Jika sekolah seperti Midnight Diner, akankah murid lebih bahagia?
Ada sebuah tempat di sudut kota Tokyo yang hanya buka dari tengah malam hingga pagi buta. Di sebuah gang sempit, terselip restoran kecil yang tak punya nama besar, hanya disebut warung makan. Di dalamnya, hanya ada satu koki tanpa nama yang dipanggil “Master” dan satu menu tetap: sup miso dengan tambahan sederhana. Tapi di luar menu yang terbatas itu, pelanggan bisa memesan apa saja—selama bahan-bahannya tersedia. Orang-orang yang datang ke warung kecil ini bukan sekadar untuk mengisi perut. Mereka datang untuk mencari sesuatu yang lebih dari sekadar makanan: ketenangan, pengakuan, atau bahkan hanya teman bicara. Di tempat ini, cerita bergulir seperti kuah ramen yang perlahan mendidih, membiarkan bahan-bahannya melebur satu sama lain, menyatu dalam rasa yang lebih kaya.
Adegan yang Berjalan Seperti Waktu
Miyuki Chidori pertama kali datang dengan perut kosong dan kantong lebih kosong lagi. Dia memesan nasi bonito serut—murah, sederhana, nyaris seperti makanan kucing. Master tidak menghakimi. Ia hanya berkata, “Aku juga suka nasi ini.” Dan entah bagaimana, kalimat sederhana itu membuat Miyuki merasa cukup. Sesuatu dalam dirinya menjadi lebih kuat.
Dia datang setiap malam, memesan makanan yang sama, sampai akhirnya bercerita bahwa dia adalah penyanyi tanpa lagu sendiri. Suaranya bagus, tapi lagu-lagunya tidak laku. Master tidak mengatakan banyak hal. Dia hanya memintannya datang lagi dengan membawa CD rekaman lagunya. Master memasang poster pertunjukan kecil di warungnya. Seorang pelanggan tetap yang kebetulan seorang penulis lirik melihatnya, menulis sebuah lagu untuknya: Kucing yang Tersesat. Lagu itu akhirnya membawa Miyuki ke puncak ketenaran, meski hidupnya tidak panjang. Tapi setidaknya, dia sempat punya lagu miliknya sendiri.
Begitulah cara kerja Master. Tanpa banyak bicara, tanpa banyak teori, hanya dengan secangkir teh dan sepiring makanan, dia mengubah hidup orang-orang.
Pada episode berikutnya, Master mendamaikan tiga kawan yang berkonflik hanya dengan menyajikan kembali Ochazuke, nasi yang disiram dengan teh. Miki suka dicampur dengan telur ikan, Rumi suka daun salem, dan Kana lebih suka dengan acar prem. Ketiganya adalah langganan tetap, kemudian mereka bertengkar lagi. Oleh master disatukan kembali dengan nasi Ochasuke.
Seorang Yakuza bernama Ryu datang setiap malam hanya untuk mencicipi sosis merah gurita goreng. Yakuza yang ditakuti kemudian menjadi lunak bahkan mau bertukar makanan dengan seorang pelanggang lain yang duduk di sudut dekat dapur. Raut mukanya seperti telah bertahan hidup terlalu lama. Dia meminta sepiring tamagoyaki, telur gulung manis yang dulu menjadi kenangannya paling manis. Master, seperti biasa, tak banyak bertanya. Ia mengocok telur dengan tenang, menuangkannya ke dalam penggorengan datar, menggulungnya dengan gerakan terlatih. Saat piring mendarat di hadapan pelanggang, matanya berkaca-kaca.
“Rasanya seperti dulu,” gumamnya. Tapi siapa yang bisa mengulang masa lalu?
Pendidikan dan Warung Kecil di Gang Sempit
Dunia pendidikan mestinya berjalan seperti warung kecil ini. Tidak ada kurikulum kaku yang memaksa semua orang belajar dengan cara yang sama. Setiap murid datang dengan beban dan harapan yang berbeda. Seorang guru yang baik adalah seperti Master, yang tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus menyajikan sesuatu yang tepat bagi muridnya. Seorang murid yang selalu gagal dalam ujian mungkin tidak membutuhkan lebih banyak lembar kerja atau tambahan jam belajar. Mungkin yang ia butuhkan hanyalah satu pengakuan bahwa usahanya dihargai. Seorang anak yang selalu gaduh di kelas bukan berarti ia tak mau belajar; mungkin dia hanya membutuhkan seseorang yang mau mendengarkan ceritanya.
Kawan-kawan guru.
Bayangkan seorang murid pendiam yang tak pernah berbicara di kelas, seperti seorang pria di Midnight Diner yang selalu datang, duduk di sudut, dan hanya memesan satu menu yang sama setiap malam: sekeping roti panggang dengan mentega. Ia tak pernah berkomentar, tak pernah bicara. Tapi suatu malam, dia datang dan tiba-tiba meminta sup udon. Semua orang di restoran menyadarinya. Malam itu, dia akhirnya berbicara.
“Aku baru saja kehilangan pekerjaanku,” katanya.
Di sekolah, ada banyak murid seperti ini. Duduk di sudut, tidak mencolok. Mereka tidak menyebabkan masalah, tapi juga tidak berpartisipasi. Guru sering kali hanya fokus pada mereka yang paling aktif atau mereka yang paling bermasalah, sementara anak-anak seperti ini berlalu begitu saja. Tapi seorang guru yang baik, seperti Master, tahu bahwa kadang-kadang, perubahan sekecil apa pun adalah tanda bahwa sesuatu sedang terjadi. Kadang-kadang, permintaan sederhana seperti “bolehkah saya duduk di depan?” bisa berarti bahwa seorang anak akhirnya merasa cukup nyaman untuk keluar dari cangkangnya.
Saya selalu percaya bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memahami bahwa setiap anak adalah pelanggan di sebuah restoran kecil: datang dengan selera berbeda, pergi dengan sesuatu yang membuat mereka lebih baik dari sebelumnya.
Belajar darI Murid yang Selalu Gagal
Seorang murid bernama Usman selalu mendapatkan nilai merah dalam ujian matematika. Guru-guru sebelumnya selalu memberinya tambahan tugas dan lebih banyak soal latihan, berharap ia bisa mengejar ketertinggalannya. Tapi hasilnya tetap sama. Hingga suatu hari, seorang guru baru memintanya duduk di sebelahnya setelah kelas usai.
“Usman, apa kau suka matematika?” tanyanya.
Usman menggeleng. “Aku suka menggambar.”
Guru itu lalu memberinya tantangan: “Bisakah kau membuat diagram soal ini seperti sketsa komik?”
Usman mencobanya, dan untuk pertama kalinya, ia mulai memahami konsepnya. Seperti Master yang tahu bahwa makanan bukan sekadar soal rasa, guru yang baik tahu bahwa belajar bukan sekadar soal nilai.
Akhirnya: Pendidikan Sebagai Hidangan Hangat
Restoran kecil di gang sempit mengajarkan bahwa makanan bukan sekadar soal rasa, tapi juga soal ingatan dan pengakuan. Begitu pula pendidikan. Ia bukan sekadar soal nilai dan ujian, tapi juga tentang bagaimana seseorang merasa dilihat, dihargai, dan diakui. Murid-murid datang ke sekolah dengan berbagai beban, seperti pelanggan yang datang ke Midnight Diner. Mereka tidak selalu mencari jawaban instan, tapi mereka butuh ruang di mana mereka bisa merasa aman, di mana kesalahan bukan sesuatu yang mengerikan, tapi sesuatu yang bisa diceritakan sambil tertawa.
Di dunia yang semakin dingin dan terburu-buru, pendidikan seharusnya menjadi sup hangat yang bisa dinikmati dalam diam. Karena pada akhirnya, kita semua hanya ingin menemukan tempat di mana kita bisa menjadi diri sendiri, tanpa rasa takut dihakimi. Kadang-kadang, perubahan kecil adalah tanda bahwa sesuatu sedang terjadi. Murid yang tiba-tiba tertarik pada suatu topik, mungkin sedang mencari sesuatu yang selama ini tidak ia sadari. Dan di saat seperti itu, seorang guru yang seperti Master akan tahu: bukan waktunya untuk menekan, bukan waktunya untuk memaksa, tapi waktunya untuk mendengar.
Pendidikan mestinya seperti makanan hangat yang disajikan dengan pengertian. Tidak semua orang datang dengan selera yang sama. Tidak semua orang bisa menerima satu jenis makanan dengan cara yang sama. Tugas seorang guru bukan hanya memasukkan sebanyak mungkin teori ke dalam kepala murid-muridnya, tapi memastikan mereka punya ruang untuk memahami dunia dengan caranya sendiri. Seperti pelanggan di warung kecil itu, mereka harus bisa datang dengan kepala berat dan pulang dengan sesuatu yang membuat mereka sedikit lebih baik. Kadang-kadang, itu hanya sesederhana sepiring tamagoyaki yang rasanya seperti masa kecil. Kadang-kadang, itu adalah seorang guru yang mengerti kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus memberikan sesuatu yang sederhana tapi tepat waktu.
Karena pada akhirnya, belajar adalah soal menemukan sesuatu yang bisa kita bawa pulang. Seperti semangkuk ramen hangat di malam yang dingin. Seperti lagu Kucing yang Tersesat yang akhirnya menemukan penyanyinya.

Lahir di Sungguinasa, Gowa, 19 Juni 1981. Bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantaeng, selaku Kepala Bidang Pembinaan Ketenagaan. Menjabat Ketua Umum Komunitas Guru Belajar Nusantara Periode 2019-2022. Selain menulis, juga suka baca karya sastra, dan olahraga badminton.
Leave a Reply