Butuh pemantik. Dalam pusaran sisi lain untuk lebih cerdik. Bukan sekadar spontan atau bersemat dirinya sebagai pemain sulap misalnya. Dan kedok budaya kemanusiaan hanya menghasilkan lendir-lendir nan pandir. Masih tanggapkah kita menjalani hidup dengan bongkahan pikiran yang dianggap janggal? ada rinai air mata jatuh di keranda. Sebuah isyarat, matinya persona dan sejuta pesona. Terkubur bersama bernama prinsip. Serta tamatnya kedirian. Danu mulai membuka percakapan.
Gorengan renyah dan beberapa sumber penyebab kasus asam urat mulai meraba-raba. Danu berkilah sejuta alasan saat itu pula kambuhnya pula asam lambung. Hanya lupa berniat saja. Haha. Celoteh petong menggumpal diantara yang absurd dan substansi, hingga halusinasi. Petong semakin nyinyir. Danu menegur agar saat bertutur Petong lebih terstruktur, dan tidak ngelantur. Sembari menarik napasnya dan membuang kesahnya bergumam, “Seguyub apa pun pesta akan berakhir”.
Kita lihat siapa yang kuyup, dan sesiapa akan terdera kecewa. Mulai mencari, menagih. Petong celingak celinguk mencari korban selanjutnya. Sejauh dia tahu. Ada kura-kura dalam perahu. Sembunyi malu-malu kucing. Dirundung rasa yang tidak sesuai ekspestasi. Petong tertawa. Melihat begitu comelnya jiwa. Tercorengnya nilai guyup yang tetiba berkalang kabut menjadi pandangan tak terarah. Yang ada hanya lumut-lumut budaya dan jiwa manusia yang tergeletak sepi.
Sang kacung berkicau. Memandu arakan sesuai arahan. Petong mengintip, melihat sang dalang telanjang setelah memainkan perannya mandi keringat. Pakaiannya dilucutinya sesegera. Sebab siang mulai menyengat.
Benalu manusia di mana-mana mulai tumbuh. Merambat lamat-lamat, dari kaki, selangkangan hingga ke ubun-ubun. Gara-gara kuyup dalam guyub. Merasa demam, dari kesekian rasa bersenang-senang, tetiba kalut, merasa tidak tenang. Membuatnya semakin bertingkah songong seperti Petong. Petong hanya menatap sambil mengernyitkan keningnya tanda merasa.
Kabut menjegal arah pandang. Lupa bahwa sebenarnya tidak rabun. Mulai selebrasi. Para pejuang melempar sauh ke samudera harapan. Lalu setelah guyub usai. Hanya berdiri termangu “lingu” (bingung), menyaksikan sebuah hal yang ambiguistik. Seribu korban jiwa tergeletak tanpa dikenali lagi.
Kali ini giliran seorang Petong curhat kepada Danu. Danu menyimak menikmati dengan mencabuti uban di bulu jenggotnya yang kusut, belepotan bagai barisan tanpa arah, maju gerak semua dilabrak. Petong berusaha mulai mengarang cerita sebagai pengisah ulung. Danu terbawa suasana. Antara hoaks dan benar babat saja. Main tuding dengan menyuling buah percakapan yang miring Petong mampu menggiring opini.
Bagai selekta dan instrumentalia orkestra di sebuah opera sabun mandi. Habis sepah wanginya lenyap tercecer di ubin bekas pesing. Danu masa bodoh! Bukan berarti tidak tahu, dan tidak memahami setiap lekukan, dan liukan pesona dan tubuh seolah tegap tetapi masih gagap menggali diri. Sambil bersenandung. Dia masih asyik menikmati helai demi helai uban yang tumbuh di bulu jenggotnya.
Suasana semakin gaduh, berpotensi rusuh. Hem. Begitulah sebuah ruang guyub dan pesta yang semestinya tercipta atas nama dinamika agar mentalitas secara kualitas terlatih. Tidak seru kalau hanya lempeng saja. Tetapi jangan hanya modal nyali juga. Butuh dibumbuhi bahan lain pengetahuan yang seabrek. Temukan rahasia penyedapnya rasanya. Petong masih menikmati kesenangannya. Itu juga selera. Lirih Danu memahami sang Petong yang mulai semakin bertingkah.
Petong main nyambar saja. Saudaraku saat ini amat susah gampang membedakan antara penguntil dam pencatut, atau antara teman atau lawan. Danu masih saja asyik dengan uban tumbuh di bulu jenggotnya. Petong melirik menyentil Danu! Kudu sadar itu pengaruh usia, Bung. Tawanya lepas merdeka tanpa “perjuangan”.
Meski Petong masih kencing berdiri, akan tetapi dia masih menjaga kesuciannya. Hahaha. Artinya masih menjaga percikan ke ujung kaki celananya. Lagian dia juga tidak pernah merasa lebih rapi dan merasa bersih. Hanya saja kadang risih. Bila suara lirihnya mengundang gunjing, dari gonjang-ganjing peristiwa yang seolah lebih paham.
Danu mulai berlagak, seolah merasa paling dibutuhkan. Menyender sedikit, bagai pendekar duduknya miring sambil lengan satunya di sandaran kursi. Petong jengah! Merasa mulai jenuh. Seperti kebencian yang dia rindukan. Songong nian! Gumam Petong. Tingkah Danu semakin Absurd pada hidup dia jalani.
Kamu terlalu absurd Danu! Wets Petong mulai keranjingan pengetahuan sepertinya. Ya, saya mulai terbawa kebiasaanmu. Dan sampailah pada sebuah referensi perjalan saya penuh sensasi. Petong mengutip sebuah laman pencariannya. Di sana menemukan cerita seorang Mersault yang dikisahkan oleh Albert Camus. Wow Danu makin takjub mendengar ini. Tentang bagaimana “absurditas hidup” itu dituding ganjil. Petong mulai pamer kepada Danu yang juga sama-sama tertuduh “absurd”. Di mana kita pernah memiliki keinginan akan suatu hal. Segala kita upayakan untuk mendapatkannya. Namun, apakah segala usaha tersebut selalu berbanding lurus dengan hasilnya?
Pada kenyataannya tidak. Sering kali hasil yang kita dapatkan sama sekali lain dengan yang kita impikan. Kita merasa dalam kesia-siaan. Lantas kita merenung, bertanya-tanya, mengapa demikian? Kita mencoba memahaminya. Namun, akhirnya kita tidak mendapat penjelasan apa-apa tentangnya, dan seketika kita muak lalu merasa segalanya tidak dapat dipaham oleh mereka. Dan perlu kau tahu Danu. Bahwa kita berusaha dan lapang memahami ke sesiapa saja. Namun mereka belum tentu memahamimu. Itu juga jangan kau paksakan. Petong mulai berceramah sepertinya. Danu menikmatinya.
Dan itulah kata Albert Camus yang disebut absurditas. Pertentangan antara idealitas yang diimpikan manusia dengan kenyataan yang didapatkan. Pertentangan antara kecenderungan manusia untuk memahami dunia dengan keengganan dunia menjelaskan dirinya. Lantas bagaimana kita harus menyikapi semua ini? Petong berlagak. Danu senyum-senyum dan mengikuti arah, alur pikiran Petong yang juga absrud.
Yah. Kita kadang berkonfrontasi antara dunia yang irasional dengan sebuah kerinduan hebat kepada kejelasan yang menggema dalam hati setiap manusia. Dunia ini tidak serapi apa yang kita pikirkan, hanya saja kita selalu ingin mendengarkan yang indah, menawan, penuh rasa heroik mengisahkan pada manusia sekitar agar menemukan tempat, pengakuan dan status sosial. Danu melanjutkan perkaraan Albert Camus.
“Wah. Percakapan kita mengalir begini, ya?” Petong puas, rasa senang penuh riang menemukan sesuatu hal pada dirinya dianggap nyeleneh, rese, dikira cupu pada mulai sedikit suhu.
Selain itu kadang kita interupsi di mana hidup ini tidak pernah kita minta, tidak pernah kita harapkan , tapi tiba-tiba terjadi seperti ini. Petong makin getol mengisahkan uraian tentang seorang yang baru ditemuinya di abad lalu bernama Albert Camus. “Hem,” gumam Danu. Yang tak pernah dia kira Petong mulai melek budaya literasi.
Aktulisasi boleh, dan jangan bablas juga, dengan pamer lalu berselebrasi, berjingkrak-jingkrak kegirangan, tetapi lupa masih banyak gulma dalam diri perlu dibereskan. Ueforia, adab dan merasa pintar tidak pintar merasa. Atau antara latah terarah, dan latah yang tergiring pesona lain.
“Itu juga selera setiap individu yang tidak begitu absurd seperti kita!” “Apa?” Petong protes. Danu saja yang suka didominasi suasana itu. Saya mulai menerima, menghafal, mengkhayal kalau perlu seolah filusuf. Petong melanjutkan dan mulai lunak juga serta pintar merasa.
Atau menjadi penyair tanpa akreditas identitas akademia. Atau kita ini seniman yang konyol melampaui nilai-nilai. Kedunya terjebak, dan mulai saling mengelak dan berebutan klarifikasi. Petong mulai kambuh tabiatnya, Danu panik seperti biasa sebagai pengecut yang dongok. Percakapan mereka cukupkan sampai di sini.
Sumber gambar: newsmaker.tribunnews.com

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).
Leave a Reply