Aku berdiri sejak senja, pukul 16.30 WIB, di Auditorium Kantor Kementerian Agama (Kemenag). Para tamu berdatangan satu per satu, dengan wajah penuh harap, separuh dengan tatapan penuh tanda tanya. Di hamparan meja-meja memanjang, para ahli astronomi dari berbagai instansi dan ulama falak dari ormas-ormas Islam, bersua dalam tatapan. Di antara mereka, tumpukan dokumen, catatan, dan layar-layar digital menampilkan grafik peredaran benda-benda langit. Semua membahas satu hal yang sama: Kapan 1 Ramadan tiba?
Anggota Tim Hisab dan Rukyat Kemenag, Cecep Nuwendaya menunjuk angka-angka di layar, menjelaskan dengan suara tenang bagaimana posisi bulan masih terlalu rendah untuk terlihat. Perdebatan yang berlangsung tak hanya tentang hilal yang masih sungkan menampakkan dirinya di ufuk barat, tetapi juga tentang keyakinan, metode, dan tradisi yang telah berakar selama bertahun-tahun.
Merasa jenuh, aku melangkah keluar dari forum dengan kepala penuh angka dan analisis. Butuh udara segar, atau mungkin hanya alasan untuk menyulut sebatang Surya Gudang Garam. Aku menyelipkannya di bibir, menyalakan ujungnya perlahan, lalu mengisap dalam-dalam. Kepulan asap putih melayang, terbawa angin yang berembus malas. Langit di ufuk barat mulai menggelap, seolah menutup tirai hari yang lelah.
Baru saja aku menikmati tarikan pertama, langkah kaki mendekat. Seorang teman datang, wajahnya setengah penasaran, “Ada info terbaru soal penetapan 1 Ramadan?” tanyanya.
Aku melirik jam tangan. “Busyet. Baru juga jam segini,” jawabku. Aku menepuk bahunya pelan. “Sabar itu jalan kebenaran. Lagian sekarang semua wilayah di Indonesia lagi proses rukyat (pengamatan). Hasilnya belum ada.”
Dia mengangguk paham, tapi masih belum puas. “Berapa titik pemantauan hilal tahun ini?”
Aku menghembuskan asap terakhir sebelum menjawab. “125 titik. Tapi belum ada laporan masuk soal daerah mana yang berhasil melihat hilal.”
Temanku termenung sejenak, mungkin memikirkan betapa manusia memang harus bersabar menunggu kepastian, sebagaimana nelayan yang sabar menunggu angin berembus ke arah yang benar.
Langit memang tak bersahabat. Mungkin mendung, mungkin juga efek #IndonesiaGelap yang masih membekas di kalangan para intelektual. Sulit bagi pemantau hilal menemukan sabit tipis yang menjadi penentu awal Ramadan.
Sambil menatap langit yang mulai menghitam, seorang teman lain nyeletuk, “Kalau mau cepat dapat kepastian, ya udah #kaburAjaDulu ke Arab Saudi!”
Kami tertawa kecil. Ramadan di negeri ini memang selalu penuh drama.
***
Menjelang isya, sidang isbat akhirnya memasuki tahap akhir. Ruang rapat masih tertutup rapat, tetapi atmosfer di luar sudah penuh ketegangan. Kamera-kamera berjajar rapi, mikrofon tersusun di meja konferensi pers, dan para jurnalis berdiri dalam posisi siaga. Dalam hitungan menit, hasil penetapan 1 Ramadan akan diumumkan.
Aku berdiri di mulut pintu ruang rapat, menatapnya seakan bisa menerobos dinding dan membaca keputusan sebelum diumumkan. Bukan tanpa alasan aku begitu penasaran. Aku harus segera menyiapkan rilis berita begitu keputusan keluar, memastikan informasi tersebar tanpa keliru. Selain itu, di rumah, istriku pasti sudah menunggu kabar untuk menentukan apakah malam ini ia akan berangkat tarawih atau tidak.
Tak hanya itu, ada juga tanteku di Malaysia terus mengirimi pesan WhatsApp. “Nak, di sana sudah ada keputusan? Kami di sini juga masih menunggu.” Pesannya masuk satu per satu, seakan waktu berjalan lebih lambat baginya.
Aku menghela napas, melirik layar ponsel yang penuh dengan panggilan tak terjawab. Entah dari teman, kerabat, atau mungkin sekadar kenalan yang tiba-tiba mengingatku di saat seperti ini. Seolah-olah aku yang memegang kunci keputusan 1 Ramadan.
“Halo, itu tugas pemerintah dan Tim Hisab Rukyat,” gumamku sendiri, mencoba mengabaikan notifikasi yang terus berbunyi. Aku hanya bisa menunggu, sama seperti mereka.
Aku tersenyum kecil, membayangkan betapa lucunya situasi ini. Aku memang paham soal hisab, tapi hanya dalam arti yang lebih sederhana, “Aku cuma ahli hisab Surya Mild.”
Pintu ruang rapat pun terbuka. Menteri Agama RI, KH. Nasaruddin Umar, melangkah dengan wajah tenang tapi penuh wibawa. Sejenak, suasana menjadi lebih khidmat. Semua mata tertuju padanya, semua telinga bersiap menyerap setiap kata yang akan keluar.
“Pengamatan dari wilayah Indonesia bagian Timur, Tengah, hingga Barat, termasuk di ujung Pulau Jawa, tidak memungkinkan terlihatnya hilal,” suaranya terdengar jelas, mantap. “Karenanya, pemerintah menunggu laporan dari wilayah paling barat Indonesia, yakni Aceh, yang menjadi satu-satunya daerah yang memenuhi kriteria Imkanur Rukyat (kemungkinan terlihatnya hilal).”
Ruangan mendadak sunyi. Semua menunggu dengan napas tertahan. Beberapa detik kemudian, pernyataan yang dinantikan pun meluncur.
“Ternyata, hilal berhasil disaksikan di Aceh oleh dua orang saksi yang telah disumpah oleh hakim. Dengan demikian, setelah pengukuhan oleh hakim agama setempat, maka malam ini diputuskan bahwa 1 Ramadan 1446 H jatuh pada besok, tanggal 1 Maret 2025.”
Sorak-sorai kecil terdengar dari berbagai sudut ruangan. Beberapa jurnalis bergegas menekan tombol “kirim” di laptop dan ponsel mereka, memastikan kabar ini tersebar secepat mungkin. Di luar sana, umat Islam mulai bersiap menyambut bulan suci. Suasana yang tadinya penuh ketegangan kini berubah menjadi lega, bahagia.
Aku tersenyum kecil, merasakan energi yang selalu menyertai malam-malam menjelang Ramadan. Ada sesuatu yang selalu magis di momen ini, perasaan hangat yang sulit dijelaskan. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada sesuatu yang tetap terasa kosong bagiku. Ini adalah tahun ke-12 aku menyambut Ramadan sendirian.
Sejak 2014, aku selalu memulai malam pertama bulan suci di perantauan. Tanpa ibu yang biasanya sibuk di dapur menyiapkan menu sahur. Tanpa sosok ayah yang memang sudah berada di dunia yang berbeda. Tanpa adik-adikku yang dulu selalu berlomba menghabiskan takjil lebih dulu.
Ramadan memang selalu membawa kebahagiaan, tapi juga menyisakan kerinduan yang tak pernah benar-benar hilang. Kutengok kembali rokok di tangan, yang sejak tadi nyaris habis dihisap angin. Aku embuskan napas panjang. Ramadan datang lagi. Sekali lagi, aku menyambutnya sendiri.
Kredit gambar: Pikiran Rakyat

Lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 02 September 1995. Ia menyelesaikan studi S1 di Institut Agama Islam As’adiyah (IAI) Sengkang Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah Filsafat Islam tahun 2019. Tahun 2021, ia juga berstatus sebagai mahasiswa penerima program beasiswa PBSB Kemenag di Universitas Islam Bunga Bangsa Cirebon (UI BBC) Fakultas Manajemen Pendidikan Islam Jurusan Manajemen Pendidikan Islam dan menyelesaikan studi S2 tahun 2023. Sebelumnya, ia pernah mondok di PP Syekh Muhammad Ja’far Banyorang Kabupaten Bantaeng, Sulsel. Selanjutnya, di PP Nurul Falah Borongganjeng Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Lalu, di PP As’adiyah Sengkang Kabupaten Wajo, Sulsel. Terakhir, di PP Darul Ulum Ad-Diniyah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ia juga aktif sebagai relawan PMI di Kabupaten Wajo, serta, menjabat sebagai Wakil Ketua BSO Moragister Kemenag Periode 2021-2023. Pernah ikut Kelas Menulis Esai Rumah Baca Panrita Nurung dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.
Leave a Reply