Sore dengan kopi gula aren, serta beberapa pilihan menu lainnya. Sila dicoba . Sebuah nama cafe yang membuat saya penasasan. Andien sang pemilik kafe dengan usia masih muda, mampu menerobos kafe di tengah menjamurnya kafe, serta begitu ketatnya persaingan.
Sambil kuseruput kopinya. Dan menemukan siapa sesungguhnya Alonica? Ternyata terinspirasi dari sebuah judul lagu, dari sebuah grup musik ternama asal Los Angeles (LA), Amerika Serikat (AS), duo Lany. Music video (MV) Alonica yang dirilis pada Jumat, 7 Juli 2023, kini sudah ditonton lebih dari 118.000 kali di YouTube.
Begitu kuat memikat, lalu menjadi nama kafe yang diinisiasi seorang anak perempuan, yang dulu masih kulihat keceriaan dan belianya, berseragam putih biru, dan juga aktif di sebuah forum anak. Dan, kini sebagai pemilik kafe Alonica.
Andi Andien Julian mahasiswi Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Bisnis Universitas Airlangga Surabaya, merambah peradabannya dengan ide imajinatif, serta kecerdasan di atas rata-rata dari sekian banyak anak seusianya.
Alonica memiliki makna sebagai tempat yang nyaman, katanya. Yah. Nuansa kebaruan secara profesional terlihat setiap letak dan penataan yang apik, elegan tidak menjenuhkan. Andien percaya untuk sebuah hal yang diyakininya, dan lebih inovatif.
Bukan berarti menapikan budaya khas nama kedaerahan. Tetapi bagaimana ruh semangat filosofi Alonica ini semua merasakan kesejukan dari setiap peran. Setidaknya berbuat walau secuil. Bagaimana melihat potensi dan peluang harus itu dan kita raih. Sesuai fashion yang disenangi. Bukan sekadar coba-coba.
Harus mampu menjawab tantangan, secara mentalitas dan kualitas. Atau kebiasaan dari budaya anak seusianya hanya tahu nongkrong di kafe, atau healing tak jelas arah. Namun, Andien mampu menerjemahkan dan bersiap menghadapi segala tantangan, siap segala konsekeunsi, dan dia menempah diri .
Hidup adalah pilihan katanya. Maka memulai dengan semangat, bergerak sejak dini. Maka kau akan merefleksi dan tahu kualitas hidupmu. Dengan khas senyumannya yang memang membuat suasana lebih nyaman, tegur sapa penuh kesejukan, serta penyajian, berikut pelayanan itu yang paling utama.
Seketika saya berada dalam satu ruangan kafe tersebut, ada aura berbeda. Lalu terjenaklah saya meruang pada sebuah titi masa.
Awalnya, saya agak canggung serta sungkan, seperti terjebak suasana, bercampur aduk, rada malu. Di mana sebelumnya saya memilih tempat di luar bagian beranda kafe saja bersama Mursyid, yang sejak kemarin janjian untuk bersua dan memilih Alonica, sehari setelah grand opening.
Di meja panjang itu, dengan berusaha membaur, dan tak terasa membuat saya semakin betah rasanya. Mursyid menjadi pendengar, saya terhujam dan menikmati percakapan. Seketika saya termenung jauh waktu silam.
Ada hal mengembalikanku ke satu masa, di mana ornamen dan petak pustaka berjejak masih ada terbayang, rak buku serta buku pilihan penuh nutrisi. Di ruangan inilah saya memulai komunitas bernama, Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Kemudian beralih fungsi sekarang menjadi tempat nongkrong yang asyik dengan sejuta kisah klasik.
Yah. Dulu. Seraya ketika masa itulah saya menemukan seorang alkemis, bernama Sulhan Yusuf (CEO Boetta Ilmoe). Menghantar ke gerbang pengetahuan. Bagai portal dari mesin waktu memasuki sepuluh tahun, bahkan lebih kalau tidak salah hitung. Tak hendak terlarut menjauh pada masa itu. Sebab kopi pesanan telah hadir suap di seruput.
Tempat ini menyuguhi setiap jiwa altruisme. Seperti dejavu perbincangan ini. Membawaku ke masa di mana tempat saya menikmati kopi gula aren dan tempat, suasana keren ini. Tempat dulu menemukan kesejukan, kenyamanan dalam berkomunal. Yah. Di tempat saya duduk, dan bincang yang penuh petualangan kehidupan.
Percakapan semakin mengalir, bagai anak sungai menyejukkan, ibarat telaga Alonica itu ternyata benar nyata adanya. Sambil menyeruput kopi, saya mendengarkan sang alkemis selanjutnya, A. Anthar, menyuguhkan sebuah hal dengan ceruk, dan larik kehidupannya yang sarat perjuangan.
“Berangkat dari pikiran, nawaetu, dan pantang mengeluh,” tegasnya. Sebuah prolog di ruangan itu. Tertuang dan saya mulai merasakan keakraban itu. Yang tadinya sungkan dan lamat-lamat terasa nyaman.
Menurutnya, niat adalah pondasi, serta mengasah dan mengasuh pikiran. Agar tidak mudah goyah. Sebab pikiran bisa membuatmu terdampak buruk/gagal, dan sukses. Beliau melanjutkan dan ternyata menganut, “Tersenyumlah terhadap orang membencimu”. Saya terdiam sambil menata.
A. Anthar meneruskan, bahwa hidup ini seleksi alam, meski terdera duka, pernah dianggap receh dan remeh, jangan pernah marah atau kecewa apatah lagi membencinya. Bangkitlah jadikan itu motivasi. Karena Tuhan telah memberi setiap hambanya ujian, rezki di mana saja. Semakin saya terbawa menuntun untuk menyimak dengan tanak. Tetapi saya harus tahu diri suasana semakin ramai, lagian sore menuju petang.
Sirampe pa’mai, sipa’ada najuluia, napangjari jima’ si erang kana surang gio’. Sebuah pesan dari kedua orang tua. Saling menyelami, sebuah prinsip menjadi jimatnya sesuai kata dan perbuatan. A. Anthar meneguhkan prinsip itu, sebagai kepercayaan diri dalam hidup meniti dan menyemai di mana saja.
Alur hidup, ada tabur tuai. Ada simfoni nan harmoni. Bahwa hidup harus dengan warna. Biar kita tahu bagaimana bisa menemukan kekuarangan, dan jati diri, kapasitas kapabilitas dan kualitas hidup melingkupi jiwa, batin, pikiran. Maka bersiaplah untuk bertarung pada diri dan pikiranmu sendiri. Begitu kuat menopang spirit perjalanan hidup seorang A. Anthar. Di ruangan itu saya bagai terlontar jauh dan di beri tempat altar dan di sana saya seakan berikrar.
Beliau menabalkan lagi, jangan meragukan kekuasan-Nya. Maha mengatur segala kehidupan ini. Saya teringat kalimat seorang dalang dan budayawan, Sujiwo Sutejo, pernah berucap penuh keyakianan, “Barang siapa yang mengeluhkan dan mengkhawatirkan hari esok. Sama seperti mengkhianati Tuhan-Nya.” Sesekali saya nyeletup, biar berusaha memaksakan cair pada suasana pertama kali saya berbaur dengannya begitu lama.
Satu persatu pengunjung datang, menu terhampar sila pesan. Ditambah, pelayan (karyawan) asyik menekuni tugasnya melayani dengan profesional, penyajian yang semoga dipertahankan pada sifat dan filosofi Alonica itu sendiri. Berharap semua ini dipertahankan.
Petang merambat, sekejap pengingat pada perjamuan tak disengaja hari ini. pertemuan nan khidmat. Kopi gula aren membenamkanku pada semesta jiwa di ruang Alonica ini. Dan berharap ini bukan akhir, namun sebagai opening yang bukan sekadar seremoni, dengan menjalin silaturahmi di tengah gagapnya saya, dan teramat pengecut mengambil langkah.
Sebagaimana peran yang didedahkan Andien, ternyata terinspirasi dari seorang sosok lelaki, dalam menata dan prosesi hidupnya sarat perjuangan, mentalitas serta kualitas yang mumpuni, serta daya pikat kebeningan hati, ada darah mengalir dari A. Anthar, sebagai mentor dan sosok ayah yang menjadi sahabat, teman diskusi yang memiliki kepekaan yang sama.
Sebuah parenting yang memberi hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebuah pesan sakral dari A. Anthar kepada Andien, adalah menjaga marwah dan kepercayaan orang tua. Menjadi manusia, bermanfaat kepada sesiapa saja.
Saya kemudian benar pamit, sekian menit saya tunda. Sembari memberanikan diri menawarkan walau masih rada tidak enakan, dan sungkan kepada Mabrur, seorang kawan, yang kebetulan juga hadir menikmati suasana di ruang Alonica, agar berkenan kiranya mengantar saya ke rumah. Karena jemputan yang sekian lama saya tunggu, tidak jua datang.
Kali ini, esok, dan lusa nanti akan kembali ke ruang Alonica ini, pada sesi dan episode selanjutnya. Rasa canggung itu mulai terbantah menjadi rasa nyaman, ditambah kopi gula aren yang seakan meneguhkan kembali semangat hidup di setiap ranah kehidupan.

Pegiat Seni Budaya Bantaeng. Koordinator Komplen Bantaeng. Penanggungjawab Teras Baca Lembang-Lembang Bantaeng. Telah menerbitkan buku, Narasi Cinta dan Kemanusiaan (2012).


Leave a Reply