Tidak ada yang kebetulan, sekotahnya akan terwujud pada waktunya. Hanya kapannya saja yang masih sering jadi misteri. Dan, hidup maupun kehidupan itu layak dijalani karena masih ada misterinya. Manakala tak ada lagi misteri, maka kehidupan serupa menonton siaran ulang pertandingan sepakbola.
Seperti itulah yang terjadi pada selepas Asar hingga malam merintis safarnya, 20 Desember 2024, di Kampus Ungu, julukan untuk Pondok Pesantren Al-Furqan Putri Yapqah Ereng-Ereng Bantaeng. Pesantren ini berdiri sejak tahun 1986, lalu khusus dijadikan pesantren putri mulai tahun 2012. Didirikan oleh seorang tokoh agama berpengaruh, KH. Muhammad Nuh Khaeruddin.
Atas budi baik dari H. Subhan, Kadis Komunikasi Informatika Statistik dan Persandian (Kominfo SP) Bantaeng, saya diajak berlabuh ke pesantren putri tersebut. Guna merealisasi satu program pengembangan literasi digital. Kami berduet, sebentuk duo SUSU: Subhan-Sulhan. Tajuk acara bertema, “Literasi Digital: Bantaeng Melawan Hoaks). Sekitar 50 santriwati menyata, plus pimpinan dan pembina pesantren selaku penghadir.
H. Subhan mendedahkan mindanya lewat ajakan materi berjudul “Bijak Memanfaatkan Media Sosial”. Ditegaskannya, “Media sosial memiliki dampak positif dan dampak negatif. Apabila kita memanfaatkan medsos dengan bijak, maka platform digital tersebut dapat menjadi sumber informasi dan juga pengembangan kreativitas untuk mengekspresikan diri. Dan sebaliknya dampak negatif dari bermedia sosial yang sering terjadi adalah cyber bullying atau perundungan yang dapat memengaruhi perkembangan mental seseorang. Jadi semua tergantung bagaimana cara kita memanfaatkan media sosial.”
Selaku pembicara kedua, saya menyodorkan penggalan pikiran terkait, “Literasi Digital untuk Pelajar”. Secara sederhana, saya menyampaikan pandangan terkait bermedia sosial secara cerdas, mencegah agar pencetan jari tidak lebih cepat daripada pikiran, menjadikan media sosial sebagai sarana pengembangan diri, serta menumbuhkan tradisi literasi agar bisa mengenali berita hoaks.
Lebih dari itu, saya menukik lebih dalam, menyajikan pengenalan potensi diri, berupa mengenali otak dan cara kerjanya, sekaligus menerangkan kecerdasan majemuk (multiple intelegence) berbasis otak, yang dapat dikembangkan dengan pendekatan peningkatan tradisi literasi, khususnya literasi baca-tulis, plus literasi digital.
Sungguh, tak kalah menariknya berada di Kampus Ungu, berupa percakapan informal dengan pimpinan dan pembina. Sekadar menegaskan saja, duet SUSU yang datang, bukan sosok baru bagi wilayah pesantren ini. H. Subhan pernah jadi Camat di Kecamatan Tompobulu Bantaeng, salah satu wilayahnya Kelurahan Ereng-Ereng. Jadi, pengenalan terhadap lokasi pesantren bukan hal baru.
Adapun saya lebih bernuansa informal. Abba (bapak) saya lahir dan besar di Ereng-Ereng. Nanti kawin dengan ibu saya, warga Tompong di Kota Bantaeng, mereka mukim di kota. Jadi, saya lahir dan besar di Kota Bantaeng. Meskipun selalu ke Ereng-Ereng untuk berbagai keperluan.
Eloknya lagi, sang pendiri Pesentren Al-Furqan, KH. Nuh masih punya hubungan keluarga dengan abba saya. Bukan itu saja, berdasarkan beberapa informasi, termasuk yang pernah disampaikan KH. Nuh kepada saya bahwa ia pernah berguru ke abba saya. Nah, saya sendiri telah menjadikan KH. Nuh selakon guru, belajar pada jalan hidup yang ditempuhnya.
Dilalah-nya, selain hubungan keluarga dengan anak-anak KH. Nuh, saya pun akrab dengan beberapa orang putranya, termasuk yang mengurus pesantren putri ini, Mutahhir Nuh. Bahkan, perkawanan saya sudah jauh di masa silam, saat ia masih mahasiswa, seringkali bersentuhan di organisasi, meskipun ia junior saya. Apatahlagi di tahun 2020-an, ada gerakan peningkatan minat baca di Bantaeng, saya pun sudah berkolaborasi dengannya.
Nah, ini yang lebih penting lagi. Mutahhir bersama pimpinan dan pengurus, serta pembina akan menjadikan pesantren ini berbasis literasi. Sambutan pimpinan pondok, KH. Ahmad Kurnia, sudah memberikan sinyal, sekuntum harapan, “Terimakasih banyak kepada Bapak Kadis Kominfo SP yang telah menginisiasi kegiatan ini, sebagai wadah bagi santriwati kami untuk dapat terus mengembangkan diri. Kehadiran Bapak Sulhan Yusuf juga tentunya sangat bernilai bagi kami. Semoga kegiatan-kegiatan positif seperti ini dapat terus berkelanjutan, sehingga nantinya Ponpes ini dapat melahirkan duta-duta liteasi digital.”
Jujur, sewaktu berada di lingkungan Ponpes Putri Al-Furqan, saya terpesona penataannya yang mulai menampakkan tanda-tanda kebangkitan literasi. Sebelum melakukan presentasi materi pikiran, saya diajak keliling menikmati fasilitas pesantren. Amat adem, sebab selain iklimnya sejuk, berada di ketinggian, juga penataan gazebo-gazebo yang bakal dilengkapi sarana baca, menampilkan wajah lebih mirip rest area.
Imajinasi saya pun melambung, membayangkan para santriwati duduk-duduk santai, sembari membaca buku, menulis dengan sepenuh jiwa, mempercakapkan hasil bacaannya, dan berlomba menuliskan mindanya di media digital milik pesantren. Sehingga, orang luar bisa membaca laku pikir para santriwati itu. Ah, bakal lahir beberapa buku tulisan para santriwati. Arkian, saya membeningkan batin, lalu menubuhkan janji, buat mendukung gerakan literasi berbasis pesantren di sini.
Umpan imaji saya langsung disambar oleh H. Subhan selaku Kadis Kominfo SP, bakal menjadikan pesantren binaan dalam mengarungi dunia digital. Dan, pihak pesantren pun rupanya sudah siap dengan janji tersebut. Di Kampus Ungu sudah ada fasilitas, satu ruangan bernama “Kelas Digital”. Kelas ini hadir untuk menjembatani kebutuhan santriwati akan kecakapan digital, waima mereka tidak diperkenankan membawa ponsel ke pesantren.
Instruksi sang Kadis Kominfo SP kepada Kepala Bidang Layanan e-Government Diskominfo Bantaeng, Darmawansyah, yang ikut menjadi rombongan kami, agar membantu program kelas digital, sudah lebih dari cukup, guna menguatkan keseriusan pola pembinaan atau kemitraan.
Walhasil, semula dugaan-dugaan yang ditengarai sebagai kebetulan, ternyata bukanlah kebetulan. Asumsinya, kebetulan Diskominfo Bantaeng akan melakukan sosialisasi literasi digital, awalnya ditawarkan ke satu sekolah, tapi batal karena miskomunikasi. Lalu, ke satu organisasi anak sekolahan juga gagal. Kalakian, secepat kilat bersetuju di pesantren. Dikiranya, saya pun kebetulan kosong jadwal di tengah deretan jadwal pada akhir tahun. Puncak kebetulan itu, dianggapnya selama ini, Mutahhir sudah seringkali ingin mengajak saya ke pesantren, tapi belum menyata. Semua itu bukan kebetulan, sebab semesta telah mendukung, keinginan-keinginan saja yang belum bertemu. Namun, pada akhirnya akan sua, karena frekuensinya sudah sama. Jadi, tidak ada yang kebetulan.

Pegiat Literasi. Telah menulis buku: Air Mata Darah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023), serta editor puluhan buku. Pendiri Paradigma Institute Makassar dan mantan Pemimpin Redaksi Kalaliterasi.com. Kini, selaku CEO Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng, sekaligus Pemimpin Redaksi Paraminda.com.


Leave a Reply