Sejarah Leluhur Kami Dibegal?

Tabe ri dallekang mala’buritta
Riempoang masungguta
Naku parampe pa’mai
Nakutannisa’sala tujuh turunan
Ri tuju pinangka’na.

Lanri mallakku piti pau-paui ri sesena ta’lenguka tannicinika nakua adaka, naku tanre tongja nakubassung.

Mingka apajia, tanre laku barani, iareka cakkania’ erok nikua. Nasaba simata erokku angngisenge se’re runtu Carita battu ri boheku.

Seperti kunang-kunang , tiada sebenderang ekspestasi kami sebagai generasi yang terjebak dongeng semata. Seribu tanya, mengapa buyut tidak mencatat sejarah sendiri. Atau sebuah konspirasi di balik sejarah yang disembunyikan?

Tanre Naki ero’ nikua! Mingka erok tongi niisseng angtekamma “boheta” riolo ri caritangna tau toata. Na rikamunnea nirapang simpungmami. Kanasaba ta’lesangi/ta’lenguki ri jammangna tau sannaki erokna surang kella-kellana.

Andai sejarah bisa diputar kembali. Maka tiada yang berani memenggal sejarah dan menyimpannya di keranda. Terhapus jejak literasi. Tanpa merasa mereka “arreja-reja” di tengah sejarah yang mereka tafsirkan seenaknya dan mengaku pemilik.

Kacau, hampir semua meracau. Dalih pembenaran, tapi masih kisah dari cerita yang terulang tanpa literatur yang cukup ampuh bisa menguatkan sebagai sumber data.

Pusaka? Seorang Puspita Sari meneropong ke setiap laman dan meski terhambat pada soal bahasa. Di sana dia menemui beberapa hal menarik. Mulai kata bonthain. Seperti dibawah ini:

Dikutip dari Selebes Selatan. KOMUNITAS HUKUM ADAT DI SUBDIVISI BONTHAIN (1920).
Catatan (tertanggal Den Haag, 19 Februari 1920) dari anggota komite O. M. Goedhart, yang saat itu asisten residen sedang cuti. Catatan serupa mengenai subdivisi Ta Takalar terdapat pada volume XXXI, hlm. 311-352; lihat no lebih lanjut. 64 dan 66 dari seri ini.

  1. Subdivisi Bonthain terdiri dari distrik Bonthain dan Tarowang sejak tahun 1916 (lihat Stbld. 1916 no. 352). Mayoritas penduduknya merupakan suku Makassar dan di sebagian besar wilayah Kecamatan Bonthain menggunakan bahasa basa Bantaeng, sedangkan di sebagian lainnya dan di wilayah Kecamatan Tarowang menggunakan bahasa basa Toerate, yang keduanya merupakan dialek bahasa Makassar. Penduduk aslinya sebagian besar adalah suku Bugis yang merupakan keturunan para pendatang dari daerah Bone dan Wadjo pada tahun-tahun sebelumnya, yang pada umumnya bermukim di ibu kota kabupaten. Sedangkan di daerah pegunungan banyak terdapat keturunan suku Maiwaree (penduduk daerah Maiwa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Enrekang) yang datang pada paruh pertama abad sebelumnya karena tertarik dengan keuntungan dari usaha budidaya kopi.
  2. Di distrik Bonthain, ada seorang karaeng yang diberi gelar bupati dan dalam pemerintahannya dibantu oleh seorang soelewatang. Keduanya dipilih berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh Gubernur Sulawesi; bupati menerima pengangkatannya dari yang terakhir, soelewatang dari kepala departemen.
  3. Kabupaten ini meliputi empat masyarakat adat yang ada: Bantaeng, Tompoboeloe, Roembia dan Tino Patji-nongang. (Journal Belanda )

Begitu pula temuan dari seorang dr. Muh. Azhlan Badriansyah. yang juga jatuh cinta dan tertarik mencari silsilah keluarganya, pada sejarah yang seolah saling membegal dengan membangun kisah dan cerita. Dia menemukan periodesasi masa kajannangnganga ri Bantaeng dari bahasa Belanda di-translate menjadi uraian bahasa Indonesia.

Di balik tirai sejarah, ada reruntuhan cerita yang diadopsi dan dijadikan dongeng bagi kami. Secangkir kopi khas Pa’bumbungang, membawa kami ke labirin waktu cerita sejarah para kakek buyut.

Terlepas dari itu semua. Dulu para orang tua sering kami dengar menceritakan saat kehebatan kakeknya dulu. Tetapi kami masih belum meyakini, dan cenderung hanya dongeng semata. menceritakan bagaimana kakek kami memiliki akte kuasa. Dan kemudian namanya disamarkan, atau sengaja dibegal di tengah periodesasi, dengan segala manipulasi fakta dan sejarah.

Gejolak kami tumbuh, bukan hendak berontak, sebab kami masih menyusuri sampai sekarang keberadaan dengan cara mengumpulkan berbagai informasi, sampai pada abad masa sebelum kolonial, atau awal peradaban raja di Bantaeng. Sampai sengketa para mereka yang sama-sama berdalih memiliki sejarahnya sendiri.

Bagai kutukan zaman, semua buyar dan tersisa puing-puing kecewa, bercampur miris. Sejarah kami dijarah, gumam seorang cicit dari buyut yang sepertinya dugaan kami dihilangkan di antara jejeran para jawara dan kuasa bernama “Jannang“. Dalam sebuah gambar/foto tempo doeloe di sana ada berdiri, ada yang duduk. Sambil kami berusaha mencari tahu sesiapa di antara mereka dan keberadaan kakek buyut kami.

Bagai pecah Sebelanga. Sederet foto para bernama adat 12 (antara gallarang dan Jannang) membuat kami mereka-reka sesiapa di antara mereka. Sampai pada titik kami menemui seseorang yang juga bagian dari keturunan Jannang. Lalu dia mengilustrasikan serta tahun di mana pada saat itu pemangku adat dua belas berkumpul. Dengan periode masa kakaraengan di abad 20.

Titik terang sepertinya akan dimulai. Namun kami serba hati-hati. Menahan diri, agar tidak berlebihan , ketika nama “Pama” yang tadinya masih samar di ingatannya. Akhirnya tetiba muncul bagai mengembalikan memorinya seorang tetuah adat bernama Anwar Qamran sempat menyebut nama buyut kami.

Terjenak lalu kami diam menekuni jiwa dan pikiran kami yang kalut. Hampir putus asa menyusuri jejak leluhur yang samar bin kabur selama ini. Siang itu di kediaman beliau, rasa lega itu terhapus sekian puluh tahun proses pencarian itu hampir membuat kami menyerah tanpa syarat.

Senada dengan penelusuran kemudian oleh dr. Muh. Azhlan Badriansyah. Pada tahun 1920, ke-jannang-an sudah banyak, lebih dari 20. Penanda kemungkinan di sana buyut bernama “Pama” telah berada pada titik nadir sebuah catatan sejarah?

Perangai yang kami tahu, jiwa kepemimpinan yang hanya dikisahkan oleh orangtua kami. Sampai pada ujung sejarah masamu pena itu patah. Kisahmu hanya pusara tanpa nama besar yang pernah ada di garis kekuasaan Mappilawing.

Percakapan mulai terusik di sebuah beranda depan. Mereka masih membincangkan buyutnya yang belum terang namanya diukir oleh pemangku yang masih suka mengaku-mengaku. Kami kalabangang (bingung tak berarah) di antara kesenjangan antar waktu hadir seketika menghuni pikiran kami siang itu saat usai ziarah kubur ke makam leluhur ayah dari Kakek Pama itu sendiri.

Pada masa atau kalau perlu Catatan tahun di nisan sebuah makam itu (1903.1753), paling tidak bisa kami jadikan dasar pembuktian. Tapi ke mana? Dan bagaimana bisa. Sementara beberapa kendala kami terbentur secara akademisi, dan misi penelusuran kami sebatas kisi-kisi.

Puspita semakin yakin, ditambah ornamen tambahan lengkap literatur dengan wawancara langsung dr. Rian. Tentunya akan menjadi cahaya kunang-kunang menjadi lebih terang menemukan jalan ke titimasa yang ditulis kebanyakan rekayasa.

Apakah nama buyut kami dibegal? Dicekal agar tak kekal dalam memori generasi keturunannya yang kini memang tampak seperti manusia hanya termangu dungu di antara orang sekelilingnya menikmati kejayaan butut mereka? Tiada satu jejakmu yang menandai, atau hanya karena pencarian kami masih butuh lebih detail dengan nawaitu, bukan tendensi mencari “budele”. Hem. Kami tersenyum saling menatap dan menepikan gejolak jiwa, pikiran kami.

Berapa masa peralihan itu kian tersublim, bukan lagi dirahasiakan. Bahkan kemungkinan bisa saja dihilangkan, lalu menunculkan nama lain yang dipaksa matang, padahal hanya digoreng terlalu terpaksa dengan api ketenaran menjadi akhirnya “mutung“. Sungguh kami cucu dan cicit merasa getir mencari jejakmu walau secuil mereka sebut.

Periode mana dan kata siapa ka-jannagngang-mu? Sejauh mana kiprahmu, yang konon pernah menguasai daerah dari pesisir kota Bantaeng tengah menuju ke ujung Utara bernama Mappilawing sampai ke Pa’bumbungang?

Bagaimana dengan jejak makam berundik dari batu nite’ba, di masa tahun tertera di atas? Dan sebuah hal tidak biasa di masanya. Hanya orang tertentu makamnya seperti itu. Dengan pahatan khas, ukuran lekuk kembang dan jejak aksara lontara di sebuah pemakaman yang konon mereka juga masih mencari jejak buyut pula?

Kami tidak harus terjebak hanya karena baru, catatan dan tutur semata. Butuh validasi data dan sains. Mengurai tahun sebagaimana teori dasar sebagaimana dalam ilmu memahami sejarah dan aspek-aspeknya.

Setiap ilmu pasti memiliki aspek tertentu, begitu pula dengan ilmu sejarah yang kami ketahui sebagai salah satu bagian dari ilmu sosial. Dan proses pencarian itulah kami menggunakan dalam ilmu sejarah terbagi menjadi tujuh aspek, yaitu: pengertian, objek, teori gerak sejarah, pendekatan memahami sejarah, dan periodisasi.

Namun, entah sengaja ditenggelamkan oleh pihak eksternal, atau pihak internal keluarga sendiri? Wallahua’lam bisawab.

Hingga pada sejarah dicatut kemudian hari, atau menemukan hal yang mungkin leluhur atau buyut kami, tidak puriti/telaten untuk mencatat sejarahnya sendiri (jauh dari literasi), hanya sekadar tutur, tanpa mereka tuliskan sejarahnya sendiri.

Sumber gambar: EuroSchool


Comments

4 responses to “Sejarah Leluhur Kami Dibegal?”

  1. Hasmawati Hasan Avatar
    Hasmawati Hasan

    Masya Allah… Luar biasa..
    Semangat terus mencari dan menelusuri… Jejak jejak sejarah.
    Ada kata kata bijak
    Usaha tidak akan menghianati hasil
    ๐Ÿ’ช๐Ÿ’ช๐Ÿ™๐Ÿ™

    1. Dion Syaif Saen Avatar
      Dion Syaif Saen

      Makasih Daeng.

  2. Usman Djabbar Avatar
    Usman Djabbar

    Setuju kak Dion. Sains dan ilmu pengetahuan perlu dilibatkan. Semoga ya.

    1. Dion Syaif Saen Avatar
      Dion Syaif Saen

      Siap kakak. Amin. Makasih kakak telah berkenan adanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *