.” Saya menduga, ini mungkin hasil refleksi dari retret yang baru saja beliau ikuti selama delapan hari.

Kedua, penataan infrastruktur. Maafkan saya, saya kurang paham soal ini. Saya bukan orang teknik sipil, bukan insinyur bangunan dan jujur ​​saja, saya lebih sering melihat jalan sebagai sesuatu yang saya lewati, bukan sesuatu yang saya rancang. Meskipun saya tahu pasti hubungan antara infrastruktur yang bagus dengan peningkatan produksi pangan.

Ketiga, masyarakat yang bahagia. Kedengarannya menarik, namun masih agak abstrak. Apa indikatornya? Bagaimana ukuran kebahagiaan itu? Saya belum mendapatkan gambaran yang jelas. Saya terus mendengar, menunggu, menyimak.

Sayangnya, ada topik yang saya cari-cari dan tak kunjung muncul disebutkan: pendidikan bermutu untuk semua. Saya jadi berpikir keras, bukankah kemeriahan penjemputan hari ini, salah satunya karena keterlibatan murid-murid? Mereka menari, menabuh gendang, menyambut pemimpinnya dengan rasa bangga. Semuanya berkelindan dengan proses pendidikan. Bukankah di barisan terdepan ini berdiri para kepala sekolah dan pengawas, orang-orang yang setiap hari berjibaku dengan pembelajaran?

Saya berbaik sangka. Mungkin waktunya tidak cukup. Mungkin soal pendidikan akan dibahas pada coffe morning yang beliau sampaikan akan dilakukan setelah apel akbar bersama pimpinan OPD. Atau mungkin hanya saya yang terlalu berharap banyak?

Pendidikan yang Berpihak pada Murid

Setuju dengan visi Bupati tentang pembangunan pertanian dan ketahanan pangan, tetapi bagaimana dengan pendidikan pangan? Bagaimana kita mendidik anak-anak untuk menyelamatkan tanah pijak mereka, memahami ekosistem yang menopang kehidupan mereka? Di banyak negara, pendidikan iklim dan pertanian sudah masuk dalam kurikulum utama. Anak-anak belajar tentang perubahan iklim, memahami dampak dari pola tanam yang tidak berkelanjutan, mengenali keterkaitan antara pangan dan lingkungan hidup.

Faktanya, pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, terpisah dari realitas sosial dan ekonomi masyarakat. Jika Bantaeng ingin bangkit dalam sektor pertanian, maka sekolah-sekolah juga harus menjadi pusat inovasi. Murid-murid harus memahami lebih dari sekadar teori di dalam buku teks. Mereka harus belajar langsung dari lingkungan, dari sawah dan ladang, dari perubahan musim dan pola tanam. Anak-anak kita harus terdidik dalam ekosistem pendidikan pangan.

Pembelajaran harus kontekstual

Bukan hanya tentang ketahanan pangan, tapi juga tentang digitalisasi sekolah. Di beberapa tempat, digitalisasi masih hanya sebatas kabel proyektor di kelas atau pengadaan chrombook untuk guru. Padahal, inti dari digitalisasi adalah bagaimana teknologi digunakan untuk meningkatkan akses, menyuburkan pembelajaran, dan membuat pendidikan lebih inklusif. Bantaeng memiliki banyak sekolah di pelosok. Saya membayangkan bagaimana teknologi bisa menjembatani akses pengetahuan. Bagaimana seorang anak di pegunungan bisa belajar dengan kualitas yang sama dengan anak-anak di pusat kota. Tapi sekali lagi, ini butuh keberpihakan.

Jika pendidikan hanya dianggap sebagai sektor pendukung pembangunan, maka inovasi-inovasi ini akan selalu tertunda. Pembangunan bidang pendidikan harus menjadi prioritas, bukan sekedar pendukung apalagi sebagai pelengkap.

Apel Usai, Harapan yang Masih Tumbuh

Apel selesai. Ditutup dengan ucapan terima kasih kepada para mantan Bupati yang telah membangun Bantaeng hingga seperti sekarang. Tepuk tangan menggema. Semua orang tampak lega. Saya melihat ke sekeliling. Ada yang sibuk foto bersama, sebagian kembali bercerita, mungkin berefleksi atas pidato Bupati baru yang masih muda ini. Sebagian lainnya mulai membubarkan diri, berjalan menuju kantor masing-masing. Ada yang tersenyum, ada yang kembali memasang wajah serius. Hari pertama telah selesai, tinggal menunggu babak berikutnya.

Saya masih berdiri sebentar, membayangkan berbagai kemungkinan.

Saya ingin percaya bahwa pemimpin baru ini akan memperhatikan pendidikan dengan cara yang lebih serius. Saya ingin percaya bahwa lima tahun ke depan, sekolah-sekolah, murid-murid, para guru dan tenaga kependidikan, serta ekosistem di sekitarnya tidak hanya menjadi sektor pendukung pembangunan, tetapi benar-benar sebagai prioritas utama.

Saya ingin percaya bahwa suatu hari nanti, dalam apel seperti ini, pendidikan tidak hanya disebut di sela-sela pidato, tapi menjadi narasi utama. Pagi ini Bantaeng telah melantik pemimpinnya. Saya hanya berharap, para guru-gurunya tidak dilupakan.

Kredit gambar: BeritaSatu.com


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *